NovelToon NovelToon

Jodohku Teman Mama

Bab 1

Suara hujan deras menghantam atap rumah, membuat suasana sore itu terasa lebih sendu. Dari balik tirai putih ruang tamu, Raisa menatap butiran air yang mengalir di jendela, mengikuti alurnya hingga jatuh ke bawah. Pandangannya kosong.

“Raisss…,” suara Mama terdengar dari dapur. “Tolong ke sini, bantu Mama siapin meja. Ada tamu datang.”

“Siapa lagi, Ma?” jawab Raisa malas sambil tetap memeluk bantal kecil di sofa.

Mama keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi kue basah. “Teman Mama. Kamu kenal kok. Om Ardan.”

Raisa langsung mendongak. “Hah? Om Ardan?!”

Mama mengangguk santai. “Iya. Dia ada urusan di dekat sini. Sekalian mampir. Udah lama banget nggak ketemu dia.”

“Ngapain sih Om Ardan datang ke sini segala? Dia kan biasanya sibuk kerja di luar kota.”

Mama menaruh nampan di meja. “Loh, salah ya kalau dia datang? Kayak nggak seneng aja. Kamu tuh dari kecil sering main sama anaknya. Dulu tiap dia ke sini, kamu selalu cerewet cerita ini itu. Sekarang malah kayak ogah-ogahan.”

Raisa menghela napas panjang. “Itu dulu, Ma. Sekarang aku udah gede.”

Mama hanya tersenyum kecil, lalu menepuk bahu putrinya. “Justru karena kamu udah gede, kamu harus ramah. Udah, ayo siapin gelas sama piring. Nggak lama lagi dia datang.”

Dengan enggan, Raisa berdiri. Rambut hitam panjangnya diikat seadanya, dan ia berjalan ke dapur. Om Ardan… Nama itu selalu terdengar asing sekaligus akrab. Ia memang mengenalnya sejak kecil, tapi terakhir kali bertemu langsung… mungkin tiga tahun lalu? Yang ia ingat, Ardan adalah pria dewasa yang ramah tapi terkesan kaku. Dulu ia sering mendengar Mama bercerita bahwa Ardan adalah sahabat lamanya sejak SMA, yang kemudian sukses menjadi pengusaha dan tinggal di luar kota.

Tak lama, suara mobil berhenti di depan rumah. Raisa mengintip dari jendela. Sebuah SUV hitam terparkir. Dari dalam, keluar seorang pria tinggi berjas rapi. Rambutnya sedikit beruban di pelipis, namun wajahnya tetap terlihat tegas dan berwibawa. Ardan.

Raisa mendadak merasa canggung. Gila, makin tua malah makin kelihatan keren. Ih, apa sih Ra, mikir apaan…

Tok! Tok! Tok!

Mama segera membuka pintu, wajahnya berbinar. “Dan! Akhirnya datang juga kamu!”

“Assalamualaikum,” sapa Ardan dengan senyum tipis. Suaranya berat dan dalam.

“Waalaikumsalam,” jawab Mama ceria. “Ayo masuk! Dingin di luar, hujan begini.”

Ardan melangkah masuk, menyalami Mama dengan penuh hormat. Pandangannya kemudian beralih pada Raisa yang berdiri di ambang dapur. Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu.

“Raisa?” suaranya terdengar heran.

Raisa merasa pipinya panas. Ia mengangguk canggung. “Iya, Om.”

Ardan menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, bukan dengan tatapan melecehkan, melainkan seperti orang yang benar-benar takjub. “Wah… terakhir kali Om lihat, kamu masih remaja. Sekarang… udah jadi gadis dewasa ya.”

Raisa hanya tersenyum tipis. “Hehe, iya Om. Udah lama nggak ketemu.”

“Duduk dulu, Dan,” ujar Mama sambil menuntunnya ke sofa. “Raisa, bikinin teh hangat ya.”

“Siap, Ma,” jawab Raisa, bergegas ke dapur.

