The Marriage Clause

Ruang rapat itu senyap, hanya diisi oleh suara detak jarum jam dan denting samar dari luar jendela kaca.

Sara duduk dengan postur tegak, mencoba terlihat tenang meski kakinya sedikit gemetar di balik meja. Di seberangnya, pria dengan setelan gelap itu masih menatapnya, seolah waktu tak berlaku dalam pandangan matanya.

Nicko menyipitkan mata. Matanya jatuh pada berkas di tangannya sebelum kembali pada Sara.

"Kau putri Tuan Henrix Delacroix?"

Sara mengangguk pelan.

Nicko membalik selembar dokumen yang tampak baru.

"Aku melihat nama yang sama di dokumen keluarga dari Swiss yang masuk pagi ini. Namamu... dan juga nama ibumu."

Wajah Sara sedikit berubah, namun ia tetap menjawab dengan nada datar yang sopan.

"Benar, Tuan Velmier. Tapi hari ini saya datang bukan atas nama keluarga siapapun." Ia menarik napas sebelum melanjutkan, "Saya datang sebagai pemilik butik Soléa."

Nicko mengangguk kecil, seolah menyimpan informasi itu dalam-dalam.

"Luar biasa... begitu peduli pada keluargamu, sampai datang sendiri. Tanpa pengacara. Tanpa pengawal."

Nada suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu yang samar mengintai di baliknya, seperti penilaian.

Nicko mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

"Apa kau tahu, risiko dari duduk di meja yang salah?."

Sara menatap balik, matanya jernih namun tegas.

"Saya tidak sedang duduk di meja yang salah... bukan? Kalau Anda memang orang yang bisa diajak bicara."

Sejenak, Nicko terdiam. Pandangannya menusuk seperti sedang menelanjangi keyakinan perempuan di depannya.

Namun Sara tak memberi waktu terlalu lama.

“Saya tahu kasus izin lahan ayah saya sedang ditangguhkan. Saya juga tahu Velmier Group kini memiliki wewenang penuh atas wilayah itu,” ucapnya, perlahan tapi mantap.

“Saya hanya ingin tahu... kenapa?”

Nicko menatapnya lama. Lalu bersandar, gerakannya tenang tapi matanya belum lepas dari wajah Sara.

“Wilayah tempat perusahaan ayahmu berdiri kini berada di bawah otoritas anak perusahaan kami, Velmier Regional. Dan aku baru ditugaskan di sini sekitar satu bulan.”

Nicko menyandarkan punggung ke kursi, nada suaranya datar tapi tegas.

“Jika aku langsung menyetujui izin itu tanpa proses evaluasi, langkahku akan dipertanyakan. Ada standar tinjauan ulang yang harus dijalani semua permohonan, minimal tiga sampai enam bulan".

Nicko menyentuh berkas di hadapannya. Jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja, ritme kecil yang hampir seperti ancaman halus.

"Bisa lebih lama lagi kalau menyangkut lahan produktif, apalagi jika ada konflik kepentingan atau... transisi manajemen.”tambahnya.

Lalu ia mengangkat wajahnya lagi, menatap Sara.

Sara tertegun. Tiga sampai enam bulan? Apa mungkin perusahaan Papa bisa bertahan selama itu?

"Apakah… ada cara lain untuk mempercepat proses itu, Tuan Velmier?" tanyanya, berusaha tetap tenang meski suaranya sedikit goyah.

Nicko diam sejenak, lalu berkata perlahan. “Ada.”

Sara menatapnya, penuh harap. Tapi yang ia dapati hanyalah sorot mata tajam yang menyiratkan bahwa harga dari "cara lain" itu tak akan murah.

“Aku harus punya alasan pribadi yang jelas, misalnya, hubungan keluarga yang membuat keputusanku tak lagi terlihat... bias.”

Sara mengerutkan dahi. “Maksud Anda?”

Nicko bersandar sedikit ke kursinya. Ia menyilangkan tangan, nadanya masih datar tapi kini lebih menekan.

“Jika secara hukum, aku memiliki hubungan dengan keluargamu, melalui ikatan pernikahan, misalnya. Maka tidak ada yang bisa mempertanyakan kenapa aku memprioritaskan izin untuk perusahaan ayah mertuaku.”

Sara menatapnya kosong.

