Siasat Dimulai

Wajah Cassandra tampak manis, bahkan memikat. Senyumnya selalu tersungging dengan lembut, tutur katanya halus, dan gerak-geriknya anggun. Namun di balik kelembutan itu tersembunyi ambisi yang tajam, lebih tajam dari belati yang nyaris melukai Irene di hadapan gedung Ornadi Corp tempo hari. Cassandra tidak hanya iri pada Irene karena kedekatannya dengan Reno, tetapi juga karena posisi Irene sebagai pewaris utama perusahaan. Dalam pikirannya, apa pun yang dimiliki Irene, ia pun berhak memilikinya termasuk kekuasaan, kekayaan, dan cinta seorang pria seperti Reno Wiratmaja.

Di sebuah restoran eksklusif yang terletak di jantung ibu kota, Cassandra duduk berdampingan dengan Vania, ibu kandungnya, yang juga istri kedua dari Reza Ornadi, CEO Ornadi Corp saat ini.

Mereka telah merencanakan makan malam ini sejak seminggu lalu. Tujuan sebenarnya bukanlah menjalin silaturahmi dengan para anggota dewan direksi. Melainkan untuk menyusupkan ide-ide halus tentang transisi kekuasaan dengan kata-kata yang disisipkan penuh kehati-hatian, mereka memengaruhi opini para direksi agar lebih percaya pada kemampuan Cassandra bukan Irene dalam mengelola masa depan perusahaan.

"Saya hanya ingin menunjukkan bahwa generasi muda juga bisa bergerak cepat dan efisien dalam mengambil keputusan," ujar Cassandra dengan senyum lebar.

Mengangkat gelas anggurnya, membuat para pria paruh baya di sekelilingnya mengangguk kecil. Mereka tak sepenuhnya sadar bahwa mereka tengah diselimuti jaring rencana jangka panjang.

Sementara itu, di markas pelatihan pribadi milik Ornadi Corp, Irene tengah berada di ruangan latihan bela diri bersama Reno. Setelah insiden penyerangan tempo hari, Reno yang secara resmi merupakan kepala keamanan dan pengawal pribadi Irene mengusulkan agar Irene mengikuti pelatihan pertahanan diri dasar.

"Serangan seperti itu bisa terulang kapan saja, Nona Irene. Anda harus mampu bertahan setidaknya selama saya belum tiba di lokasi," ucap Reno dengan nada tenang, profesional, namun penuh ketegasan.

Irene mengenakan pakaian latihan berwarna gelap, rambutnya dikuncir sederhana, namun tetap tak mampu menyembunyikan pesona alaminya. Ia mengangguk, pura-pura fokus. Tapi dalam benaknya, momen ini adalah peluang langka untuk bisa lebih dekat dengan Reno.

Saat Reno menunjukkan teknik melepaskan diri dari cekikan, Irene sengaja memperlambat gerakan, mendekatkan wajahnya. Hidung mereka hampir bersentuhan, namun Reno segera memutar tubuh, menjaga jarak tanpa banyak bicara. Senyum Irene sedikit memudar, namun ia tetap menjaga elegansinya. Ia tak ingin terlihat murahan di hadapan pria yang diam-diam ia kagumi.

"Bagaimana punggungmu?" tanyanya pelan saat mereka beristirahat.

"Setelah tertimpa lampu studio waktu itu, kamu belum sempat cek ke dokter, kan?"

Reno menoleh, mata elangnya menatap lurus.

"Saya sudah pulih, terimakasih atas perhatiannya, Nona Irene."

Nada Reno tetap datar dan profesional. Seolah perasaan bukan bagian dari agenda tugasnya. Irene menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Dalam diam, ia merasa letih karena terus menebak-nebak apakah perasaannya bertepuk sebelah tangan atau Reno memang terlalu menjaga batas karena profesionalitas.

***

Di sisi lain, Cassandra melanjutkan manuvernya. Kali ini dengan cara yang lebih personal. Ia mengetahui jadwal Reno dari sekretaris perusahaan dan tahu betul kapan Reno sedang tidak bertugas. Saat hari libur Reno tiba, Cassandra menghubunginya dan mengajak pergi ke panti asuhan.