Di balik meja dapur, Raisa mengambil napas panjang. Jantungnya berdetak cepat, lebih dari biasanya. Ia sendiri tak mengerti kenapa. Dia cuma Om Ardan. Teman Mama. Bukan siapa-siapa. Kenapa jadi deg-degan begini?

 

“Jadi, kamu sekarang tinggal di Jakarta terus?” tanya Mama sambil menuang teh ke cangkir Ardan.

Ardan mengangguk. “Iya, sementara ini. Ada beberapa urusan bisnis yang harus aku pegang langsung. Mungkin sekitar setahun aku bakal stay di sini.”

“Oh, baguslah. Jadi kita bisa sering ketemu.”

Raisa keluar membawa piring kue, lalu duduk di kursi sebelah Mama.

Ardan memperhatikannya sekilas. “Kamu sekarang kuliah di mana, Raisa?”

“UI, Om. Jurusan Psikologi.”

Ardan mengangkat alisnya. “Bagus. Berarti kamu sudah semester akhir ya?”

“Iya. Tinggal skripsi.”

Ardan mengangguk-angguk. “Kamu pasti pinter. Dulu aja waktu kecil, Om ingat kamu paling cerewet soal cerita-cerita psikologi anak-anak.”

Raisa tertawa kecil. “Ah, Om masih inget aja.”

Ardan menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu di matanya—entah kekaguman, entah sekadar nostalgia.

 

Obrolan berlangsung hangat. Ardan bercerita tentang bisnisnya, Mama bercerita tentang kegiatan sehari-hari. Raisa hanya sesekali ikut nimbrung. Tapi setiap kali Ardan berbicara, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berhenti memperhatikan. Wibawanya, caranya menyusun kata-kata, bahkan cara ia memegang cangkir teh—semuanya terlihat… menarik.

Hujan di luar semakin reda. Waktu terasa berjalan lambat.

Sampai akhirnya, Ardan menatap Mama. “Lis, sebenarnya aku ke sini bukan cuma mau silaturahmi.”

Mama menoleh penasaran. “Loh? Memangnya ada apa?”

Ardan menghela napas panjang. “Aku… mau bicara serius. Sama kamu. Dan Raisa.”

Raisa sontak kaget. Sama aku? Ngapain?

Mama tampak heran. “Serius gimana?”

Ardan menatap Raisa sekilas, lalu kembali pada Mama. “Lis, kamu tahu aku sudah lama sendiri sejak cerai. Aku nggak pernah kepikiran untuk menikah lagi. Tapi… belakangan ini aku merasa butuh teman hidup. Dan setelah mempertimbangkan banyak hal…” Ia berhenti sejenak. “Aku… berniat melamar Raisa.”

 

Suasana langsung hening.

Mama membeku, menatap Ardan dengan mata terbelalak. “Apa?”

Raisa pun merasa dunia berhenti berputar. APA?!

Ardan menatap Raisa dengan penuh ketenangan. “Aku tahu ini mendadak. Dan mungkin kalian kaget. Tapi aku serius. Aku ingin menjadikan Raisa istriku.”

 

“Om… bercanda, kan?” suara Raisa tercekat.

“Tidak.”

Mama langsung berdiri. “Ardan! Kamu sadar apa yang kamu omongin? Kamu itu… seumuran sama aku! Raisa anakku!”

Ardan tetap tenang. “Justru karena itu aku datang ke sini. Aku ingin minta izin baik-baik. Lis, aku nggak main-main. Aku sudah memikirkan ini dengan matang. Raisa bukan sekadar anak kecil bagiku. Dia… wanita dewasa yang menurutku tepat untuk mendampingi hidupku.”

Raisa masih tak bisa berkata apa-apa. Otaknya blank. Kenapa harus aku? Dari semua orang di dunia ini, kenapa aku?

 

Mama duduk kembali, memegang keningnya. “Ardan… kamu sadar nggak perbedaan umur kalian? Apa kata orang nanti? Apa kata keluargamu? Apa kata orang-orang?”

