Bab: 3

Kafe kecil di pojok jalan itu masih seperti dulu, hangat, tenang, dengan aroma kopi yang menyambut siapa pun yang masuk. Arumi duduk di bangku pojok dekat jendela. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya melayang jauh. Jemarinya membolak-balik sendok kecil di atas cangkir cappuccino yang mulai dingin.

“Arumi?”

Suara lembut itu membuyarkan lamunannya. Arumi menoleh dan mendapati Hilda, sahabatnya sejak masa kuliah, berdiri di sana dengan tatapan khawatir.

“Hil,” gumam Arumi sambil berdiri pelan. Mereka saling berpelukan singkat, hangat namun ada kegelisahan yang tak terucap di antara keduanya.

Begitu duduk, Hilda langsung menatapnya, tanpa basa-basi. “Kamu nggak apa-apa, Rum? Kamu terlihat lelah.”

"As you can see, Hil. Nggak ada perempuan yang baik-baik aja setelah tahu dia di selingkuhi suaminya." Ujar Arumi dengan senyum perih.

"Aku... sebenarnya nggak tahu harus bilang apa, Rum," ucap Hilda pelan. “Tapi kamu tahu kan, aku selalu ada buat kamu.”

Arumi mengangguk pelan. “Iya. Dan makasih, karena kamu yang pertama bilang sejujurnya.”

Hilda adalah orang yang memberitahu Arumi tentang Hansel yang memiliki perempuan lain.

Awalnya, dia hanya ingin diam, merahasiakan hal itu dari Arumi. Tapi perasaan bersalah tidak bisa dia tepis, akhirnya, Hilda pun memutuskan untuk memberitahu Arumi jika beberapa hari lalu dia melihat Hansel di hotel dengan seorang perempuan yang ia tak tahu siapa.

*****

Beberapa hari lalu sebelum pertengkaran Arumi dan Hansel...

Arumi sedang melipat kain di kamar, ketika ponselnya berdering. Nama Hilda muncul di layar. Ia tersenyum kecil sebelum menjawab.

“Halo?”

“Rum…” suara Hilda terdengar ragu. “Kamu bisa bicara sekarang?”

“Iya, kenapa?” tanya Arumi sambil merapikan kaus milik Hansel.

Hening sejenak di seberang. Lalu suara Hilda terdengar lebih pelan. “Aku... nggak tahu gimana harus ngomong." Jedah sejenak, Hilda masih menimbang-nimbang, apakah dia memang bagus memberitahu ini pada Arumi.

"Hil... Kamu pengen ngomong apa?"

"Tadi siang aku habis meeting di Grand Atria. Pas keluar, aku lihat Hansel.” Akhirnya Hilda membulatkan tekadnya untuk jujur dan memberitahu Arumi.

“Terus?” Arumi masih terdengar santai.

“Dia nggak sendiri. Dia gandengan sama perempuan. Mereka masuk lobi bersama, mereka terlihat mesrah dan itu nggak mungkin hanya sebatas teman kerja atau meeting klien di hotel.”

Arumi membeku. Tangannya yang memegang baju tiba-tiba lemas. “Kamu yakin itu Hansel?”

“Aku yakin. Maaf, Rum. Aku sempat mikir buat diem aja. Tapi aku nggak bisa. Kamu sahabatku. Aku tahu ini akan nyakitin kamu, tapi aku lebih nggak rela kamu dibohongi.”

****

Kembali masa kini...

"Waktu itu, apa kamu liat muka perempuan itu?" Tanya Arumi yang ingin memastikan apakah Hilda sempat melihat wajah perempuan itu.

Hilda menggeleng pelan. "Nggak. Aku nggak lihat wajahnya, dia buru-buru pergi. Tapi. entah kenapa, dari belakang, aku merasa familiar. Seperti pernah lihat dia sebelumnya. Tapi aku lupa di mana."

"Kamu nggak nanya ke Hans, siapa perempuan itu?" Tanya Hilda.

Arumi mengangguk pelan. "Aku nanya, Hil..." suaranya melemah, lalu ia menghela napas panjang. "Tapi Hans diam."

Hilda mengernyit, matanya membulat tak percaya. "Dia sama sekali nggak jawab apa-apa?"

"He didn’t want to tell me, Hil."

Suara Arumi nyaris tenggelam dalam gumaman. Ia menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam erat di pangkuannya.

"Yang kuat Rum, I’ve always known that behind all the pain.. you’re still strong." ucap Hilda meletakkan tangannya diatas tangan Arumi untuk menguatkan sahabatnya.

