Sore itu Raisa berniat melarikan diri dari segala drama. Setelah seminggu penuh diliputi gosip, omelan Mama, dan pertemuan tak terduga dengan Ardan, ia butuh udara segar.
Maka ia setuju saat Dina mengajaknya nongkrong di kafe favorit dekat kampus. Kafe mungil dengan interior kayu, aroma kopi yang menenangkan, dan playlist akustik yang membuat pikiran terasa ringan.
“Kita pesen yang manis-manis aja, biar mood kamu balik,” kata Dina sambil menyodorkan menu.
Raisa tersenyum lemas. “Kamu kayak ngerti banget isi kepalaku.”
“Ya iyalah. Kalau bukan sahabat sendiri, siapa lagi yang ngerti?”
Raisa menatap jendela besar di samping mejanya. Di luar, langit sore berwarna jingga, lalu berbisik dalam hati, Setidaknya di sini nggak ada yang mengganggu.
“Rai, serius, kamu nggak kepikiran buat… ya, kenal lebih jauh sama dia? Siapa tadi namanya? Om Ardan?” tanya Dina tiba-tiba, menyeringai penuh rasa ingin tahu.
Raisa mendesah. “Jangan mulai, Din.”
“Tapi dia ganteng, mapan, perhatian—”
“Dina, plis. Stop. Aku datang ke sini buat ngilangin stres, bukan buat nambah.”
Dina mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke, oke. Aku diem.”
Baru saja mereka tertawa kecil mendengar candaan teman lain yang ikut bergabung, suara pintu kafe terbuka. Raisa tidak terlalu memperhatikan sampai ia mendengar beberapa bisik-bisik meja sebelah.
“Eh, itu… dia kan?”
“Ih, cakep banget. Siapa? Pengusaha kali, ya?”
Raisa menoleh—dan darahnya langsung naik ke ubun-ubun.
Di sana. Di pintu masuk. Dengan kemeja hitam rapi, celana bahan, dan jam tangan yang terlihat mahal. Ardan.
Ya Tuhan, SEMESTA KENAPA SIH HARUS NGIRIM DIA KE SINI?!
Dina langsung mengguncang lengan Raisa. “RAI! Itu kan… dia?!”
Raisa menunduk, menutupi wajah dengan tangan. “Ya Allah… jangan-jangan dia ngikutin aku…”
“Kalau iya, duh, gila sih. Royal banget sampe ngejar kamu ke kafe,” bisik Dina.
“Din! Ini bukan sinetron!”
Ardan berjalan ke arah barista, seperti pelanggan biasa. Tapi tatapannya—oh, tatapannya—langsung menemukan Raisa. Ia tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat.
Raisa hampir ingin kabur ke toilet. Kenapa sih dia nggak bisa muncul di waktu yang BENER?!
“Raisa,” sapanya, suaranya tenang seperti biasa.
Semua kepala di meja menoleh. Teman-teman Raisa menahan tawa sekaligus penasaran.
“Om… ngapain di sini?” tanya Raisa dingin, mencoba menjaga wajah tetap datar.
“Ngopi,” jawabnya santai. “Kebetulan ada meeting di gedung sebelah. Lihat kamu di sini… ya mampir sebentar.”
“Sebentar itu… maksudnya berapa lama?” suara Raisa meninggi.
Ardan tersenyum samar. “Sampai kamu selesai, mungkin.”
Ya Allah, sabarkan aku…
Dina menepuk bahu Raisa pelan. “Kenalin dong, Rai. Kita semua penasaran.”
Raisa menatap sahabatnya tajam. “Dina…”
Tapi Ardan dengan sopan menyodorkan tangan. “Ardan. Teman lama ibunya Raisa.”
Satu per satu teman Raisa menjabat tangannya, sebagian terkesan, sebagian berbisik-bisik. Raisa merasa kepalanya berasap.
Ardan lalu duduk di kursi kosong di sebelah Raisa, tanpa diminta.
“Om—” Raisa menahan suara agar tidak terdengar orang lain. “Kenapa sih harus di sini?!”
“Kenapa nggak? Ini kafe umum.”
“Om sengaja banget, ya, bikin aku malu?”
“Kalau kamu malu karena duduk bareng Om, berarti kamu terlalu peduli sama omongan orang.”
DIA INI NYEBELIN BANGET! Raisa meremas sedotan minumannya sampai bengkok.
Obrolan di meja jadi canggung. Beberapa teman mencoba mengajak Ardan ngobrol soal pekerjaannya, dan Ardan menjawab dengan ramah. Ternyata pria itu bukan hanya tahu cara berbicara dengan sopan, tapi juga pandai mengendalikan percakapan.