Ardan menatap Mama dalam. “Aku tidak peduli kata orang. Yang penting… aku serius pada Raisa.”

Raisa akhirnya bersuara, suaranya pelan. “Om… kenapa aku? Kita bahkan jarang ketemu. Aku… nggak ngerti.”

Ardan menatapnya. “Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu, Raisa. Ketenangan, kecerdasan, dan hati yang tulus. Aku butuh seseorang seperti kamu. Dan aku siap melindungimu, menjagamu, membuatmu bahagia. Kalau kamu mau.”

 

Raisa tercekat. Kata-kata itu terdengar seperti janji besar. Tapi hatinya bergejolak. Ia masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan, apalagi dengan pria yang selama ini ia anggap seperti… Om-nya sendiri.

Mama masih syok. “Ardan… aku butuh waktu. Ini terlalu mendadak.”

Ardan mengangguk. “Aku paham. Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kalian tahu keseriusanku.”

 

Malam itu, setelah Ardan pamit, Raisa masuk ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Ia terduduk di tepi ranjang, memegang dadanya yang masih berdebar keras.

Dilamar… sama Om Ardan?

Ia memejamkan mata, mencoba memahami perasaannya sendiri. Antara bingung, takut… dan entah kenapa, sedikit tersentuh.

Bab 2

Raisa duduk di tepi ranjang dengan wajah muram. Kakinya menggantung di sisi ranjang, berayun tanpa arah, sementara kedua tangannya sibuk meremas ujung bantal. Hujan di luar telah reda, tetapi gemuruh di dadanya belum juga tenang.

Suara ketukan di pintu membuatnya sedikit tersentak.

“Rai, boleh Mama masuk?”

Raisa mendengus kecil. “Masuk aja, Ma.”

Mama melangkah masuk, duduk di sebelah putrinya. Perempuan paruh baya itu tampak sama lelahnya, seperti habis menempuh perjalanan panjang meski seharian hanya berada di rumah.

“Raisa…” Mama menghela napas panjang. “Tadi itu… kagetin, ya?”

Raisa menoleh dengan tatapan tak percaya. “Kagetin? Ma, itu bukan kagetin lagi. Itu… gila! Masa Om Ardan tiba-tiba bilang mau ngelamar aku?! Om Ardan, Ma! TEMAN Mama sendiri!”

Mama mengelus pundaknya, mencoba menenangkan. “Makanya Mama langsung bilang ke dia, kita butuh waktu. Mama nggak mungkin langsung jawab iya atau nggak.”

“Tapi kok Mama nggak langsung nolak?!”

Mama terdiam. “Karena… Mama nggak mau buru-buru mutusin sesuatu yang sepenting ini.”

Raisa mendelik. “Sepenting ini? Ma… yang ngomong tadi itu teman Mama, seumuran Mama, duda pula. Lagian, dia punya anak yang usianya nggak jauh beda sama aku. Aku nggak bisa bayangin, Ma. Geli!”

Mama menahan tawa kecil, meski jelas ekspresinya campur aduk. “Ya ampun, Raisa… kamu jangan ngomong kayak gitu. Om Ardan itu orang baik. Kamu sendiri tahu kan dia seperti apa?”

“Orang baik? Iya, aku tahu. Tapi bukan berarti aku harus nikah sama dia!” Raisa berdiri, mondar-mandir di kamarnya, kedua tangannya mengepal. “Ma, please deh… Om Ardan itu udah TUA. Liat aja, rambutnya udah beruban. Aku nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba ngomong kayak gitu. Lagian… dia itu kan sahabat Mama. Apa nggak aneh kalau tiba-tiba jadi suami aku?”

Mama ikut berdiri, berusaha menenangkan. “Rai, kamu jangan cuma lihat dari usia. Om Ardan itu—”

“Justru karena aku lihat usianya, Ma!” Raisa memotong dengan suara meninggi. “Aku 23 tahun. Dia… berapa? 45? 46? Itu hampir dua kali umur aku! Aku nggak mau, Ma.”

