Bab: 2

Paginya, Arumi bangun dengan mata sembab. Kelopak matanya berat, menyisakan jejak tangis yang tak kunjung kering sepenuhnya. Namun ia tetap bangkit. Menyibakkan selimut, menapaki lantai dingin, dan berdiri seperti biasa, seolah malam sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa.

Dengan langkah pelan, ia menuju dapur. Tangannya mulai bergerak otomatis, mengambil telur, memanaskan wajan, menyalakan kompor. Tangannya bekerja, tapi pikirannya kosong. Aroma bawang tumis dan roti panggang mengisi udara, tapi hatinya tetap hampa.

Ia menyiapkan dua piring, seperti biasanya. Menuangkan teh ke dua cangkir. Meletakkan piring-piring itu di meja makan yang sudah begitu akrab bagi mereka, dulu.

Arumi duduk sejenak di kursi, menatap kursi kosong di seberangnya. Kursi Hans.

Ia menghela napas panjang. Dalam diam, ia mencoba meyakinkan diri sendiri. Aku baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

Pintu depan terbuka pelan. Arumi menoleh refleks, jantungnya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Langkah kaki yang ia kenal dengan sangat baik terdengar memasuki rumah, tenang, santai, seperti biasa. Seolah tak ada badai semalam, seolah luka yang ditinggalkan hanyalah mimpi buruk yang kini sudah lewat.

Hansel muncul di ambang pintu ruang makan, masih dengan jaket yang sama, dan rambut sedikit berantakan karena angin pagi. Matanya tak menyiratkan penyesalan apa pun.

Tanpa sepatah kata, ia berjalan mendekat dan menunduk mengecup kening Arumi.

Begitu saja.

Seolah semalam ia tidak menghempas kepercayaan perempuan itu, seolah tidak ada air mata, tidak ada luka, tidak ada keheningan menusuk yang menghantui sepanjang malam.

Arumi mematung.

Dunia seakan berhenti berputar saat bibir Hansel menyentuh keningnya. Bukan karena rindu. Tapi karena keterkejutan, dan kehampaan.

Ia tidak membalas. Tidak mengelak. Hanya diam, menatap kursi kosong yang kini kembali diduduki oleh laki-laki yang sama, namun tak lagi membawa rasa yang sama.

Di dalam dirinya, pertanyaan bergemuruh, tapi mulutnya tak sanggup mengucap satu pun. Apakah segampang itu? Apakah semudah itu mengabaikan luka dan kembali duduk seolah semuanya tak pernah terjadi?

Tangannya yang masih memegang cangkir teh sedikit bergetar. Aroma teh melati menguar, tapi rasanya hambar di lidah. Persis seperti hatinya kini.

"Siapa dia?" Kini pertanyaan itu kembali dilontarkan Arumi. Suaranya pelan, tapi cukup tajam untuk memotong udara pagi yang hening. Tangannya masih menggenggam cangkir teh yang kini sudah dingin, matanya menatap lurus ke arah Hansel.

Hansel, yang baru saja mengunyah suapan terakhir rotinya, terdiam. Gerakannya terhenti. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban.

"Arumi..." Ia menyebut nama itu dengan nada lelah, seperti pria yang kelelahan karena harus menjelaskan sesuatu yang tak ingin ia akui.

Arumi akhirnya mendongak. Matanya sembab, tapi sorotnya tajam.

"Katakan," bisiknya serak.

Hansel mendesah, menunduk sejenak, lalu berkata lirih, "Arumi aku lelah, jangan membahas ini lagi, hal ini tidak penting."

Arumi tertawa kecil, getir. "Tidak penting? Kamu tidur di luar rumah, menciumku seolah tidak terjadi apa-apa, dan kamu bilang 'tidak penting'?"

Hansel menatapnya, dengan lelah. "Aku hanya butuh ruang."

Kalimat itu, ringan di bibir Hansel, tapi jatuh seberat batu di dada Arumi.

"Baik... kalau kamu tidak mau jujur siapa dia. Aku yang akan mencari tahu sendiri!" ucap Arumi, kali ini dengan suara yang tegas, penuh luka, tapi juga penuh keteguhan.

Hansel menghela napas, lalu berdiri dari kursinya dengan gerakan tergesa, frustrasi. "Kamu terlalu membesar-besarkan semuanya, Arumi. Kamu adalah istriku, dan itu tidak mengubah apa pun!" ucapnya dengan nada tinggi.