Raisa semakin frustasi. Kenapa sih semua orang suka sama dia?!
Setelah setengah jam yang terasa seperti setahun, Raisa akhirnya berdiri. “Aku pulang duluan.”
Dina memprotes, tapi Raisa sudah meraih tasnya. Ardan ikut berdiri. “Om antar.”
“NGGAK USAH.”
“Raisa.”
Nada suaranya membuat Raisa berhenti. Ia mendengus. “Fine. Tapi habis ini, Om jangan ikut-ikutin aku lagi. Serius.”
Di perjalanan pulang, mobil dipenuhi hening. Raisa menatap keluar jendela, mencoba menekan amarahnya.
“Kenapa kamu marah banget?” tanya Ardan akhirnya.
Raisa menoleh cepat. “Kenapa? Karena Om nggak ngerti rasanya jadi aku! Semua orang ngeliatin, ngegosipin, dan Om… Om malah bikin semuanya makin parah!”
Ardan menatap jalan, wajahnya tetap tenang. “Om nggak pernah bermaksud bikin kamu susah.”
“Ya tapi kenyataannya Om bikin hidupku kayak drama murahan!”
Hening lagi.
Ardan lalu berkata pelan. “Kalau kamu mau Om pergi, Om pergi. Tapi jangan salahkan Om karena peduli.”
Raisa tertegun. Kata-kata itu seperti menusuk sesuatu di dalam dadanya. Ia ingin berteriak… tapi suaranya hilang.
Setibanya di depan kos, Raisa keluar tanpa menoleh. Tapi sebelum menutup pintu, Ardan berkata, “Raisa. Om tahu kamu benci Om. Tapi Om lebih memilih dibenci daripada nggak ada di hidupmu sama sekali.”
Raisa menutup pintu keras-keras, berlari ke kamarnya, dan menjatuhkan diri ke kasur.
Ia menatap langit-langit dengan mata berkaca-kaca. Kenapa dia selalu ngomong kayak gitu?! Kenapa dia nggak pernah pergi aja?
Dan untuk pertama kalinya, Raisa sadar—ia tidak hanya kesal pada Ardan. Ia juga… takut.
Takut karena pria itu mulai mengguncang benteng yang selama ini ia pasang.
*
“Rai, Mama minta kamu di rumah besok malam. Kita makan malam bareng Ardan,” suara Mama terdengar dari ruang makan ketika Raisa baru pulang kuliah.
Raisa yang sudah capek langsung mendengus. “Ma, bisa nggak sekali aja… nggak bawa-bawa Om Ardan ke pembicaraan?”
Mama menatap putrinya. “Kamu masih marah?”
“Marah? Aku udah nggak tahu ini marah atau muak.” Raisa meletakkan tas di kursi. “Ma, tolong deh… hentikan semua ini. Aku nggak mau ketemu dia. Nggak mau, Ma.”
Mama menarik napas panjang. “Rai, kamu belum kenal dia. Kalau kamu mau beri kesempatan—”
“Kenapa sih Ma selalu bela dia?!” Raisa meninggikan suara. “Aku nggak ngerti, Mama tuh mikir apa? Mau nikahin aku sama orang setua itu?! Anak-anaknya aja seumuran aku! Ini tuh nggak masuk akal, Ma!”
“Ardan itu pria baik, Rai!”
“Pria baik? Jadi karena dia baik, aku harus nikah sama dia?!”
Mama menggebrak meja, membuat Raisa terdiam sesaat. “RAISA! Kamu tuh keras kepala banget! Kamu kira hidup itu cuma soal suka nggak suka? Mama mau kamu dapat suami yang bisa jagain kamu! Ardan bisa!”
Raisa menatap Mamanya dengan mata berkaca-kaca. “Mama nggak pernah tanya aku mau apa. Mama cuma mikirin apa yang menurut Mama terbaik. Padahal… aku yang harus ngejalanin, Ma. Bukan Mama.”
Hening.
Mama terdiam, wajahnya tegang. Raisa bisa melihat bagaimana urat di pelipisnya menegang.
“Aku nggak akan datang besok,” kata Raisa akhirnya.
Mama menatapnya tajam. “Kalau kamu keluar dari rumah ini malam ini, jangan balik.”
Raisa tercekat. “Serius, Ma?”
“Serius.”
Itu puncaknya. Tanpa kata lagi, Raisa mengambil jaket dan kunci mobil. Ia melangkah cepat ke luar rumah, menutup pintu dengan keras.