Setelah pertemuannya dengan Hilda di Kafe, Arumi langsung pulang ke apartemennya, membuka pintu. Lalu masuk, namun, yang dia dapati kini hanya kehampaan.

Apartemen yang dulu terasa hangat dan selalu dia rindui saat berada di luar, kini seperti memasuki gua yang gelap, bahkan seperti penjara tanpa ventilasi, rasanya begap dan sakit.

Setelah pertemuannya dengan Hilda di kafe, Arumi langsung pulang ke apartemennya. Ia membuka pintu dengan tangan gemetar, berharap ada sedikit kehangatan yang bisa menyambutnya di balik pintu itu. Namun, yang ia dapati kini hanyalah kehampaan.

Langkahnya masuk ke dalam terasa berat. Ruang tamu itu, dulu tempat mereka duduk bersama, tertawa, menonton film sembari bersandar satu sama lain, kini tampak asing. Kosong. Dingin.

Apartemen yang dulu terasa hangat, tempat pelariannya dari dunia luar, kini tak lebih dari ruang sunyi yang memantulkan suara hatinya sendiri. Seperti gua gelap tanpa ujung. Bahkan, lebih parah. Seperti penjara tanpa ventilasi. Begap, menyesakkan, dan tak ada celah untuk bernapas lega.

Arumi menjatuhkan tasnya ke sofa, lalu berdiri mematung di tengah ruangan. Matanya menyapu sekeliling. Disana, hanya ada furnitur kaku dan cahaya lampu yang terasa terlalu terang untuk kesedihannya.

Ia melangkah perlahan ke jendela, menarik tirai yang semula selalu ia buka setiap pagi. Tapi kali ini, ia hanya ingin dunia di luar tidak melihatnya. Tidak melihat betapa kosongnya dirinya.

Arumi menyandarkan keningnya ke kaca jendela yang dingin. Air matanya kembali jatuh, diam-diam, tanpa suara.

Malamnya, setelah mandi, Arumi duduk di depan cermin kamar. Rambutnya masih basah, air menetes perlahan dari ujung-ujung helai ke bahunya. Ia mengenakan piyama sederhana, tanpa riasan, tanpa perisai. Hanya dirinya, apa adanya.

Lampu meja rias menyala temaram, memantulkan bayangan dirinya di permukaan kaca. Arumi menatap wajah itu lama. Sangat lama. Seolah mencoba mengenali seseorang yang sudah lama tidak ia ajak bicara.

Mata itu sembab. Pipi itu masih menyimpan bekas tangis yang belum sempat benar-benar kering. Tapi lebih dari itu, ada kehampaan di sana. Kekosongan yang tak bisa ditutupi bahkan oleh senyum pura-pura sekali pun.

Apa dia sudah tidak menarik sampai suaminya berpaling? Pertanyaan itu muncul pelan-pelan di dalam hatinya, lalu tinggal di sana, seperti duri kecil yang tak terlihat tapi terus menusuk.

Ia menatap wajahnya lagi di cermin, lebih dekat kali ini. Mengamati garis-garis halus di bawah mata, rona pucat di pipi, dan tatapan lelah yang di matanya. Tangannya terangkat, menyentuh pipinya perlahan.

“Apakah aku sudah berubah...?” gumamnya nyaris tanpa suara.

Dulu, Hansel selalu memuji senyumannya. Katanya, matanya bisa menenangkan badai. Dulu Hansel selalu memuji kecantikannya, kata Hansel, dia adalah pria paling beruntung karena bisa menikahi perempuan paling cantik yang ada di muka bumi ini.

Bibirnya mengerucut, menahan tangis yang datang lagi tanpa aba-aba. Ia menggigit bibir, mencoba bertahan.

Apa karena aku hanya wanita rumah tanpa karir, tapi bukankah, Hansel yang meminta dia hanya menjadi seorang istri yang menunggu suami di rumah? Bukankah, Hansel mengatakan dia menginginkan perempuan seperti itu. Lalu kenapa? Kenapa Hansel berpaling darinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantam pikirannya satu per satu. Ia tahu, perselingkuhan bukan salahnya. Ia tahu, pengkhianatan tidak pernah bisa dibenarkan, apa pun alasannya. Tapi tetap saja, luka itu menyesap lewat celah-celah keraguan diri. Membuatnya mempertanyakan nilainya sebagai perempuan. Sebagai seorang istri.

“Kalau memang aku sudah tak cukup untukmu, kenapa kamu tidak bilang baik-baik?” bisiknya, air mata jatuh diam-diam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!