Mama terdiam. Wajahnya terlihat bersalah sekaligus bingung.

Raisa kembali duduk di ranjang dengan wajah tertunduk. “Ma, aku tahu Mama sayang sama Om Ardan sebagai teman. Tapi jangan paksa aku buat nerima sesuatu yang… aku bahkan nggak bisa mikirin aja udah mual.”

 

Hening.

Mama akhirnya duduk di sampingnya lagi. “Rai… Mama nggak maksa. Mama cuma bilang, kasih kesempatan buat mikir. Om Ardan tadi juga nggak minta jawaban sekarang. Dia cuma minta kita mempertimbangkan.”

Raisa menoleh tajam. “Mempertimbangkan? Buat apa? Ma, aku belum siap nikah. Sama siapapun. Apalagi sama Om Ardan. No. Big no.”

Mama terdiam, menatap wajah putrinya. “Mama ngerti kamu kaget. Tapi, Rai, nikah itu nggak melulu soal umur. Kamu butuh pasangan yang bisa jaga kamu, ngerti kamu. Om Ardan—”

“Stop, Ma!” Raisa menutup telinganya sebentar. “Jangan bilangin aku soal kelebihan dia. Mau dia kaya, mapan, baik, atau apapun… aku nggak peduli. Aku nggak suka.”

Mama menghela napas panjang, kali ini lebih berat. “Rai… Mama nggak mau kamu nyesel suatu hari nanti cuma karena nutup hati duluan.”

Raisa berdiri cepat. “Nyeseeeel? Ma, yang nyesel justru nanti kalau aku nikah sama orang yang nggak aku cintai!”

 

Mereka terdiam. Kata-kata Raisa menggantung di udara.

Mama menunduk, jemarinya meremas ujung gamis. “Kamu bener… soal itu.”

Raisa melunak sedikit, suaranya lebih pelan. “Ma… aku nggak punya perasaan apa-apa ke Om Ardan. Bahkan aku… nggak bisa bayangin dia dalam hidup aku. Aku tahu dia orang baik, tapi… dia bukan buat aku.”

Mama memejamkan mata sebentar. “Ya udah. Mama nggak bakal maksa. Tapi janji sama Mama, jangan ngomong ini ke orang lain dulu. Apalagi ke teman-temanmu. Ini hal serius, jangan jadi bahan gosip.”

Raisa mengangguk. “Oke. Tapi Mama juga janji… tolong jangan bawa-bawa topik ini lagi ke aku.”

Mama menghela napas panjang. “Mama janji. Tapi cepat atau lambat… kamu harus ngomong sendiri sama Om Ardan. Supaya dia ngerti.”

 

Raisa langsung pucat. “Ngomong? Sama dia? Ma… nggak bisa. Malu banget.”

“Rai, kamu yang nolak. Harus kamu yang bilang langsung. Itu lebih sopan.”

Raisa mengerang frustrasi. “Kenapa sih hidup aku jadi serumit ini cuma gara-gara Om Ardan?”

Mama mengelus punggungnya. “Kadang orang baik datang di waktu yang nggak tepat. Tapi bukan berarti kita boleh kasar nolaknya.”

Raisa hanya mendengus.

 

Malam itu Raisa tak bisa tidur. Berkali-kali ia membolak-balikkan tubuh di ranjang, tapi matanya tetap terjaga. Kenapa harus aku? pikirnya. Dari semua perempuan yang bisa Om Ardan pilih, kenapa aku?

Ia mencoba mengingat tatapan Ardan tadi sore. Tatapan yang tenang, tapi dalam. Tatapan yang membuatnya… entah kenapa, merasa seperti dilihat sepenuhnya, bukan sebagai anak kecil, bukan sebagai putri temannya, tapi sebagai dirinya sendiri.

Raisa mendesah keras. “Ih, apa sih! Jangan mikirin dia!” gerutunya sendiri.

