Kirana terdiam sejenak. Nada suara pria tampan di depan nya itu seperti menusuk hingga jantungnya. Tapi ia tidak datang sejauh ini untuk mundur. Gadis itu mengangkat dagunya sedikit.
“Saya datang ke sini bukan untuk jalan-jalan, Dok. Saya datang karena saya ingin jadi bagian dari perubahan perilaku kesehatan masyarakat. Walau kecil,” jawabnya tenang.
Raka menyipitkan mata. Masih belum terlihat kesan senang atau terkesan.Dalam pikiran nya, ucapan Kirana persis anak baru magang. Seiring berjalan nya waktu, akan bosan bahkan tidak tahan dengan kultur budaya di pelosok negeri ini.
“Baiklah. Kita tunggu pembuktian dari ucapan itu di lapangan!” tantang lelaki itu.
Done.
Tak ada senyum. Tak ada basa-basi. Pertemuan pertama mereka hanya berlangsung tak sampai lima menit. Kirana keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Antara kagum karena karisma pria itu… dan dongkol karena sikap dingin nya dan judgement yang merendahkan.
“Duh... dingin banget kan orangnya?” bisik Bu Ayu saat mereka kembali ke lorong, karena Kirana hanya terlihat diam dengan wajah datar.
Kirana hanya tersenyum tipis. "Hu-uh. Bisa beku-in teh di meja biar jadi es teh,"
Mereka berdua saling tatap lalu terkikik.
***
Sore itu setelah hari pertama diisi dengan perkenalan dan tur singkat keliling puskesmas, Kirana menatap langit dari kamar kecil yang disediakan untuk tenaga medis baru. Di luar, kabut turun perlahan dari bukit. Angin dingin membawa aroma kayu bakar dan tanah basah.
Kirana menyusun pakaian dan beberapa barang bawaan nya yang tidak seberapa. Ia pun telah membulatkan tekad untuk menyelesaikan tugas di tempat ini dengan baik, meskipun akan jadi pekerjaan yang berat.
***
Pagi pertama Kirana di Talago Kapur dimulai dengan suara ayam jantan yang bersahutan dan langkah kaki bocah-bocah berlarian di luar jendela. Rumah dinas kecil yang ia tempati terletak di belakang Puskesmas. Rumah sederhana seperti Perumnas berukuran enam kali enam.
Meski sederhana, ruangan itu cukup nyaman. Ada kasur tipis, meja belajar, satu lemari tua, dan kamar mandi dengan air dari sumur yang ditimba manual. Kirana menggulung lengan baju dinasnya, mengenakan hijab berwarna pastel, lalu melirik pantulan dirinya di cermin kecil yang tergantung miring di dinding.
“Semangat, Kirana. Ini bukan Jakarta, tapi kamu adalah seorang dokter!” bisiknya pada diri sendiri.
Setelah sarapan ringan — mie rebus dan telur dadar — Kirana melangkah menuju ruang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Di ruang tunggu, beberapa pasien sudah mengantre. Seorang ibu hamil tampak duduk memegangi perutnya, ditemani oleh seorang laki-laki paruh baya.
“Assalamu’alaikum,” sapa Kirana ramah saat memasuki ruang pemeriksaan.
“Wa’alaikum salam, Dok,” jawab bidan Dina, yang sejak kemarin sudah cukup akrab dengannya.
Kirana mengambil alih pemeriksaan, menyapa pasien, dan melakukan palpasi fundus dengan lembut. Biasanya bidan yang melakukan pemeriksaan ini, namun kali ini Kirana ingin memeriksa langsung.
Setelah melihat hasil pemeriksaan tekanan darah dan keadaan umum pasien yang dilakukan bidan Dina, Kirana pun menjelaskan tentang imunisasi TT (Tetanus Toxoid) yang memang standar untuk ibu hamil, terutama jika belum lengkap dosis sebelumnya.
Tanpa pikir panjang, ia menyuntikkan TT ke lengan pasien—yang menurut catatan memang belum mendapatkannya.
Namun suasana berubah tak lama kemudian. Seorang perempuan tua berkerudung gelap masuk terburu-buru ke ruang Puskesmas. Matanya tajam, langkahnya cepat meskipun usia tak lagi muda.
“Maa dokternyo?! Ma-aa?!” teriaknya, suaranya memenuhi lorong.
Bidan Dina menoleh panik. “Aduh, Nyiak Rosma datang!”
“Nyiak Rosma?” tanya Kirana cepat.
“Etek dari suaminya pasien barusan. Orang berpengaruh. Dan... agak keras.” (Etek=tante)
Nyiak Rosma mendekat ke ruang tindakan, menunjuk-nunjuk Kirana yang masih berdiri di dekat meja periksa. “Kamu yang nyuntik anak menantu, Deen?! Kamu suntik orang hamil tanpa izin mamaknya?!”
Kirana tertegun. “Maaf, Bu... saya hanya memberikan imunisasi sesuai SOP untuk ibu hamil. Tidak ada kontraindikasi, dan pasien tadi tidak keberatan.”
“Keberatan itu bukan cuma dari si anak! Di kampung ini, orang tua masih punya hak untuk bilang ‘boleh’ atau ‘tidak’! Apalagi soal suntik-suntik! Tau kamu, Dok?!” ucap Nyiak Rosma melotot.
Ruang tunggu langsung sunyi. Beberapa pasien melongok dari balik tirai, sebagian staf tampak kikuk. Kirana menahan napas. Ini bukan masalah medis lagi, ini persoalan budaya.
“Nyiak Rosma...,” ucap Kirana akhirnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah, “Saya mohon maaf. Saya hanya menjalankan prosedur kesehatan yang kami yakini terbaik. Tapi saya paham, di sini ada aturan yang saya belum tahu. Saya akan belajar.” Kirana berusaha membujuk.
Nyiak Rosma menyipitkan mata. “Belajar? Harusnya kamu belajar dulu sebelum berani sentuh anak orang!”
Perempuan tua itu berbalik, meninggalkan ruang Puskesmas dengan suara langkah keras menghantam lantai. Keheningan menyelimuti semua yang tertinggal.
Sementara pasien sendiri hanya diam, merasa tak enak hati kepada sang dokter. Dengan bantuan Dina, pasien diantar hingga ke apotik tempat mengambil vitamin dan tablet tambah darah.
Patutlah capaian pemeriksaan ibu hamil di wilayah ini rendah, kalau begini keadaan nya, simpul Kirana melanjutkan pemeriksaan pasien berikutnya meski dengan pikiran dan perasaan yang sudah tidak enak.
***
Sore itu, Kirana duduk di teras rumah dinasnya dengan secangkir teh manis. Kepalanya penat. Hari pertama yang seharusnya jadi awalan semangat, justru terasa seperti ujian mental.
Bidan Dina muncul membawa bungkusan kue dari kantin. “Saya bawakan pastel. Kamu pasti belum makan sore.”
Kirana tersenyum lemah. “Terima kasih, Din. Aku cuma... pusing. Aku pikir kerja di desa cuma soal pemeriksaan medis. Ternyata banyak lapisan yang harus dipahami.”
Dina duduk di sebelah nya. “Iya. Di sini, adat dan keluarga itu nomor satu. Banyak warga yang lebih percaya pada orang tua dan tetua kampung daripada tenaga medis.”
Kirana mengangguk. “Tapi... kita ini dokter, ya kan? Kita ingin nolong. Tapi malah dimarahin karena menyuntik vaksin yang seharusnya memang perlu diberi.”
“Makanya butuh waktu, Kir. Di sini, kamu bukan cuma dokter. Kamu harus jadi bagian dari mereka juga.”
Kirana kembali meneguk minuman nya. Merenung.
***
Saat malam mulai turun, suara ketukan terdengar di tangga rumah dinas. Kirana keluar, terkejut melihat dr. Raka berdiri di bawah tangga. Pria tampan itu datang masih dengan ekspresi datarnya, tapi kali ini... sepertinya datang bukan untuk menghakimi.
“Boleh naik?” tanyanya singkat.
Kirana mengangguk.
Mereka duduk di kursi rotan, di beranda rumah dinas. Angin malam berhembus, membawa aroma tanah dan asap dapur dari rumah warga.
“Saya dengar soal Nyiak Rosma,” ucap Raka tanpa basa-basi. Tadi pagi ia harus ke ibukota kabupaten untuk urusan administrasi, sesampainya di Puskesmas, ia mendapat kabar itu dari Dina.
Kirana menghela napas. “Saya terlalu gegabah ya, Dok?” ucap Kirana kepada kepala Puskesmas yang bisa dianggap senior nya itu.
Raka mengangkat bahu. “Secara medis, kamu benar. Tapi di sini, benar saja nggak cukup," jawab Raka.
Kirana menunduk. “Jadi saya salah?”
“Bukan salah. Hanya... belum paham. Tapi kamu akan terbiasa. Jangan takut belajar dari benturan. Saya masih menunggu semangat mu yang menggebu-gebu kemarin.”
Kirana menoleh, menatap Raka sejenak. Ada sesuatu dalam nada bicaranya.
Bukan menggurui, tapi... menguatkan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments