Langit sore di Jakarta mulai redup, menyisakan rona oranye yang mengendap di balik pencakar langit.
Gedung Ornadi Corp berdiri megah, menjadi pusat perhatian publik dalam acara peresmian galeri inovasi terbaru mereka, sebuah proyek gabungan antara divisi kreatif dan teknologi perusahaan. Karpet merah membentang, wartawan berlomba-lomba mendapatkan angle terbaik, dan undangan berdatangan dalam balutan kemewahan.
Irene Brilian Ornadi melangkah anggun di sisi adiknya, Cassandra. Gaun putih gading berpotongan sederhana namun elegan membalut tubuh Irene, menegaskan kelasnya sebagai pewaris utama Ornadi. Sementara Cassandra tampil lebih mencolok dengan gaun berkilau warna perak, mencuri perhatian dengan senyuman yang telah ia latih selama bertahun-tahun.
Keramaian menyambut mereka. Kilatan kamera, sapaan hangat, hingga pidato formal dari para petinggi menyemarakkan suasana. Namun dalam bayang kerumunan, ada mata yang membara penuh dendam.
Ketika acara usai dan para tamu mulai menyebar, Irene dan Cassandra berjalan melewati pintu utama gedung, menyapa para undangan yang masih setia menunggu. Irene tersenyum lembut kepada seorang anak kecil yang menyodorkan bunga, ketika tiba-tiba sebuah gerakan cepat muncul dari arah kiri. Seorang pria dengan jaket gelap menerobos pagar keamanan. Matanya merah, penuh amarah, tangannya menggenggam sesuatu yang berkilat – pisau.
"Irene Brilian Ornadi! Aku hancur karena keputusanmu!" teriak pria itu dengan suara yang serak dan penuh emosi.
Dalam sekejap, tubuh Irene kaku. Semua terasa berjalan lambat. Cassandra menjerit, para wartawan terdiam sesaat sebelum mengangkat kamera mereka, dan pasukan keamanan terlambat bereaksi. Namun satu sosok bergerak lebih cepat dari siapapun.
Reno Wiratmaja, yang berdiri tak jauh dari mereka, langsung melompat ke arah Irene. Instingnya sebagai mantan pasukan khusus mengambil alih. Dalam gerakan refleks, ia memeluk tubuh Irene dari belakang, menariknya keluar dari jalur serangan. Tangan kirinya memegang pinggang Irene dengan kokoh, sementara kaki kanannya melesat, menghantam dada pria bersenjata dengan kekuatan penuh.
Pria itu terjungkal dan pisau meluncur ke aspal. Dalam detik berikutnya, tim keamanan mengamankan pelaku. Tapi pusat perhatian masih tertuju pada Irene yang kini masih berada dalam pelukan Reno.
Kilatan kamera meledak. Wartawan mengabadikan momen itu – Irene yang terengah, terkejut, dengan tubuh yang masih dilindungi oleh Reno yang tegap. Dalam pelukan itu, waktu seperti berhenti. Irene menoleh perlahan, dan mata mereka bertemu.
Reno menatapnya dengan tenang, profesional, menjaga ekspresi tetap netral. Tapi di mata Irene, itu lebih dari sekadar perlindungan. Ia melihat pahlawan. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menjadi tempat ia sandarkan kepercayaan.
"Anda tidak apa-apa, Nona Irene?" suara Reno dalam dan stabil.
Irene mengangguk perlahan. Tapi di dalam hatinya, ada badai yang tak mampu ia redakan. Ia tak mampu menjawab. Tak jauh dari mereka, Cassandra menyaksikan segalanya dengan mata yang menyempit.
***
Di kediaman keluarga Ornadi, malam itu suasana lebih hening dari biasanya. Irene duduk di balkon kamarnya, menyentuh perban di pergelangan tangannya yang lecet saat insiden tadi.
Namun yang mengganggunya bukan luka itu.
Ia terus mengingat detik saat Reno memeluknya. Pegangan tangannya. Ketegasan wajahnya. Ia tahu, ada rasa yang tumbuh diam-diam dalam dirinya. Bukan sekadar kekaguman. Tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tajam.
"Reno... kau selalu ada. Tapi apakah kau tahu apa yang kurasakan?" bisik Irene, nyaris tanpa suara.
Di ruangan lain, Cassandra membuka kotak kecil berisi pastry buatan chef pribadi mereka. Wajahnya tenang, namun sorot matanya penuh perhitungan. Ia menggigit bibir bawahnya sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan foto Reno saat mengamankan Irene.
"Apapun yang jadi milik Irene, harus bisa jadi milikku," gumamnya.
Ia melangkah ringan menuju ruang istirahat Reno, membawakan kue sebagai alasan.