Ia terdiam cukup lama, mencoba memahami arah pembicaraan itu, sebelum akhirnya bertanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

“Pernikahan?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Nicko menatap lurus ke arahnya.

“Ya. Harus ada hubungan yang kuat di mana aku bisa membuat keputusan langsung tanpa terlihat mencurigakan. Dan itu… sah dan wajar. Izin akan keluar dalam waktu satu minggu.”

Seketika, waktu seperti berhenti bagi Sara.

Kata-kata itu menggantung di udara, lebih tajam dari apa pun yang pernah ia dengar hari itu.

Pernikahan?

Solusi itu terdengar seperti lelucon yang terlalu serius untuk ditertawakan.

Kepalanya terasa penuh. Tapi sekaligus kosong.

Nicko menatapnya tanpa berkedip. Sorot matanya bukan sekadar tajam, ada sesuatu di sana yang terasa… terpilih. Seolah ia tengah menilai, mengukur, dan menyimpulkan sesuatu dalam diam.

“Dalam semua korespondensi dan dokumen,” katanya perlahan, “aku tahu siapa saja yang terlibat. Ayahmu sudah mencoba beberapa jalur resmi. Kakakmu juga pernah mengajukan permohonan banding ke regional. Tapi…”

Ia bersandar ke depan, kedua tangannya saling bertaut di atas meja, nadanya mulai turun satu oktaf, lebih pribadi, lebih menekan.

“…kau satu-satunya yang tidak hanya mengandalkan prosedur. Kau memilih datang langsung.”

Sara menahan napas. Kata-kata itu terdengar seperti pujian, atau mungkin sekadar penilaian dari seseorang yang terbiasa memilih berdasarkan insting, bukan empati.

Nicko melanjutkan, suaranya tenang, nyaris seperti sedang bercerita kepada dirinya sendiri.

“Biasanya, aku tidak terlibat langsung dalam urusan administratif seperti ini. Semua difilter lewat direksi regional, dengan tangan-tangan legal dan berlapis-lapis laporan.”

Ia memutar map tipis di hadapannya, tapi pandangannya tetap terarah pada perempuan di depannya.

“Namun saat membaca emailmu, bukan sebagai putri seorang pengusaha, tapi sebagai pemilik butik kecil yang bersuara sendiri, ada sesuatu yang membuatku berhenti.”

Hening. Sekejap saja. Tapi cukup lama untuk membuat Sara menyadari, udara di ruangan itu kini lebih berat.

“Aku sendiri yang meminta jadwalmu diselipkan. Diam-diam,” lanjutnya. “Karena aku ingin tahu... siapa sebenarnya perempuan yang berani menulis surat seperti itu.”

Alis Sara terangkat sedikit.

“Jadi Anda… sengaja meminta agar saya yang datang?” tanyanya pelan.

Nicko mengangguk. Gerakannya lambat, seperti menandai bahwa apa yang ia katakan adalah sebuah keputusan, bukan kebetulan.

“Kalau aku ingin bicara langsung, maka harus ada alasan. Dan kau memberiku alasan itu.”

Ia mengetuk map di depannya dengan ujung jarinya, ritme kecil tapi terasa mendesak.

“Lain cerita kalau ayahmu yang datang. Semuanya akan berjalan terlalu formal. Terlalu bisa ditebak. Dan pada akhirnya, jawabannya tetap sama. Permohonan itu akan dimasukkan ke tahap evaluasi… dan harus menunggu.”

Nicko mengangkat pandangannya lagi, kali ini lebih dalam. Ada percik aneh di balik ketenangannya. Bukan kelembutan, melainkan sebuah pilihan.

“Tapi kau berbeda,” ucapnya pelan, “dan cukup berani untuk keluar dari jalur biasa.”

Kata-kata itu menggantung di udara seperti asap. Tak jelas apakah itu sebuah penghargaan... atau awal dari sesuatu yang lebih rumit.

Lalu, suaranya merendah. Tak ada nada manipulatif, tapi justru terlalu jujur, hingga terasa berbahaya.

“Dan jika aku harus menikahi seseorang hanya demi kontrak… maka aku memilih seseorang yang tahu apa itu tanggung jawab. Seseorang yang tahu artinya berdiri sendiri.”

Ia menyandarkan punggung ke kursi. Tatapannya belum lepas dari wajah Sara, seolah sedang menunggu: akankah perempuan itu tetap duduk, atau bangkit dan pergi?