"Kak Reno," ujar Cassandra lewat pesan singkat, "besok aku mau mengunjungi anak-anak di Panti Harapan. Mereka sangat suka kalau ada orang dewasa yang mau bermain dan berbagi. Aku tahu Kak Reno pasti senang juga. Mau ikut?"

Reno yang menerima pesan itu, sempat termenung. Ia menatap layar ponsel cukup lama. Wajah Cassandra yang lembut dan senyumnya yang anggun terbayang. Tanpa sadar, ia membuka galeri foto dan menatap satu gambar Cassandra yang diam-diam ia ambil saat mereka berbicara dalam acara perusahaan. Senyuman itu… Reno merasa ada ketenangan setiap kali menatapnya. Ada sesuatu yang Cassandra miliki ketulusan yang tampak alami di matanya.

Esok harinya, mereka pun mengunjungi panti asuhan bersama. Cassandra mengenakan blus sederhana berwarna krem dan celana panjang putih. Ia terlihat manis dan sangat akrab dengan anak-anak. Reno mengamati dari kejauhan, melihat bagaimana Cassandra menggendong anak kecil yang menangis, lalu mengusap kepala anak lain sambil tertawa kecil.

Dalam hatinya, Reno berkata, Jika dia menjadi ibu, aku yakin dia akan menjadi yang terbaik.

Namun, Reno tak pernah tahu bahwa di balik semua itu, Cassandra tengah menjalankan rencana. Ia tahu cara mengambil hati Reno, dan ia tahu Irene terlalu kaku dan menjaga jarak untuk bisa bersikap selembut dirinya.

***

Beberapa hari kemudian, Irene berjalan sendiri di sebuah pusat perbelanjaan mewah. Ia menyamar dengan topi lebar dan kacamata hitam. Di sebuah butik pria, pandangannya tertuju pada dasi sutra biru tua dengan motif tenun khas yang elegan. Irene mengambil dasi itu, menyentuhnya perlahan.

"Ini… seperti dia," gumamnya.

Wajah Reno muncul dalam benaknya. Tegas, profesional, namun melindungi. Tanpa ragu, ia membelinya. Para pengunjung butik sempat berbisik, mengagumi penampilannya yang begitu memesona. Rambut panjangnya terurai indah, wajahnya nyaris tanpa cela. Make-up ringan yang membingkai matanya menambah pesona alami. Gaun midi warna nude dengan potongan leher rendah yang anggun menambah aura aristokrat yang tak terbantahkan.

Saat malam tiba, Irene duduk di kamar tidurnya. Dasi itu kini tergeletak di atas meja. Ia memandangi benda itu lama, lalu memegangnya. Hatinya bimbang.

Haruskah aku memberikannya langsung? Atau… terlalu memalukan?

Ia masih ingin menjaga wibawanya. Tapi di balik setiap helai dasi yang ia genggam, ada harapan kecil bahwa Reno mungkin memiliki rasa yang sama. Bahwa dia bukan hanya pengawal yang berdiri tegak di sampingnya, tetapi juga seorang pria yang mampu mengisi kekosongan hatinya.

Namun Irene tidak tahu, bahwa di tempat lain, Cassandra dan Vania tengah menyusun strategi lanjutan. Dalam ruang makan pribadi rumah mereka, keduanya duduk berhadap-hadapan dengan lembaran laporan direksi dan catatan pribadi.

"Irene tidak bisa bertahan jika kehilangan dukungan dewan dan Reno sekaligus," ucap Vania pelan namun penuh siasat.

"Kita ambil satu per satu dari hidupnya."

Cassandra menatap ibunya, senyum licik mengembang.

"Dan aku sudah tahu siapa yang akan kita tarik lebih dulu…"

Terpopuler

Comments

NurAzizah504

NurAzizah504

nahh, ini bener. aku setuju

2025-08-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!