Sudah seminggu berlalu sejak Sara menandatangani kontrak itu. Hari-harinya kembali diisi kesibukan di butik, merancang, menerima klien, mengatur detail produksi. Seolah hidup berjalan seperti biasa.
Tapi ia tahu, tidak ada yang lagi benar-benar "biasa".
Beberapa malam ia tertidur dengan pikiran penuh. Bukan karena penyesalan, tapi karena ia tak tahu harus merasa apa. Ada hal-hal yang tak bisa ia bagikan, bahkan pada keluarga.
Ia masih rutin berbagi pesan dengan ibunya video pendek berisi tawa ringan, foto makanan buatan sendiri, atau hanya catatan kecil tentang bunga yang tumbuh di balkon. Dengan ayahnya pun kadang saling bertukar kabar soal kabar investor dan klien lama yang mulai muncul kembali sejak kabar izin lahan mulai menyebar.
Dan dengan Nicko...
Hanya pesan singkat. Kaku. Formal.
Seputar detail teknis yang mereka sepakati. Tentang proyek. Tentang perusahaan ayahnya. Tentang jadwal yang harus mereka simulasikan nanti untuk terlihat seperti pasangan sesungguhnya.
Tidak ada sapaan hangat. Tidak juga basa-basi.
Tapi entah bagaimana, pesan itu selalu datang tepat waktu.
Dan hari itu, saat ia pulang...
Pukul tujuh lewat dua puluh malam.
Sara membuka pintu apartemennya dengan langkah lelah, pikiran penuh dengan segala hal tentang kontrak dan tentang pria yang kini akan menjadi suaminya.
Namun begitu pintu terbuka ia membeku.
Aroma makanan rumah menyambutnya. Lampu-lampu menyala. Suara alat masak terdengar samar dari dapur.
Ia hampir mengira sedang bermimpi.
"Sara?"
Sara memekik pelan. "Mama? Papa?"
Avelina Elowen muncul dari balik dapur dengan celemek terlipat di pinggang dan tawa renyah yang langsung mengisi ruangan. Wajahnya cerah selalu hangat, terbuka, dan penuh cinta. Aroma masakan rumahan menyelimuti tubuh mungilnya, membuat apartemen Sara terasa seperti rumah dalam sekejap.
Di belakangnya, Henri Delacroix melangkah masuk sambil menyibak rambut yang sedikit berantakan karena perjalanan. Di tangannya tergantung dua kantong besar berisi makanan. Senyumnya lebar, penuh ketenangan khas seorang ayah yang tahu anak perempuannya sedang memikul terlalu banyak sendiri.
Sara berdiri terpaku beberapa detik sebelum akhirnya melangkah cepat ke arah mereka, matanya langsung memanas. Ada kegembiraan dan ketidakpercayaan yang menyatu di dadanya campuran emosi yang membuat suaranya nyaris bergetar saat bicara.
"Kenapa tiba-tiba ke sini? Ada apa?"
Avelina menjawab dengan tawa lepas, membuka lengannya lebar untuk memeluk putrinya.
"Kejutan, Sayang. Kami ingin melihatmu langsung. Tidak perlu alasan."
Henri menyusul, mencium kening Sara lembut seperti kebiasaannya setiap kali mereka pulang ke rumah setelah lama tak bertemu. "Dan kami bawa makan malam. Kami tahu kamu pasti lupa makan tepat waktu."
Sentuhan mereka, tawa mereka, aroma masakan mereka, semuanya membuat dinding yang Sara bangun selama seminggu itu perlahan runtuh. Ruang yang tadinya sunyi kini terasa hidup. Sehangat sore di rumah masa kecilnya.
Tanpa disadari, napas Sara berembus pelan.
Ia tersenyum, kecil namun tulus dan untuk pertama kalinya hari itu, dadanya terasa lebih ringan.
Sara memeluk mereka bergantian. Hatinya mencair seketika.
