Dua Wajah Dua Nafsu

Di balik gemerlap ruang makan utama kediaman keluarga Ornadi, Vania Kartika duduk dengan anggun di kursinya yang empuk berlapis beludru merah tua. Ia menyuapkan potongan kecil salmon panggang ke bibirnya dengan gerakan lambat, matanya sesekali menatap Reza Ornadi, suaminya yang tengah membahas perkembangan divisi energi baru Ornadi Corp. Setiap kata yang keluar dari mulut Reza adalah celah bagi Vania untuk menyusun langkah selanjutnya.

"Kalau ekspansi di sektor energi ini sukses, nilai saham kita akan melonjak. Irene juga sempat mengusulkan integrasi vertikal untuk efisiensi logistik," ujar Reza sambil mengunyah.

Nama Irene kembali meluncur ringan dari bibir sang suami. Mata Vania yang semula teduh menyipit nyaris tak terlihat. Senyum tipisnya tidak bergeser sedikit pun, namun dalam pikirannya bergolak rencana-rencana yang selama ini ia rancang dalam diam. Ia tahu, untuk menguasai Ornadi Corp, ia harus menyingkirkan sang pewaris utama. Irene adalah benteng terakhir yang menghalangi ambisinya.

"Irene memang luar biasa," ujar Reza lagi, kali ini menoleh pada Vania dan Cassandra.

"Kalian harus banyak belajar darinya. Fokus, tenang, dan tidak emosional."

Cassandra meletakkan garpu dan pisau makannya dengan perlahan.

"Papa, aku juga belajar banyak dari Kak Irene kok," jawabnya lembut. Senyumnya manis, matanya berbinar seperti biasa. Reza tampak puas.

Namun, begitu ayahnya kembali fokus pada makanan, senyum Cassandra menguap seperti kabut pagi. Ia menatap ibunya sejenak. Vania hanya memberi anggukan kecil, kode bagi Cassandra bahwa waktunya hampir tiba. Mereka akan menyingkirkan Irene, perlahan, satu langkah demi satu langkah.

***

Pagi itu, halaman sebuah panti asuhan yang terletak di pinggiran Jakarta riuh oleh suara anak-anak yang bermain. Beberapa wartawan dari stasiun televisi swasta hadir, lengkap dengan kamera dan kru. Di tengah sorotan kamera, tampak Cassandra Ornadi mengenakan dress putih gading yang sederhana namun elegan. Rambut panjangnya yang berwarna coklat dikepang rapi ke samping, memperkuat citra gadis anggun dan penuh kasih.

"Bernyanyi lagi yuk!" serunya ceria, menggandeng tangan dua anak kecil dan mulai menyanyikan lagu anak-anak. Tawa renyah terdengar, disambut kilatan kamera.

"Putri kedua Ornadi Corp menunjukkan kepedulian luar biasa terhadap anak-anak yang membutuhkan," komentar salah satu reporter yang meliput.

Tayangan itu viral di media sosial. Banyak warganet memuji keanggunan dan kebaikan Cassandra.

Namun, ketika kamera telah padam dan kru bersiap berkemas, wajah Cassandra berubah. Begitu masuk ke ruang kecil belakang panggung acara, ia melepas senyum manisnya.

"Siapa yang bertugas make-up hari ini?" tanyanya tajam.

Seorang staf muda dengan wajah panik maju.

"Saya, Nona Cassandra. Maaf kalau ada yang—"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu.

"Foundation ini terlalu tebal. Aku bukan badut! Dan kenapa riasan mataku seperti boneka? Kak Irene selalu tampil sempurna, kenapa kamu membuatku seperti ini?!"

Ia meraih cermin dan melemparnya ke meja.

"Kamu dipecat. Keluar sekarang juga!"

Staf itu berlari keluar sambil menahan tangis. Cassandra merapikan rambutnya sambil mendesis lirih, "Tak akan ada yang ingat kamu. Tapi semua orang akan ingat aku."

***

Sementara itu, di kantor pusat Ornadi Corp, suasana koridor lantai eksekutif pagi itu tampak tenang. Reno Wiratmaja berdiri tegak di depan pintu ruang kerja Irene. Tubuhnya tinggi, tegap, dengan seragam bodyguard hitam dan jam tangan taktis di pergelangan kiri. Namun wajahnya saat ini tak sekeras biasanya. Ia menatap layar ponsel, menonton ulang video Cassandra di panti asuhan.

Di layar, senyum Cassandra begitu memikat, tawanya terdengar murni. Reno tersenyum kecil.

“Gadis seperti itu... langka,” gumamnya pelan.

Pintu di belakangnya terbuka. Irene Brilian Ornadi keluar dengan langkah tenang, membawa salep kecil di tangannya.