 

Keesokan harinya, Raisa bangun lebih pagi dari biasanya. Ia memutuskan untuk menghindari topik pembicaraan tentang Ardan dengan Mamanya. Ia juga memutuskan: begitu ada kesempatan, ia akan menemui Ardan sendiri untuk menolak secara baik-baik.

Namun, siang itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nomor tak dikenal.

Ardan: Raisa, ini Om Ardan. Maaf mengganggu. Om tahu kamu pasti kaget kemarin. Kalau kamu berkenan, Om ingin bicara langsung sama kamu. Bukan sebagai teman Mama, tapi sebagai pria yang serius sama kamu.

Raisa menatap layar ponselnya lama. Hatinya berdegup kencang.

 

Om Ardan itu… udah tua, Ma! pikirnya lagi. Tapi mengapa pesan itu terasa… berbeda?

Apakah ia benar-benar siap menolak secara langsung?

bab 3

Langkah kaki Raisa terdengar tergesa menuruni tangga rumah kosannya siang itu. Ia mengenakan jeans biru longgar dan kaus putih, rambutnya diikat asal—pakaian andalan kalau sedang malas tampil rapi. Hari ini cuma mau ke kampus buat revisi skripsi, pikirnya. Ia ingin hari itu berlalu biasa saja, tanpa gangguan.

Namun begitu membuka pintu pagar kos, dunia seolah menertawakan doanya.

Sebuah mobil SUV hitam berkilau terparkir di depan. Jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan sosok pria yang sudah membuat hidupnya kacau dalam dua hari terakhir.

“Raisa,” suara berat itu terdengar.

Raisa mematung di tempat. Detak jantungnya otomatis berpacu lebih cepat. Apa-apaan sih orang ini?!

Ardan keluar dari mobil dengan kemeja putih rapi dan celana hitam, penampilannya membuatnya tampak seperti baru keluar dari rapat penting. Tubuhnya yang tegap dan tinggi membuatnya berdiri dengan wibawa.

“Apa kabar?” tanyanya, seolah mereka baru bertemu biasa.

Raisa spontan mendengus. “Om ngapain di sini?”

Ardan tidak terpengaruh nada ketus itu. “Boleh kita bicara sebentar? Di tempat yang tenang.”

“Nggak bisa. Aku mau ke kampus,” balas Raisa cepat.

“Kalau begitu, Om antar. Sambil bicara.”

Raisa mendengus lebih keras. “Om nggak ngerti, ya? Aku nggak mau bicara!”

Ardan mendekat perlahan, jarak mereka kini hanya tinggal satu meter. “Raisa. Kamu punya hak untuk marah. Tapi beri Om lima menit saja untuk menjelaskan. Setelah itu, kalau kamu tetap mau menolak, Om nggak akan memaksa.”

Nada suaranya tenang, tapi tegas. Raisa menggigit bibir bawahnya. Ia benci karena hatinya sedikit goyah.

“Lima menit?”

Ardan mengangguk. “Lima menit.”

 

Dengan berat hati, Raisa masuk ke mobilnya. Begitu duduk, ia langsung memeluk tas di pangkuan, seolah itu bisa menjadi pelindung dari semua kegugupannya.

“Ke kampus?” tanya Ardan sambil menyalakan mesin.

“Iya. UI Depok.”

Mobil melaju perlahan. Suasana di dalam mobil hening untuk beberapa menit. Raisa melirik ke arah Ardan sekilas—pria itu mengemudi dengan tenang, matanya fokus ke jalan. Tidak ada gerakan yang berlebihan. Tidak ada tatapan mengganggu. Tapi justru itu membuat Raisa semakin gelisah.

 

“Kenapa Om ngelakuin ini?” akhirnya Raisa membuka suara.

Ardan meliriknya sebentar. “Maksudmu?”

“Melamar aku. Om sadar nggak… betapa anehnya itu? Aku… aku bahkan nggak bisa ngerti jalan pikirannya.”

Ardan menghela napas. “Om tahu. Dan Om minta maaf kalau membuatmu tertekan. Tapi Om nggak main-main waktu bilang itu.”