Henri berkata santai sambil menuju dapur, "Papa ada pertemuan penting pagi tadi. Jadi sekalian mengunjungimu. Mama tak ingin kau merasa sendirian di kota besar."
Sara tertawa kecil sambil membantu menyusun piring.
"Adrian tidak ikut?" tanyanya, menyadari satu sosok yang biasanya tak pernah absen.
"Dia sedang di luar kota, urusan pekerjaan barunya," jawab Aveline sambil menuang sup hangat ke mangkuk. "Tapi dia titip pesan: jangan kerja terlalu keras."
Mereka duduk bersama. Henri menyiapkan teh hangat, sementara Sara menata hidangan yang dibawa. Makan malam berlangsung hangat dan sederhana. Lelucon ringan. Tawa kecil. Suara piring dan gelas beradu.
Hingga akhirnya, saat teh mulai menghangatkan tenggorokan, Henri menatap Sara dengan pandangan sedikit lebih serius.
Mereka duduk bersama. Henri menyiapkan teh hangat, sementara Sara menata hidangan yang dibawa. Makan malam berlangsung hangat dan sederhana. Lelucon ringan. Tawa kecil. Suara piring dan gelas beradu.
Hingga akhirnya, saat teh mulai menghangatkan tenggorokan, Aveline menatap Sara dengan pandangan sedikit lebih dalam.
Aveline menatap Sara lembut, jemarinya masih melingkari cangkir teh hangat.
"Tadi pagi Mama dan Papa bertemu seseorang," katanya perlahan.
Sara menoleh, jantungnya sedikit menegang.
"Nicko Armano Velmier," lanjut Aveline, menyebut nama itu seolah membawa makna.
Sara diam. Cangkir di tangannya nyaris goyah, tapi ia berusaha tetap tenang.
"Kami membicarakan soal izin lahan pabrik," ujar Aveline.
"Dan... dia sangat membantu. Katanya, prosesnya bisa dipercepat dalam waktu seminggu."
Henri menimpali, "Awalnya kami tidak tahu dia siapa. Tapi ternyata kau juga kenal dekat dengannya?."
Sara mencoba tersenyum. "Kami memang pernah dekat. Tapi kami jarang bertemu. Dia di New York, aku di sini. Kami hanya... sesekali saling memberi kabar."
Aveline mengangguk, tidak menekan.
"Dia bilang begitu juga. Katanya kalian memang sudah lama tidak bertemu, tapi tetap menjaga komunikasi sesekali. Mama pikir, itu... hubungan yang sehat. Tidak tergesa."
Henri menyisip teh pelan. "Dan soal izin lahan, dia akan membantu minggu ini dengan mempercepat proses evaluasinya."
Aveline menambahkan dengan senyum tenang, "Dia bilang dia hanya ingin memastikan proses berjalan adil. Dan... dia menyebutmu sebagai seseorang yang ia hargai. Bukan karena urusan bisnis, tapi karena kalian punya sejarah pribadi, meski tidak selalu mudah dijelaskan."
Sara menarik napas pelan. "Syukurlah itu kabar baik, aku juga baru tau jika dia memang sosok yang cukup berpengaruh disini, kami memang dekat meskipun bukan pasangan"
Henri dan Aveline saling pandang sejenak, lalu Henri berkata, "Itu sudah cukup. Kami tak butuh semua detail. Selama kau tahu dia bukan orang yang akan menyakitimu."
Aveline menggenggam tangan Sara. "Kami percaya padamu, Sayang. Tapi kau tak perlu memikul semuanya sendiri. Saat kamu siap bercerita lebih jauh, dan mungkin saja pria itu bisa menjadi seseorang yang bisa tempatmu berbagi."
Sara menatap ibunya lekat-lekat. Pandangan itu membawa banyak hal-rasa bersalah, rasa terima kasih, dan rasa lega yang selama ini hanya bisa ia simpan sendiri.
Lalu, perlahan, ia bergeser mendekat dan menyandarkan kepalanya ke bahu Aveline, seperti saat ia masih kecil dulu saat tak sanggup berkata-kata.