Sara menatapnya lurus, suaranya tetap tenang meski ada sesuatu yang mengendap di balik kata-katanya.

“Saya mengerti maksud Anda. Namun, izinkan saya menegaskan bahwa saya pun tahu bagaimana cara berdiri sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun.”

Nicko menatapnya dalam diam sejenak, sebelum menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Sorot matanya tak goyah.

“Itu sebabnya saya memilih Anda, Sara. Karena Anda tahu batas. Dan Anda tahu apa itu tanggung jawab.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, nada suaranya tenang namun tegas.

“Kita tidak perlu berpura-pura. Ini bukan tentang cinta. Ini soal kebutuhan... dan kesepakatan. Saya tawarkan pernikahan selama satu tahun, dengan syarat tertentu. Hitam di atas putih. Setelah itu, Anda bebas sepenuhnya.”

Hening. Udara di antara mereka seakan tertarik keluar dari ruangan.

“Anggap saja... ini kontrak yang saling menguntungkan.”

Nicko memang tak menunjukkan tekanan secara langsung. Ia hanya mengutarakan fakta dan konsekuensi dengan tenang, tapi justru ketenangan itulah yang membuat semuanya terasa menyesakkan. Seolah tawaran ini bukan permintaan, tapi keputusan yang tak bisa dihindari.

Sara menunduk perlahan, menahan napas. Ia tak bisa menjawab sekarang. Ia bahkan belum bisa memproses semuanya.

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral.

Bukan alat tukar.

Bukan kompromi.

Apalagi dengan pria asing… yang bahkan belum ia kenal lebih dari sepuluh menit.

Tangannya di pangkuan mengepal perlahan, tanpa sadar. Ia mencoba menelan kenyataan, tapi rasanya seperti meneguk duri.

Kenapa semua ini terdengar logis... tapi salah?

Kenapa bagian dari diriku bahkan mempertimbangkan ini?

Ia ingin mengatakan tidak. Bahwa ia menolak menjadi bagian dari negosiasi dingin ini.

Tapi wajah ayahnya kembali terbayang. Suaranya yang terdengar rapuh di ujung telepon. Pandangan ibunya yang menghindari tatapan setiap kali mereka bicara soal perusahaan.

Dan kenyataan lain ikut menyusul: mereka sudah terlalu banyak berkorban. Terlalu diam untuk rasa sakit yang tak henti datang.

Sara memejamkan mata sejenak. Ada guncangan kecil di dadanya. Ia tak pernah menyangka hidup akan menempatkannya pada dilema seperti ini.

Menikah… dengan pria yang bahkan tidak ia kenali.

Tapi jika itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarganya…

Apa ia benar-benar bisa menolak?

“Maaf, Tuan Velmier,” ucapnya pelan, mencoba menjaga ketenangan. “Saya... tidak bisa memberi keputusan hari ini.”

Nicko tidak terkejut. Ia hanya mengangguk pelan, seolah sudah memperkirakan jawaban itu.

“Ambil waktu yang kau butuhkan,” katanya singkat. “Tapi ingat, waktu bukan sesuatu yang kita miliki terlalu banyak.”

Sara bangkit dari duduknya. Tangannya meraih tas dengan sedikit gemetar. Suasana di ruangan itu terasa terlalu sunyi, terlalu menekan, padahal tak ada satu pun nada tinggi yang dilontarkan sejak tadi.

“Terima kasih atas waktunya,” ucap Sara lagi. “Saya akan segera memberi jawaban.”

Nicko hanya mengangguk sekali lagi.

Sara melangkah menuju pintu, mencoba menyembunyikan kekacauan yang berputar dalam benaknya. Saat tangan menyentuh kenop, ia sempat menoleh sekali, memandang pria yang baru saja menawarkan satu keputusan yang bisa mengubah seluruh hidupnya.

Nicko masih duduk di sana. Tenang. Diam. Penuh kalkulasi.

Sara menarik napas pelan, lalu melangkah keluar.

Pintu tertutup.

***

Sara duduk di ujung sofa, memeluk lututnya sambil menatap layar ponsel yang masih menyala. Ia baru saja selesai berbicara dengan keluarganya di Swiss.