Udara malam menusuk kulit. Raisa mengemudi tanpa tujuan, hanya tahu ia ingin jauh dari rumah. Dari Mama. Dari Ardan. Dari semua drama ini.
Kalau hidupku mau berantakan, ya biarin aja! pikirnya.
Ponselnya berbunyi. Dina.
“Rai, kamu di mana? Sini ikut aku. Kita di club. Biar kamu lupa masalah.”
Raisa menatap layar sebentar, lalu menjawab, “Kirim lokasinya.”
Club itu ramai, lampu strobo berkedip, musik menghentak memenuhi ruang. Raisa merasa seperti masuk ke dunia lain—tempat di mana masalah bisa tenggelam di antara dentuman bass dan alkohol.
Dina menyambutnya dengan pelukan. “YES! Kamu datang! Udah, lepasin bebanmu malam ini!”
Segelas, dua gelas, tiga gelas. Raisa jarang minum, tapi malam itu ia tak peduli. Alkohol mengalir cepat di tubuhnya, membuat dunia terasa berputar tapi entah kenapa lebih ringan.
Jam bergulir. Raisa tertawa tanpa sebab, ikut menari di tengah kerumunan. Dina sesekali mengawasinya, tapi teman-teman lain mengajak Dina ikut bersenang-senang.
Sampai Raisa tersandung kursi dan hampir jatuh.
“Raisa?”
Sebuah suara berat menghentikan gerakannya.
Ia menoleh. Dunia terasa berputar, tapi ia mengenali sosok itu bahkan dalam keadaan kabur.
“Om Ardan?” suaranya lirih.
Ardan berdiri di sana, dengan kemeja lengan panjang yang digulung, wajah tegang, dan tatapan yang menancap langsung ke dirinya.
“Ya Allah…” gumamnya. “Kamu ngapain di sini?!”
Raisa tertawa hambar. “Ngelupain masalah. Kok Om tahu aku di sini?!”
Ardan melangkah mendekat. “Dina kirim pesan ke Om. Kamu nggak angkat telepon. Kamu tahu ini tempat apa?!”
Raisa mendengus. “Tempat orang dewasa. Om kan suka yang dewasa?”
Ardan mendekat cepat, menahan bahunya. “Kamu mabuk, Raisa. Kita pulang sekarang.”
“NGGAK!” Raisa menepis tangannya. “Kenapa sih Om selalu muncul?!” suaranya meninggi, membuat beberapa orang menoleh. “Aku mau sendiri! Nggak mau lihat Om!”
Ardan menggertakkan gigi. “Kamu mau sendiri sampai apa? Sampai pingsan di sini?!”
“BIARIN!”
Beberapa orang mulai merekam dengan ponsel. Ardan menarik napas panjang, lalu tanpa banyak kata mengangkat Raisa ke pundaknya.
“LEPAS! OM!” Raisa meronta, memukul punggungnya, tapi kekuatan Ardan membuatnya tak berkutik.
“Diam, Raisa,” suaranya rendah tapi tegas.
Ardan membawa Raisa keluar dari club. Udara malam terasa lebih dingin ketika mereka melangkah ke parkiran. Raisa masih berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya habis.
“Kenapa… Om selalu ada?” gumamnya dengan mata setengah terpejam.
Ardan menghentikan langkah, menatap wajahnya lama. “Karena kalau Om nggak ada, siapa yang jagain kamu?”
Di mobil, Raisa tertidur di kursi penumpang. Ardan menghela napas panjang sambil mengemudi. Tangannya mengepal di setir, menahan emosi campur aduk—marah, khawatir, dan… rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan.
Ia menatap gadis itu sekilas. Rambutnya berantakan, wajahnya merah karena alkohol.
Apa kamu benci aku sampai begini, Raisa? batinnya.
Ardan tidak membawanya pulang ke rumah Mama—ia tahu itu hanya akan memicu perang baru. Ia membawanya ke apartemennya sendiri.
Dengan hati-hati, ia menggendong Raisa ke kamar tamu, meletakkannya di ranjang, dan menarik selimut.
Ia berdiri lama di pintu, menatap gadis itu.
“Bencilah aku sepuasmu,” gumamnya pelan. “Asal kamu tetap aman.”
Raisa mengigau dalam tidur. “Om… jangan tinggalin aku…”
Ardan mematung. Kata-kata itu membuat dadanya terasa diremas.
Ia mematikan lampu kamar, menutup pintu, dan duduk di sofa ruang tamu. Malam itu, ia tidak tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments