The Gallery

Galeri Solea, butik eksklusif yang berdiri elegan di jantung kota, tak pernah sepi dari bisik kekaguman para klien yang datang.

Meski tak besar, ruangannya artistik. Setiap sudut terasa seperti ruang pamer seni pribadi. Gaun-gaun haute couture dipajang dalam lemari kaca bersinar lembut, seolah karya lukis yang terlalu hidup untuk hanya digantung di dinding. Musik klasik mengalun rendah, membawa kesan seolah waktu melambat.

Ketika pintu kaca utama terbuka, suara lonceng kecil berdenting ringan.

Nicko Armano Velmier masuk lebih dulu. Posturnya tegap dan cara berjalannya tenang, tapi cukup membuat orang-orang langsung memperhatikannya. Jas hitam yang ia kenakan terlihat rapi dan mahal, menegaskan wibawa yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Di belakangnya, menyusul seorang pria tinggi berwajah dingin. Langkahnya terukur, tatapannya tajam tanpa banyak bicara.

Itu Matheus Braga , pengawal pribadi Nicko. Sekilas saja orang bisa tahu, pria itu bukan sekadar pengawal biasa, caranya berdiri dan mengamati sekitar cukup memberi peringatan agar tak sembarangan mendekat.

Seorang staf perempuan segera mendekat. Nadine, dengan potongan rambut bob dan riasan tipis, terlihat sedikit gugup saat melihat keduanya. Tangannya sempat ragu ketika menyodorkan buku tamu.

“Bonjour, Monsieur. Ada yang bisa kami bantu?”

Nicko hanya menoleh pelan. “Sara Elowen ada?”

Nadine menelan gugup, lalu menekan tombol interkom di balik konter. Ia berusaha tetap tenang, tapi jelas terlihat canggung. Meski terbiasa menghadapi tamu penting, aura dingin dan tatapan tajam pria itu cukup membuatnya sulit berpikir jernih.

Tak sampai satu menit, langkah ringan terdengar dari arah dalam. Sara muncul dari balik dinding partisi kaca. Ia mengenakan dress krem pastel yang sederhana namun anggun. Rambutnya disanggul rendah tanpa aksesori berlebihan.

Tidak ada riasan mencolok atau kesan dibuat-buat. Ia tampil apa adanya, tenang, lembut, dan justru dari sanalah pesonanya muncul.

Nicko menatap tanpa berkata apa-apa.

Matanya mengikuti setiap langkah Sara, tak berkedip.

Tatapannya tidak terburu-buru. Seolah sedang mengamati sesuatu yang ia tahu tak bisa disentuh sembarangan.

"Kau tumbuh jadi sesuatu yang terlalu indah untuk disentuh… tapi terlalu kuat untuk dihindari."

Suara itu rendah, hampir seperti gumaman. Tapi ada nada tak terucap di baliknya,kekaguman atau hal lain yang tersembunyi.

Nicko bahkan tak sadar telah mengambil satu langkah lebih dekat. Matanya tak lepas dari wajah Sara, seperti sedang menilai ulang sesuatu yang dulu pernah ia abaikan.

Sara menegakkan tubuhnya pelan, mencoba menjaga jarak dengan sorot tenang yang rapuh di baliknya.

“Selamat datang, Tuan Velmier,” ucapnya.

Suaranya datar, tapi sedikit lebih kaku dari biasanya.

Nicko mengangkat alis tipis. “Jangan terlalu formal,” katanya sambil menatap lurus. “Itu tak cocok untuk dua orang yang seharusnya terlihat dekat.”

Sara sempat diam. Matanya bergerak cepat, menahan napas sejenak sebelum menjawab. “Maaf. Aku belum terbiasa.”

Nada itu bukan sekadar jujur, tapi juga menjadi batas tak terlihat yang ingin ia jaga.

Dan Nicko, meski tak tersenyum, seolah menyerap setiap reaksi kecil darinya seperti membaca sandi.

Claire, desainer muda yang membantu merancang koleksi di butik melirik ke arah pintu masuk, lalu membisik pada Nadine, asisten pribadi Sara yang berdiri di sampingnya.

"Mereka kelihatan dekat, ya."

Nadine mengangguk pelan, matanya tak lepas dari pria tinggi di samping Sara.

"Tapi yang pria itu... siapa? Teman lama? Atau ada hubungan khusus dengan Sara?"

Sara mendengar bisikan mereka, tak jelas, tapi cukup untuk membuatnya ingin menarik napas lebih panjang. Ia tetap menjaga ekspresi tenang, seolah tak ada yang mengganggu pikirannya.

Nicko menyapu ruangan dengan pandangan singkat.

“Tempat ini... bukan sekadar butik. Ini galeri seni.”

Sara menoleh sebentar, mengangguk kecil. “Terima kasih.”

Nicko kembali menatapnya, kini dengan nada lebih serius.

“Bisakah kita bicara?”

Sara menjawab singkat, “Lewat sini.”

Ia memandu Nicko melewati deretan koleksi dan memasuki ruang kerja kecil di bagian belakang butik, sementara Claire dan Nadine hanya saling pandang, keduanya sama-sama menyadari bahwa apa pun yang sedang terjadi, bukan sekadar urusan bisnis.

***

Ruang kerja Sara berada di sudut butik, terpisah oleh dinding kaca buram yang memberi sedikit privasi tanpa terasa tertutup. Sebuah meja kayu terang berdiri di tengah ruangan, dihiasi beberapa buku desain, laptop, dan vas kecil berisi bunga segar.

Cahaya sore masuk dari jendela besar di sisi kanan, menyinari ruangan dengan hangat. Di dinding, ada papan moodboard berisi potongan kain, sketsa desain, dan foto-foto yang tertata rapi, semuanya menunjukkan dunia kecil yang ia bangun dengan hati-hati.

Tidak mewah, tapi nyaman. Teratur.

Sama seperti dirinya.

Nicko duduk di seberangnya.

“Terima kasih sudah datang,” ucap Sara. “Maaf kalau ruangannya... sederhana.”

“Tempat ini mencerminkan dirimu. Tenang. Tapi kuat.”

Sara tersenyum kaku.

“Aku sudah membaca ulang kontraknya yang anda kirim berupa file kemarin malam."

"Dan saya setuju. Tapi ada yang masih mengganjal.”

Nicko mengangkat alis.

“Bukan soal syaratnya. Tapi peran yang harus aku jalani.”

“Aku bukan tipe yang mudah menunjukkan kedekatan. Dan kita bukan pasangan sebenarnya. Kalau aku terlihat canggung... itu bukan karena aku menolak. Hanya... butuh waktu.”

“Dan soal keluarga... aku ingin mereka tidak tahu. Kalau aku terlalu menjaga jarak, itu hanya caraku melindungi mereka.”

Nicko menatap dalam. “Kau sudah melakukan lebih dari cukup.”

Sara tersenyum gugup.

Nicko mengalihkan pandangan sejenak, lalu membuka map kulit hitam yang sejak tadi ia letakkan di meja.

“Sebelum ke ruangan ini, Matheus sudah menyerahkannya padaku,” katanya sambil mengeluarkan beberapa lembar dokumen tebal. “Salinan fisik, sesuai yang ada di file.”

Ia mendorong map itu perlahan ke arah Sara.

“Semua sudah ditandatangani dariku. Kau tinggal menambahkan tanda tanganmu... saat kau benar-benar siap.”

Sara menatap dokumen itu sejenak. Rapi. Resmi. Dan lebih nyata dari yang ia bayangkan. Jemarinya menyentuh tepi kertas dengan hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang bisa mengubah arah hidupnya.

Nicko tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap tenang dan menunggu. Tak ada tekanan langsung, tapi keberadaannya sendiri cukup untuk membuat udara terasa berat.

Lalu ia bicara lagi, suara rendah tapi tegas, nyaris seperti peringatan yang dibungkus sopan.

“Setelah tanda tanganmu tercantum, semuanya akan bergerak cepat. Termasuk perizinan perusahaan ayahmu.”

Ia menatap Sara lebih lama, lalu menambahkan pelan,

“Dan sejak saat itu... kita akan mulai memainkan peran kita.”

Sara menatap dokumen itu, lama.