Ibunya terdengar ceria di ujung telepon, menyisipkan candaan ringan tentang pelanggan restoran yang selalu lupa membaca menu. Kakaknya, Adrian, sempat menyinggung soal butik, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan ke hal-hal remeh yang menenangkan, tentang cuaca, tentang kucing tetangga, tentang apa pun yang tak menyakitkan.

Tak satu pun dari mereka menyebutkan masalah keluarga secara langsung.

Tak ada kalimat tentang izin lahan. Tak ada tanya tentang tekanan.

Mereka justru memintanya menjaga diri, bersikap tenang, seolah itu cukup untuk mengusir kegelisahan yang menunggu di ambang malam.

Dan seperti itulah keluarganya.

Mereka menyembunyikan luka dengan senyum.

Menanggung sendiri beban, agar satu sama lain bisa bernapas lebih ringan.

Mereka bukan keluarga yang bersuara keras dalam kekacauan, mereka bertahan dalam diam.

Selalu berusaha melindungi… bahkan saat hidup tak lagi berpihak.

Sara memang sudah dewasa. Sudah lama tak tinggal serumah dengan mereka. Tapi keluarga itulah satu-satunya tempat terhangat yang masih ia punya, setelah kakeknya, satu-satunya sosok pelindung yang paling ia percaya, pergi untuk selamanya.

Dan sejak hari pemakaman itu, ia tahu: kehilangan tak pernah benar-benar selesai.

Ia hanya belajar bertahan… dengan bagian yang hilang di dalam dirinya.

Namun mereka tidak berhenti. Tidak pernah.

Perusahaan tekstil sang ayah memang terancam, tapi restoran keluarga yang telah berdiri puluhan tahun masih penuh setiap malam. Kini, bisnis itu ditangani sepenuhnya oleh ibunya, wanita tangguh yang menolak menyerah, bahkan ketika hidup perlahan mulai mengguncang fondasi mereka.

Justru karena itu, karena mereka masih bisa tersenyum meski rapuh, Sara tahu, ia tak bisa hanya menunggu.

Ia menurunkan ponsel perlahan, lalu menatap jendela.

Langit di luar mulai gelap, tapi pikirannya masih berputar.

Haruskah ia melangkah ke dalam perjanjian yang bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya?

Pernikahan bukan karena cinta, bukan karena harapan, tapi karena kebutuhan yang dibungkus dalam kesepakatan dingin.

Batinya menolak, tapi logika memaksanya untuk mendengar. Dunia tempatnya berdiri kini tak lagi memberi ruang untuk sekadar memilih dengan hati.

Ia tahu apa risikonya. Ia tahu tak akan ada tempat aman di balik kontrak semacam ini. Tapi untuk keluarganya… untuk semuanya yang bisa diselamatkan…

Apakah harga dirinya cukup kuat untuk bertahan saat semua ini mulai meretakkan dirinya perlahan?

Nicko Velmier bukan pria yang mudah dipercaya, terlalu tenang. Tapi ia tidak berbohong.

Satu keputusan dari pria itu bisa menyelamatkan segalanya.

Dan satu-satunya yang diminta adalah... pernikahan. Satu tahun. Tanpa perasaan. Tanpa keterlibatan. Hanya kontrak.

Terdengar dingin. Tapi di saat seperti ini, logika dingin kadang lebih rasional daripada harapan yang rapuh.

Sara memejamkan mata.

"Mereka tidak memintaku mengorbankan diri. Tapi justru karena itu... aku tak bisa tinggal diam. Jika aku bisa menjadi alasan ayahku tidak kehilangan semua yang telah ia bangun seumur hidupnya... maka mungkin, satu tahun bukan harga yang terlalu besar."

Setelah berpikir cukup lama, Sara membalas email dari sekretaris pribadi Tuan Velmier. Ia mengucapkan terima kasih atas pertemuan sebelumnya dan menyampaikan keinginannya untuk menjadwalkan pertemuan ulang, ia ingin membahas lebih lanjut isi pembicaraan yang sempat tertunda.

Pesan itu singkat, sopan, dan langsung ke inti.

Ia tahu, mungkin Nicko tidak akan langsung membacanya. Tapi jika pria itu memang benar-benar ingin melibatkan dirinya, dalam hal apa pun, ia akan menunggu.

Meski dalam hati, keraguan itu masih berbisik:

Bisakah ia benar-benar percaya?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!