“Kenapa aku? Dari semua orang, kenapa aku? Om bahkan jarang ketemu aku!”

Ardan menoleh sebentar, menatapnya dalam. “Mungkin kita jarang ketemu, tapi dari dulu Om memperhatikanmu. Kamu tumbuh jadi wanita yang kuat, cerdas, dan punya hati yang besar. Om melihat itu. Dan Om merasa… kamu adalah orang yang bisa membuat hidup Om berarti lagi.”

Raisa mengerutkan kening. Kata-kata itu terlalu berat untuk dicerna. “Om… itu aneh. Aku ini… seumuran anak Om. Kalau Om butuh teman hidup, cari yang… ya… seumuran Om lah. Atau setidaknya… yang bukan teman anaknya.”

Ardan tersenyum tipis. “Usia memang berbeda, Raisa. Tapi hati manusia nggak mengenal hitungan angka. Om nggak mencari orang yang sekadar sebaya. Om mencari orang yang bisa benar-benar mengerti.”

 

Raisa mendengus sinis. “Kedengarannya kayak omongan manis pria yang lagi cari alasan buat nikah sama cewek muda.”

Ardan menoleh lagi, tatapannya tetap tenang. “Kalau kamu mau menganggap begitu, silakan. Tapi Om jujur. Om sudah lama sendiri. Om tahu hidup Om tidak sempurna, tapi Om ingin mencoba memperbaikinya. Dan… Om ingin kamu jadi bagian dari itu.”

Raisa merasa dadanya sesak. Ia ingin marah, tapi kata-kata itu terasa terlalu tulus untuk diabaikan.

 

Mereka tiba di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan. Ardan memarkir mobil, lalu menoleh. “Kita bicara sebentar di sini. Lima menit. Kalau kamu nggak nyaman, Om akan mengantarmu langsung ke kampus.”

Raisa menghela napas panjang. “Baiklah.”

 

Kedai kopi itu sepi. Mereka duduk di pojok, jauh dari pandangan orang. Raisa memeluk tubuhnya sendiri, sementara Ardan duduk dengan tenang di seberangnya.

“Raisa,” suara Ardan pelan. “Om tahu kamu marah. Kamu berhak marah. Tapi Om juga ingin kamu tahu, ini bukan keputusan yang Om buat secara sembarangan. Om sudah memikirkannya berbulan-bulan.”

“Berbulan-bulan?!” Raisa membelalak. “Om… udah mikirin aku selama itu?”

Ardan mengangguk. “Iya. Om tahu kamu butuh waktu untuk menerima atau menolak. Tapi Om ingin kamu tahu dulu niat Om. Supaya kamu nggak berpikir ini cuma keinginan mendadak.”

 

Raisa tertawa hambar. “Om sadar nggak… Mama juga kaget. Dan aku… aku bener-bener nggak tahu harus gimana.”

Ardan menatapnya dalam. “Kalau kamu nggak mau, bilang saja. Om tidak akan memaksa. Tapi beri Om kesempatan untuk menunjukkan siapa Om sebenarnya. Bukan sebagai teman Mamamu. Tapi sebagai pria yang ingin mengenalmu lebih jauh.”

 

Raisa menggigit bibirnya. Ia ingin menjawab “tidak” saat itu juga. Tapi kata-kata Ardan terdengar terlalu… serius.

Ia berdiri cepat. “Aku… aku nggak bisa sekarang. Aku butuh waktu. Dan… Om… jangan datang tiba-tiba kayak gini lagi. Aku benci.”

Ardan mengangguk pelan. “Baik. Om akan menunggu sampai kamu siap bicara lagi.”

Raisa berbalik dan melangkah keluar kedai. Dadanya berdebar kencang.

 

Dalam perjalanan ke kampus, ia berkali-kali memukul setir motornya pelan. “Kenapa sih dia ngomong kayak gitu?! Bikin aku… mikir.”