"Luka di punggungmu kemarin belum diobati," ucap Irene tanpa ekspresi, mengulurkan salep itu ke Reno.

Reno segera mengambilnya.

"Terimakasih, Nona Irene."

Irene mengangguk kecil dan kembali masuk ke ruang kerjanya. Namun saat melewati Reno, matanya sempat melihat layar ponsel Reno yang menampilkan wajah adik tirinya. Hatinya terasa mencelos. Namun ia tetap menjaga wibawanya.

Di dalam ruangannya, Irene duduk dan menatap layar laptop. Tangannya mengetik cepat, namun pikirannya kacau. Ia mencintai Reno sejak lama dan kini, diam-diam, hatinya terasa tergantikan oleh bayang-bayang gadis yang selama ini hanya memakai topeng kebaikan.

***

Malam harinya, di meja makan utama keluarga Ornadi, Reza sedang berbicara penuh semangat.

"Tadi aku mendapat laporan bahwa presentasi strategi terbaru Irene membuat investor Korea Selatan sangat terkesan. Bahkan mereka menawarkan joint venture langsung."

Cassandra menahan sendok supnya di udara. Vania meremas tangan di bawah meja. Wajahnya tetap tersenyum, tapi matanya mulai menyimpan bara.

"Kak Irene memang luar biasa, ya, Pa," Cassandra berkata, tapi nadanya terasa hambar.

"Dia sangat visioner. Bahkan lebih cepat dari analis senior kita," ujar Reza bangga.

Malam itu, setelah makan malam, Vania dan Cassandra berbincang di ruang rias kamar pribadi mereka.

"Papamu sudah terlalu mabuk dengan bayangan Adellia di dalam diri Irene," gumam Vania sambil menghapus lipstiknya.

"Kita harus percepat rencana kita, Ma," sahut Cassandra.

"Kita mulai dari reputasinya. Kalau nama Irene rusak di publik, dia akan hancur di mata Papa."

Vania tersenyum tipis.

"Biarkan aku yang main di media. Kamu fokus ke Reno. Dia masih punya pengaruh sebagai orang kepercayaan Irene. Jika kamu bisa tarik hatinya, itu akan jadi senjata."

Cassandra mengangguk.

***

Keesokan harinya, Irene berpura-pura memegang perutnya dengan ekspresi lelah. Ia sengaja duduk di sudut lorong kantor, tempat Reno biasa lewat. Saat pria itu mendekat, Irene pura-pura menunduk kesakitan.

"Nona Irene?! Anda tidak apa-apa?"

Irene mengangguk lemah.

"Cuma sedikit pusing... mungkin masuk angin."

Reno langsung menopangnya.

"Biar saya antar ke ruang medis."

Saat tangan Reno menyentuh punggungnya, Irene merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia memejamkan mata sejenak, berharap waktu berhenti. Ia tahu, Reno pasti memiliki perasaan padanya. Ia hanya belum menyadarinya... Namun itu... hanya keyakinannya sendiri. Tanpa ia tahu, Reno pulang malam itu dan kembali membuka video Cassandra di panti asuhan.

Di malam yang sama, Irene duduk di kamarnya. Rambut panjangnya diurai, wajahnya pucat, bukan karena sakit… tapi karena penat. Ia memandang refleksinya di cermin. Ia membuka kotak P3K kecil dan mengoleskan salep di tangannya sendiri. Lalu, ia menatap layar ponselnya, satu pesan yang belum dikirim.

Reno… bisakah kau datang sebentar? Aku merasa pusing.

Namun, sebelum menekan kirim, ia berhenti. Matanya berkaca.

“Aku bahkan harus berpura-pura sakit untuk membuatmu memperhatikanku?” bisiknya getir.

Ia menghapus pesan itu. Dalam sunyi, Irene membaringkan tubuhnya, dan menutup mata. Di luar jendela, lampu kota menyala terang. Tapi dalam dirinya, ada bagian yang perlahan meredup dan di luar layar ponsel itu, sebuah permainan berbahaya mulai berjalan, menyusup di balik senyuman, dalam bayangan kekuasaan dan ambisi yang akan menelan semuanya hidup-hidup...

***

Di balik gemerlap citra dan kekuasaan, tak semua cinta bisa ditemukan di tempat yang semestinya. Irene Brilian Ornadi tahu, ia sedang bermain dalam panggung yang tak adil dan orang yang paling ingin ia percaya… perlahan mulai berpaling. Tapi permainan belum selesai dan Irene belum kalah.

Terpopuler

Comments

NurAzizah504

NurAzizah504

ya ampun mereka berdua /Sob/

2025-08-03

0

NurAzizah504

NurAzizah504

pencitraan aja ga sih

2025-08-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!