Di hadapannya tergeletak lembaran kertas yang tampak biasa… tapi maknanya jauh dari sederhana. Ini bukan sekadar tanda tangan. Ini adalah titik balik, pintu menuju sesuatu yang tak pernah ia rencanakan, tapi harus dijalani.

Pikirannya sempat melayang ke wajah kedua orangtuanya. Ke senyum ibunya yang selalu hangat, dan suara Adrian yang kadang terlalu tenang saat menyembunyikan kekhawatiran. Mereka tidak tahu apa-apa. Dan mungkin untuk saat ini, itu lebih baik.

Ia mengambil napas panjang. Jemarinya bergerak perlahan, membuka tutup pena.

Tanpa kata. Hanya kesadaran penuh bahwa setelah ini... tidak akan ada yang sama lagi.

Ia menandatangani.

Suara gesekan pena di atas kertas terdengar pelan namun terasa besar di telinga sendiri. Lalu ia meletakkan pena itu perlahan di atas meja, dan mengangkat pandangannya.

“Kontrak pernikahan… terdengar seperti film, ya?” katanya, berusaha mengalihkan sedikit ketegangan.

Nicko menatap sekilas ke arah dokumen yang baru saja ditandatangani.

“Tapi ini kenyataan,” jawabnya tenang.

Sara mengangguk kecil. Tangannya merapikan lembaran-lembaran itu, lalu menyelipkannya ke dalam map kulit dengan gerakan hati-hati. Ia merasakan detak jantungnya sedikit melambat, meski pikirannya belum benar-benar tenang.

Map itu kini resmi menjadi bagian dari hidupnya. Sederhana bentuknya, tapi berat di makna.

“Aku akan simpan dokumennya di sini dulu,” ucapnya singkat, meletakkan map itu di laci kecil di bawah meja.

Nicko mengamati gerakannya tanpa komentar. Wajahnya tetap tenang, tapi dari cara ia berdiri perlahan, Sara tahu pertemuan ini sudah selesai.

“Aku akan pergi dulu,” kata Nicko, merapikan jasnya. “Kau bisa hubungi aku kalau ada yang perlu dibicarakan.”

Sara berdiri, mengangguk sopan.

“Aku akan kabari jadwal berikutnya.”

Nicko melangkah ke pintu, lalu berhenti sejenak di ambang.

“Dan Sara…” Ia menoleh sedikit, hanya cukup untuk membuat tatapan mereka kembali bertemu.

“Jangan terlalu ragu melangkah. Dunia ini lebih mudah menghadapi orang yang terlihat yakin, meski dalamnya goyah.”

Sara tidak langsung menjawab. Tapi kali ini, senyumnya muncul sedikit lebih jujur.

“Terima kasih sudah datang, Tuan Velmier.”

Nicko menghentikan langkahnya di ambang pintu. Ia menoleh kembali, sorot matanya sedikit menyempi, bukan karena marah, tapi karena menimbang sesuatu.

“Sara…” ucapnya datar, tapi tak terdengar dingin. “Cukup panggil aku Nicko saja. Agar peran kita nanti tidak terasa… dibuat-buat.”

Ia mengatakannya tanpa senyum. Tapi ucapannya cukup membuat udara di antara mereka terasa lebih pribadi, lebih seperti dua orang yang sedang menyusun sesuatu bersama, bukan dua orang asing yang dipaksa saling terkait.

Sara sempat diam beberapa detik, lalu mengangguk kecil.

“Baik... Nicko,” katanya pelan. Suaranya nyaris seperti bisikan, namun terdengar jelas.

Nicko menatapnya sekali lagi. Tatapannya tak keras, tapi tetap dalam seperti menyimpan sesuatu yang tak ia ucapkan.

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia membalikkan badan dan melangkah keluar dari ruangan itu. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, menyisakan keheningan yang kembali menyelimuti ruang kerja Sara.

Sara berdiri diam di tempat, memandangi pintu yang baru saja menelan bayangannya. Di dada, perasaan asing itu mulai tumbuh pelan. Bukan cinta, bukan juga lega… tapi semacam ikatan baru yang tak bisa dijelaskan dengan mudah. Sesuatu yang rumit. Tapi nyata.

Dan ia tahu, ini baru permulaan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!