Ia tahu satu hal: Ardan mungkin tua, tapi pria itu tahu bagaimana membuat kata-katanya menghantam langsung ke hati.

Dan itu yang membuat Raisa semakin kesal.

*

Hari itu panasnya tak masuk akal. Matahari terasa seperti bola api yang digantung rendah di atas kepala. Jalanan kampus ramai, suara klakson dan teriakan pedagang kaki lima bercampur menjadi satu.

Raisa mengerang sambil menyalakan mobilnya yang sudah agak tua—hadiah dari ayahnya sebelum ia meninggal beberapa tahun lalu. Mobil itu memang sering rewel, tapi biasanya masih mau kompromi kalau ia ajak jalan.

“Please… jangan sekarang,” gumamnya sambil memutar kunci kontak.

Brrr… brrr…

Mesin hanya bergetar sebentar lalu mati. Raisa menekuk wajahnya frustasi. “Ya Allah… jangan di sini, dong.”

Beberapa mahasiswa yang lewat menoleh, sebagian melirik penuh kasihan, sebagian lagi menahan tawa. Rasanya dunia benar-benar kompak mempermalukannya.

Ia keluar, membuka kap mobil, menatap mesin dengan wajah bingung. Apa yang aku lihat? Aku kan nggak ngerti beginian… pikirnya.

 

“Raisa?”

Suara berat itu datang lagi.

Raisa sontak menoleh. Dan di sana, seperti déjà vu dari tiga hari terakhir, berdiri Ardan. Kali ini dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung ke siku, tangan kirinya memegang jas, sementara tangan kanannya membawa kunci mobil.

“Serius, ya Allah?!” Raisa spontan berseru. “Kenapa tiap aku susah, yang muncul selalu Om?!”

Ardan hanya mengangkat alis, mendekat dengan ekspresi datar. “Kenapa? Kamu nggak seneng Om datang?”

“Ya nggak lah!” Raisa melipat tangan di dada. “Om ngapain di sini? Ngikutin aku, ya?”

Ardan menghela napas, jelas menahan diri. “Om ada rapat di fakultas sebelah. Kebetulan lewat sini. Dan kebetulan… kamu mogok.”

“Kebetulan? Kebetulan banget, ya?!” Raisa mendengus. “Kayaknya semesta doyan banget bikin aku ketemu Om.”

“Kalau begitu… mungkin semesta mau kamu dengerin Om,” jawab Ardan tenang, membuat Raisa mendelik.

 

Tanpa minta izin, Ardan mencondongkan tubuh ke arah mesin mobil. “Kuncinya mana?”

“Eh, Om! Jangan seenaknya—”

“Raisa,” potong Ardan sambil menoleh, suaranya serius. “Kalau kamu mau mobil ini hidup lagi, kasih kuncinya.”

Raisa ingin membantah, tapi akhirnya ia mengulurkan kunci dengan wajah cemberut.

Ardan mulai memeriksa mesin. Gerakannya teratur, seperti orang yang paham betul apa yang dilakukan. Raisa memelototinya dari samping.

“Om nggak usah repot-repot. Aku bisa panggil montir,” gumam Raisa.

“Kalau bisa sekarang, kenapa harus nunggu?” jawab Ardan tanpa mengalihkan pandangan.

Lagi-lagi jawaban logis… nyebelin! batin Raisa.

 

Lima belas menit kemudian, Ardan menutup kap mobil. “Coba nyalain.”

Raisa masuk ke mobil, memutar kunci. Mesin menyala dengan suara yang jauh lebih mulus.

“Wow.” Ia tak bisa menahan kekagumannya. “Om… ternyata bisa juga.”

Ardan hanya tersenyum tipis. “Sedikit-sedikit.”

 

Raisa keluar lagi, menyandarkan tubuh ke pintu mobil. “Oke, makasih. Udah nolongin aku. Sekarang… Om bisa pergi.”

Ardan menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Om antar kamu pulang.”

“Apa?!”

“Mobil ini nggak aman buat jalan jauh kalau sendirian. Biar Om yang bawa. Kamu ikut mobil Om.”