"Terima kasih... karena selalu menjadi rumah buatku," bisiknya pelan, penuh ketulusan.
Aveline merengkuhnya dalam pelukan hangat. Tak ada tuntutan. Tak ada desakan. Hanya kehadiran utuh sebagai seorang ibu yang memahami tanpa harus mendengar segalanya.
Sara memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas.
Di balik kehangatan itu, pikirannya kembali teringat satu hal: Nicko.
Pria itu... sudah melangkah lebih jauh. Diam-diam, cepat, dan terukur. Ia telah menemui orang tuanya, mengambil alih proses perizinan, dan menyusun segala hal sesuai dengan isi kontrak yang mereka sepakati. Bahkan saat Sara belum berani mengatakan apa pun, Nicko sudah menjaga garis-garis yang telah mereka tetapkan bersama.
Dan itulah yang membuat hati Sara terasa rumit.
Nicko menepati janjinya.
Ia tidak menyentuh ruang pribadi Sara, tidak mencampuri butik, tidak mengumbar hubungan mereka. Ia hanya menjalankan bagiannya dengan presisi, seperti seseorang yang terbiasa mengendalikan sesuatu dari balik layar.
Sara tahu, ini baru permulaan. Tapi jika semua harus dimulai dari rasa saling menjaga batas... mungkin itu bukan langkah terburuk.
Di pelukan ibunya, ia membiarkan satu helaan napas panjang keluar dari dadanya. Hangat dan tenang untuk sesaat, beban itu terasa lebih ringan.
****
Setelah menginap selama dua malam di apartemen Sara, Aveline dan Henri akhirnya memutuskan untuk pulang. Bisnis restoran dan perusahaan keluarga di Swiss tidak bisa ditinggal terlalu lama. Ada jadwal pengelolaan, pertemuan dengan investor, dan agenda yang sudah menumpuk menanti keduanya kembali.
Meski mereka tak mengatakannya dengan gamblang, Sara tahu, mereka sebenarnya ingin tinggal lebih lama. Tapi seperti dirinya, orangtuanya pun tahu kapan saatnya menahan rindu demi tanggung jawab yang lebih besar.
Langit pagi itu diselimuti awan tipis. Angin membawa aroma logam dan kopi dari dalam terminal keberangkatan. Sara berdiri di sisi troli koper, menggenggam pegangan logam erat-erat, seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa menahan dadanya agar tetap kokoh.
Ia tak sendiri.
Nicko berdiri tak jauh darinya. Dalam setelan gelap dan mantel panjang, pria itu tampak sedikit berbeda hari ini. Ia tidak datang sebagai CEO Velmier Group atau pebisnis dengan agenda padat. Ia datang... karena Sara. Bukan karena diminta secara langsung, tapi karena ia tahu ini penting.
Henri sibuk mengecek ulang paspor dan boarding pass, sementara Aveline merapikan syal di leher Sara seperti biasa, ritual kecil yang membuat segalanya terasa normal, meskipun hati mereka berat.
"Swiss bisa dingin tapi Paris juga bisa lebih dingin Sara ,tapi kau selalu lupa bawa syal," gumam Aveline sambil menepuk pelan bahu putrinya.
Sara tertawa kecil, lalu menarik ibunya dalam pelukan hangat. "Aku akan selalu membawanya. Aku janji."
Henri mendekat, mencium kening Sara dengan penuh kasih. "Dan jangan bekerja terlalu keras. Dunia tak akan runtuh hanya karena kamu istirahat sebentar."
Sara mengangguk pelan. Matanya mulai terasa hangat, tapi senyumnya tetap bertahan.
Aveline membelai pipi Sara dengan ujung jemarinya, penuh sayang. Sentuhan hangat itu membuat Sara menutup mata sejenak, seperti anak kecil yang baru saja kembali dari perjalanan jauh.
"Sesekali... pulanglah," ucap Aveline lembut. "Swiss masih rumahmu. Dan kami tetap di sana... menunggu."
Sara tersenyum kecil, mencoba menahan gejolak di dadanya. Ia menyentuh tangan ibunya yang masih menempel di wajahnya.
"Aku tahu, Ma..." bisiknya lirih. "Terima kasih karena tidak pernah jauh... meskipun aku yang sering menjauh."
Aveline menggeleng pelan, masih menatapnya penuh cinta. "Kau tidak pernah jauh. Hanya sedang mencari jalannya sendiri."
Henri berdiri di samping mereka, menyentuh bahu Sara dengan tenang. "Dan kalau kau ingin pulang-kapan pun tak perlu alasan. Cukup datang."
Sara mengangguk, matanya mulai berkaca.
"Iya... aku tahu," gumamnya, suaranya bergetar.
Henri menoleh pada Nicko dan mengulurkan tangan. Tatapannya lebih tenang dari sebelumnya, tapi ada kedalaman yang tak bisa diabaikan.
"Terima kasih sudah mengantar kami hari ini. Dan juga... untuk tetap berada di sisinya."
Nicko menjabat tangannya, sopan. "Itu yang memang seharusnya saya lakukan."
Henri tak langsung melepaskan genggamannya. Ia menatap pria itu dengan tenang, lalu berkata pelan, "Sara memang anak yang cenderung diam. Tapi kalau kau cukup sabar untuk tinggal... kau akan tahu bahwa hatinya sebenarnya hangat. Dan luas."
Nicko menahan respons sejenak, sebelum mengangguk sekali, mantap.
Aveline menyusul, berdiri di samping suaminya. Tatapannya pada Nicko sedikit lebih dalam, lebih perempuan. Ia tak banyak bicara, hanya berkata lirih, "Jagalah dia... bukan karena kami minta, tapi karena kau memang ingin."
Nicko tidak membalas dengan kata. Tapi sorot matanya berubah-ada pengakuan yang tenang, seperti janji yang hanya bisa dipahami dalam diam.
Panggilan boarding terdengar dari pengeras suara. Henri merangkul istrinya dan mulai berjalan ke arah pintu keberangkatan. Namun sebelum menghilang dari pandangan, ia menoleh dan mengangkat tangan kecil ke arah Sara.
Sara melambaikan tangan perlahan. Senyumnya tampak, tapi matanya basah.
Mereka pergi, pelan-pelan, seperti meninggalkan kehangatan yang belum benar-benar siap ditinggal.
Nicko mendekat, tapi tidak terlalu dekat. Cukup untuk berada di samping. Cukup untuk membuat dirinya terlihat... hadir.
Sara masih menatap arah kepergian orangtuanya, matanya tidak bergerak.
"Kau jadi seperti orang yang berbeda saat bersama mereka," ucap Nicko pelan. Pandangannya tak menuntut, tapi tajam. Dalam. Seolah sedang memetakan ulang seluruh sisi Sara yang baru saja ia lihat.
Sara tersenyum samar, masih menatap ke depan. "Mungkin karena... di hadapan mereka, aku tak harus berpura-pura kuat."
Ia menoleh perlahan, menatap Nicko sesaat. "Aku bisa jadi diriku yang sebenarnya, yang tidak selalu tahu harus bagaimana."
Nicko tak menjawab. Tapi pikirannya mengembara jauh.
Andai dulu Sara menerimanya... bukan sebagai teman, bukan sebagai kompromi atas keadaan, melainkan sebagai seorang pria yang ingin menjaganya, mungkin, hanya mungkin... ia akan merasakan kehangatan yang sama seperti yang dilihatnya tadi. Kehangatan yang tak pernah tumbuh dari kekuasaan, tapi dari cinta yang sederhana.
Tapi sekarang, semua itu hanya bisa ia genggam lewat cara yang ia tahu: melalui kontrol, melalui kontrak, melalui jarak yang seolah dekat... tapi belum sepenuhnya miliknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Carrick Cleverly Lim
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
2025-07-17
2