"Apa, A? Ditinggal merit?"
Hannah, wanita paruh baya itu terkejut, tetapi lekas tertawa.
Aditya mengangguk lesu di depan mamanya. Itu bukan berita baik, tapi kenapa mamanya terlihat bahagia dan tertawa mendengar itu? Seperti mendapat undian berhadiah mobil dari bank saja.
"Mending sama ini, nih. Anaknya bi Ijah. Neng geulis paporit mamah!" kata Hannah sambil mengambil ponselnya, mengulir seperti mencari sesuatu di smartphone.
Aditya mengernyit, ia berusaha mengingat sosok anak bi Ijah yang sudah lama tidak lagi bertemu.
“Anak bi Ijah yang dulu kurus kering hitam kecil itu, Ma?”
Hannah mengangguk.
Ya, di saat baru saja dia curhat ke ibunya mengapa dirinya murung akhir-akhir ini yang dikarenakan gagal merit. Hannah malah menyuruh putranya untuk berkenalan dengan salah satu anak gadis mantan pembantunya.
Aditya membayangkan, sesosok anak pembantu yang sering dia lihat dulu sewaktu dirinya masih sekolah SMA dan anak itu masih bermain boneka.
Anak yatim yang selalu dibawa bi Ijah bekerja di rumahnya selama bertahun-tahun lamanya.
Aditya pikir, dia sedikit menyesal telah menceritakan kisah putus cintanya jika ujungnya akan ditanggapi dengan lelucon perjodohan seakan-akan patah hatinya sekadar putus cinta bocah remaja saja.
“Bentar, mama cari fotonya. Kamu cocoknya sama anak bi Ijah,” ujar Hannah tidak hentinya membujuk sang putra untuk mengenal perempuan anak mantan pembantunya.
“Mah, serius deh.”
Aditya memutar setir mobil memasukki halaman rumahnya, hari ini Hannah meminta diantar ke mall untuk berbelanja kebutuhan rumah, sekaligus ada maksud lain untuk mengobrol dengan putranya yang semingguan ini cemberut saja gunanya.
Namun, bagi Aditya. Hannah membuatnya tambah kesal. Alih-laih sang ibu bersimpati dengan kondisinya yang sedang patah hati karena diputus cinta oleh sang pujaan hati, Hannah malah menyuruhnya cepat-cepat move on dan mengenalkan sesosok perempuan dari ponselnya.
“Ini, lihat.” perintah Hannah saat Aditya tiba di dapur meletakkan tas-tas belanjaan sang ibu.
Sebuah foto hasil jepretan kamera jadul yang menunjukkan potret efek sephia, seorang gadis remaja yang masih berkuncir kuda. Tentu dia bukan tipenya.
Ia menolak, tetapi Hannah memaksanya untuk melihatnya sekali lagi.
“Lihat dulu sebentar, coba. Pikir-pikir dulu, A.”
Dengan terpaksa, Aditya mengambil ponsel itu dan memandangi foto gadis yang bukan seleranya.
Di dalam hati berbisik, “Sama saja seperti dulu, anak hitam dan kurus kering. Tapi, lumayan senyumnya manis.”
Hannah yang melihat sang putra menatap foto itu lama tanpa berkedip, lantas berkata: “Ya, kan. Benar apa mama bilang?”
“Apa?” Aditya bertanya-tanya, apanya yang mama benar?
“Cantik, kan? Gak kalah sama si Claud,” ujar Hannah.
Aditya memutar bola matanya, jengah. “Jauh atuh, Mah,” timpalnya.
Beda jauhhhh, bagai langit dan bumi.
Gadis desa yang penampilannya sangat .... ah, tidak terbayangkan jika diajak kondangan pun rasanya kurang pas dibandingkan dengan sosok Claudia yang cantik jelita.
Selama belasan tahun menjalin kasih dengan Claudia, Aditya tidak pernah melirik wanita lain karena belum ada seorang perempuan pun yang berhasil mengusir sosok sempurna itu di hatinya.
“Sekarang mah sudah dewasa atuh, A. Baru lulus kuliah, pintar dia,” ujar Hannah terdengar sangat mempromosikan seorang gadis di telinga Aditya.
Aditya tetap berpikir-pikir, jangan sampai dia mengiyakan dengan segera. Laki-laki itu tidak ingin mendapatkan yang tidak lebih baik daripada mantannya, dia tidak mau dikatakan turun selera hanya karena diputus cinta.
Semacam balas dendam. Lebih baik lama menjomblo daripada terburu-buru mencari sosok pengganti, tapi menyesal di kemudian hari.
Aditya menggeleng, memberikan kembali ponsel Hannah dengan lesu. Dia tidak tertarik sama sekali dengan sosok gadis di foto itu. Penampilan, yang pertama adalah penampilan. Bagi Aditya, gadis itu terllau polos dan ya, satu kata. Norak!
“Gak, ah, Ma. Mending Adit cari perempuan di sini saja,” ujarnya.
“Eh, nanti Mama kenalin dia ke kamu. Awas nanti kalau kamu tergila-gila sama dia, sujud kamu di kaki mama.” Tuding Hannah menyodorkan pisau kepada putranya.