Raisa melipat tangan. “Om pikir aku ini apa? Anak kecil? Aku bisa nyetir sendiri.”

“Kalau kamu mogok di tengah jalan tol nanti gimana?”

“Kalau mogok lagi, aku bisa panggil bantuan!”

Ardan mendekat sedikit, menatapnya lekat. “Raisa. Tolong. Kali ini ikuti Om.”

Ada sesuatu di nada suaranya—bukan marah, bukan memaksa, tapi… tegas. Raisa mendesah panjang. “Kenapa sih Om suka banget ngatur-ngatur?”

“Karena Om peduli,” jawabnya singkat.

Raisa tercekat. Kata itu menghantamnya lebih kuat dari yang ia duga.

 

Akhirnya, mereka berdua naik mobil Ardan, sementara mobil Raisa dibawa oleh sopir yang dipanggil Ardan untuk mengantar ke bengkel.

Di dalam mobil, hening mendominasi. Raisa memilih menatap ke luar jendela, menolak bertemu mata dengan pria itu. Tapi sesekali ia meliriknya diam-diam.

Ardan mengemudi dengan santai. Sesekali ia menatap ke arah Raisa. “Kamu nggak apa-apa?”

“Baik-baik aja.”

“Kelihatan nggak.”

Raisa mendengus. “Om tuh ya… selalu muncul kayak pahlawan kesiangan. Tapi tahu nggak? Aku nggak butuh diselamatin.”

Ardan menoleh sebentar. “Kamu yakin?”

Raisa langsung membalas tatapannya. “Yakin.”

 

Ardan menghela napas. “Raisa, Om tahu kamu benci ketemu Om. Tapi… kenapa kamu nggak coba lihat Om sebagai orang biasa? Bukan teman Mamamu. Bukan pria yang melamarmu. Hanya… Ardan.”

Raisa mendengus. “Ya gampang ngomong gitu. Tapi kenyataannya nggak bisa, Om.”

“Kenapa nggak bisa?”

“Karena setiap lihat Om, aku inget kata-kata Om. Dan itu… bikin aku risih.”

 

Ardan menepikan mobil di sebuah taman kecil. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke Raisa. Tatapannya tenang, tapi dalam.

“Kalau Om bikin kamu risih, maafkan. Tapi Om nggak menyesal ngomong jujur soal perasaan Om.”

Raisa merasa kepalanya berdenyut. “Kenapa sih Om nggak bisa nyerah aja? Aku nggak mau nikah sama Om. Udah jelas, kan?”

Ardan mengangguk pelan. “Kalau itu keputusanmu, Om terima. Tapi Om ingin kamu benar-benar yakin itu keputusanmu, bukan sekadar emosi.”

 

Raisa menunduk, menggigit bibir. Kenapa sih dia selalu ngomong kayak gini? Selalu bikin aku nggak bisa marah sepenuhnya…

 

Perjalanan pulang berlangsung dalam diam. Begitu sampai di depan kos, Raisa buru-buru keluar. “Makasih… udah nolongin. Tapi mulai sekarang, Om… jangan muncul tiba-tiba lagi. Aku bener-bener nggak suka.”

Ardan mengangguk. “Baik.”

Tapi sebelum Raisa menutup pintu, ia mendengar suara itu lagi. “Raisa.”

Ia menoleh.

“Apa pun yang terjadi… Om nggak akan berhenti peduli sama kamu.”

 

Raisa mematung. Kata-kata itu menggema di kepalanya bahkan setelah mobil Ardan pergi.

 

Malam itu ia menatap langit-langit kamarnya sambil menekan bantal ke wajah. “Ya Allah… kenapa sih dia harus ngomong kayak gitu?! Kenapa dia selalu muncul waktu aku paling butuh bantuan?! Om nyebelin!”

Tapi di dalam hati kecilnya, Raisa tahu… ia tidak benar-benar marah.

Dan itu yang membuatnya paling kesal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!