"Kak Reno," sapanya lembut, mengetuk pintu.
"Aku cuma ingin mengucapkan terimakasih. Ini untukmu... karena sudah menyelamatkan Kak Irene."
Reno membuka pintu, sedikit terkejut melihat Cassandra berdiri dengan senyum manis dan mata berbinar.
"Terimakasih, Nona Cassandra," jawabnya singkat, menerima kotak itu.
"Panggil aku Cassandra saja," ucap gadis itu dengan senyum yang memerah di pipi.
"Kalau Kak Reno butuh apa-apa, jangan ragu hubungi aku, ya. Aku... senang ngobrol sama Kak Reno."
Reno sempat terdiam. Ada sesuatu dalam senyum Cassandra yang membuat dadanya hangat. Berbeda dari sikap formal Irene yang kaku, Cassandra lebih ekspresif, lebih menggoda dalam batas wajar.
"Baik... Cassandra," balas Reno.
Pipinya merah. Senyum Cassandra menancap. Sejak malam itu, Reno menyimpan foto Cassandra dalam ponselnya. Sebuah potret candid saat Cassandra tertawa di panti asuhan. Tanpa ia sadari, ia mulai menatap foto itu setiap malam sebelum tidur. Di sela tugasnya, saat jeda kerja, ia membuka galeri ponsel dan melihat senyum itu.
***
Beberapa minggu kemudian, dalam perjalanan bisnis ke Bandung, Irene dan Reno berada dalam satu mobil eksekutif yang disediakan perusahaan. Perjalanan itu bersifat rahasia, demi keamanan dan kesepakatan penting dengan mitra internasional.
Irene tampil berbeda hari itu. Ia mengenakan blouse satin dengan potongan terbuka di bahu dan rok pensil yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Tetap elegan, tetap anggun, tapi dengan tambahan sentuhan daya tarik feminin. Di tengah perjalanan, saat mobil melaju di tol, Irene menoleh ke arah Reno yang duduk di kursi depan.
"Reno, apakah kau selalu seserius ini dalam bekerja?" tanyanya sambil tersenyum tipis.
Reno menoleh singkat.
"Itu bagian dari tugas saya, Nona Irene. Tanggung jawab saya adalah memastikan Anda aman."
Irene tersenyum, sedikit kecewa. Ia menyesap air mineral pelan.
"Kau tahu, tidak mudah mempercayakan keselamatan pada orang lain. Tapi entah kenapa, aku merasa aman setiap kali kau ada di dekatku," ujarnya lembut, matanya menatap Reno lewat cermin.
Namun Reno hanya membalas dengan anggukan kecil. Sikapnya tetap tenang. Irene menarik napas dalam. Ia tahu dirinya sedang merayu, tapi dengan cara yang tetap menjaga harga dirinya. Tak ada sentuhan murahan, tak ada lirikan agresif. Hanya seorang wanita yang diam-diam berharap ada hati yang menyambut hatinya. Tapi Reno tetap tak menunjukkan apa-apa. Irene menggigit bibirnya perlahan. Ia belum tahu… bahwa hatinya sedang bersaing dengan senyuman lain.
***
Di rumah utama Ornadi, malam hari itu, Vania berdiri di depan jendela, memandangi taman yang tenang. Cassandra duduk di sofa, memoles kukunya.
"Hubungan Irene dan Reno terlalu dekat," ujar Vania tiba-tiba.
Cassandra menoleh.
"Tenang saja, Ma. Reno mulai melirikku. Aku bisa lihat dari caranya menatapku akhir-akhir ini."
Vania tersenyum tipis.
"Bagus. Irene terlalu lama mendominasi. Jika kita ingin menyingkirkannya dari pusat kekuasaan, kita harus lemahkan pondasi emosionalnya."
"Dia pikir dia bisa punya semuanya. Saham, pengaruh, bahkan cinta?" gumam Cassandra, "Sebentar lagi, tidak satupun yang akan tersisa untuknya."
Keduanya tertawa kecil. Rencana telah disusun. Panggung sedang dibersihkan dan bidak-bidak mulai bergerak.
Apa yang belum diketahui Irene adalah bahwa musuh terbesarnya bukanlah mereka yang berdiri di luar pagar kekuasaan. Tapi mereka yang duduk bersamanya di meja makan, mengenakan nama keluarga yang sama... dan tersenyum seolah tak ada rencana pengkhianatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Ig nr.lynaaa20
bagus banget kak alur nya, yuk mampir juga di karya aku dan jangan lupa tinggalkan jejak terimakasih
2025-07-26
1
NurAzizah504
gads setegas irene hars bersaing dg senyuman palsu cassandra
2025-08-03
0
NurAzizah504
dasar licik
2025-08-03
0