Aditya diam.
Dalam hati, Aditya bertaruh. “Ya, deh. Challenge diterima, kalau sampai mama berhasil, gue bakal sujud di kakinya, cium kanan kiri.”
Akhir pekan.
Sakit, terdengar menyakitkan di telinga Hannah saat dia mendengar cerita anak tunggalnya yang ditinggal kawin gara-gara si perempuan menemukan sosok ria yang lebih kaya.
Ia mengerti putranya sedang menjalin hubungan dimana dia yang kekasihnya seperti istilah kata, “perintis tidak sepadan dengan pewaris”
Hanna menyudahi aktivitas mencuci piringnya. Ia menjadi tahu apa yang menjadi penyebab kemurungan putranya yang tak berkesudahan.
Padahal Hannah tahu dengan siapa seharunya putranya bersanding, tetapi ia pun tahu jika putranya sangat mencintai perempuan itu hingga beberapa kali nasihat yang pernah dia berikan tidak pernah sekalipun digubrisnya.
“Namanya Nadia, yang anaknya bi Ijah itu yang mama kenalin ke kamu kemarin. Ingat?”
Hari Minggu pagi, Hannah sudah kembali membahas anak peremuan mantan pembatunya. Aditya menyangga dagu sembari mengaduk kopi hitamnya dengan malas di atas meja makan.
Hannah mengajak putranya keluar untuk refresh pikiran yang pening setelah seminggu ini banyak kejadian yang membuatnya lelah badan dan pikiran.
Di dalam mobil, Hannah menunjukkan foto-foto seorang perempuan kepada Aditya yang sedang fokus menyetir, setiap mobil berhenti di bawah lampu merah, Hannah akan menunjukkan satu foto perempuan yang sama dengan pose yang berbeda.
Membosankan kata Aditya dalam hatinya.
“Anak itu terus, Ma? Gak ada yang lain? Adit gak minat sama dia, masih kecil begitu, beda usia jauh.”
Hannah tersenyum sambil mengangguk, ternyata putranya memperhatikan walaupunn sejak tadi kelihatannya tak acuh.
Aditya masih ingat betul, dulu saat dia SMA, anak itu masih kecil dan masih bermain boneka. Tidak masuk akal jika mamanya menjodohkan dia dengan gadis kecil itu. Ia juga ingat jika gadis kecil itu dulunya kecil, kurus, hitam, dan selalu berkuncir dua dengan menggunakan karet gelang bungkus nasi dan di tangannya selalu membawa boneka usang mirip boneka susan.
Dia mengendikkan bahunya saat mengingatnya.
“Kenapa, bergendik begitu?”
“Hah? Enggak. Dia masih kecil, Ma. Adit cari yang sudah matang, deh. Jangan yang masih labil, repot nanti.”
“Ya, kalau sekarang sudah dewasa, Dit.”
“Serah mama, deh. Ini sekarang kita mau kemana, ini?”
“Antar mama ke rumah bi Ijah.”
Semua pokok pembahasan seakan tertuju pada bi Ijah dan anaknya bi Ijah.
“Oke, fine. Adit antar. Mau apa ke rumah bi Ijah?”
“Mau ngelamar Nadia buat kamu.”
Cit...... Roda mobil berhenti seketika di tepian jalan itu. Aditya mengerem mendadak mobilnya.
“What?! Apa, Ma?”
“Ini, sudah mama siapkan,” ucap Hannah bikin Aditya melongo, pasalnya wanita yang telah melahirkannya itu sudah membawakan sekotak cincin untuk simbolis rencana ngelamar.
Astaghfirullahaladzim. Bibirnya terus berucap istighfar ketika Hannah tiba-tiba merencanakan lamaran tanpa persetujuannya.
Ini terlalu mendadak dan tidak ada acara taaruf atau semacamnya yang membuatnya yakin akan menjadikan anak bi Ijah sebagai istri.
“Beri Adit waktu buat mikir, Ma. Baru juga putus---”
“Hust! Sudah, jangan kelamaan mikir. Niat baik harus disegerakan. Mama bersyukur kamu tidak jadi sama Claud itu. Jadi, mama bisa jadikan Nadia menantu secepatnya,” ucap Hannah benar-benar tidak ada kompromi untuk Aditya berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau Adit gak suka? Maksudnya, masa iya langsung ngelamar begitu? Kenal saja belum?”
“Percaya sama mama. Kamu pasti suka, mama jamin, seratus persen!” ucap Hannah mantap sambil mengepalkan tangan.
Plak.
Hannah memukul lengan putranya, gemas. Dia tidak sabar ingin cepat sampai kek tempat tujuan.
“Yuk, cepat jalan!” perintah Hannah sambil senyam-senyum tak mau tahu anaknya mau apa tidak.
Aditya menghela napas pasrah. Berharap dia tidak mendapati sosok Nadia yang jauh di luar ekspetasinya atau lebih buruk daripada sosok gadis yang Hannah tunjukkan di foto itu.
Minimal sama seperti yang di foto tadi, tidak cantik tapi punya senyuman manis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
darsih
lht dulu dit Nadia nya baru coment 🫢
2025-07-21
2