Matanya menatap tajam, dan kalimat selanjutnya meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa jeda, tanpa rasa bersalah.

"....Sekalipun aku punya wanita lain di luar sana!"

Dunia Arumi seperti berhenti berputar.

Napasnya tercekat, jantungnya serasa terjun bebas. Suara itu, suara dari orang yang dulu berjanji untuk setia padanya, kini terdengar asing dan tajam, menancap langsung ke dadanya.

Kalimat itu tak sekadar pengakuan.

Itu adalah pengkhianatan yang disampaikan dengan kepala tegak. Tanpa rasa takut. Tanpa niat menyesal.

"Ulangi," bisik Arumi, nyaris tak terdengar. Matanya membelalak, seakan ia masih berharap itu hanya mimpi buruk.

Hansel mendengus. "Kamu dengar sendiri, kan?"

"Aku memang istrimu, tapi aku bukan barang milikmu yang tidak punya hati dan perasaan, Hansel," suaranya mulai bergetar, tapi nada bicaranya tetap kuat. Matanya memerah, tapi sorotnya tak lagi lemah seperti semalam.

Hansel membatu. Mungkin tidak menyangka Arumi akan berkata setajam itu.

"Jangan bawa emosi, Arumi," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar lelah. "Apa yang terjadi di luar rumah, itu urusanku. Dan, kamu tetap istri di rumah ini. Kamu tahu posisimu."

Arumi tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, tapi tawa getir penuh kepedihan. "Posisiku?" ucapnya sambil menggeleng pelan. "Apa menurutmu aku ini hanya penjaga rumah yang kamu tinggalkan sesuka hati? Istri, bagimu, cuma gelar tanpa arti."

Hansel menatapnya dengan sorot meremehkan. "Kamu terlalu sensitif. Lihat kenyataan, Arumi. Semua orang melakukannya. Asal kamu tetap di rumah, tetap masak, tetap jadi istri yang baik, kenapa harus ribut?"

"Karena aku bukan boneka," jawab Arumi, kini berdiri. Bahunya gemetar, tapi wajahnya tegak. "Aku manusia. Aku punya harga diri. Dan aku tidak akan tinggal bersama laki-laki yang tak tahu arti kesetiaan."

Hansel terdiam, terkejut oleh ketegasan yang jarang ia lihat dari istrinya.

Arumi melangkah ke arah kamarnya tanpa menoleh lagi. Setiap langkahnya membawa keputusan yang mulai mengeras di dalam hatinya.

Sesampainya di kamar, runtuh sudah ketegaran yang tadi ia perlihatkan.

Pintu kamar belum sempat tertutup rapat, tubuhnya sudah terhuyung, jatuh bersandar di balik daun pintu. Napasnya memburu, matanya berkaca-kaca, dan sebelum ia sempat menahannya, air mata itu tumpah, banjir tanpa bisa dikendalikan.

Dada Arumi bergemuruh hebat. Seakan semua emosi yang tadi ia tahan di depan Hansel kini meledak serentak. Hatinya terasa sesak, seperti diremas tanpa ampun, seperti retak yang tidak bisa lagi disatukan.

Dia menangis sejadi-jadinya, menangis tanpa suara. Bahunya terguncang hebat, tapi tak ada satu pun isakan yang lolos dari bibirnya. Ia menekap wajah dengan kedua tangan, membiarkan air mata jatuh deras membasahi telapak dan lengan bajunya.

Arumi tidak ingin Hansel mendengar suara tangisnya yang meraung-raung.

Dia tidak ingin memberikan kemenangan itu padanya.

Tidak ingin menunjukkan betapa hancurnya dia di balik dinding kamar yang kini menjadi satu-satunya tempat persembunyiannya.

Karena untuk apa?

Untuk siapa?

Seorang pria yang sanggup mengkhianati istrinya, dengan hati yang dingin dan wajah tanpa penyesalan, tidak akan pernah merasa iba. Tidak akan pernah peduli dengan kepiluan yang menggerogoti hati perempuan yang selama ini setia menjaga dan mencintai.

Tangis Arumi membungkam dirinya sendiri. Ia menggigit bibir agar tidak mengeluarkan suara, menggenggam erat bantal agar bisa menjerit tanpa terdengar. Bukan karena ingin terlihat kuat, tapi karena ia tahu, air matanya tidak akan mengubah apa pun di hati Hansel.

*****

Jangan lupa untuk Like,komen dan subscribe cerita ini ya, biar author semangat up. terima kasih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!