bab 5

Matahari pagi mengintip malu dari balik tirai jendela. Tapi cahaya itu tak menghangatkan. Tidak di tempat ini. Tidak bagi Arini.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding. Piring sarapannya masih utuh, dingin, tak tersentuh. Sejak semalam, pikirannya terus berputar—bukan soal Leonardo, bukan soal mansion besar ini, bukan pula soal pelarian yang gagal.

Tapi tentang rumah yang dulu ia sebut rumah.

Beberapa tahun lalu, rumah itu kecil tapi ramai. Dindingnya tipis, suara televisi bercampur dengan suara ibu menggoreng di dapur, dan ayah sering menyanyi pelan saat membersihkan motor tuanya. Arini tumbuh di sana, dalam sempit tapi penuh canda.

Atau… begitulah dulu ia pikir.

“Arin, bantu Ibu beresin cucian!”

“Arin, kamu jangan keluar malam. Ayah nggak suka!”

“Arin, kamu anak perempuan. Jangan banyak bicara!”

Kalimat-kalimat itu dulu terdengar biasa. Tapi kini, semua terdengar seperti tanda-tanda kecil bahwa mereka tak pernah benar-benar mendengarkan.

Lalu hari itu datang. Hari ketika ayahnya berutang besar karena bisnisnya bangkrut. Ibu Arini sering menangis malam-malam, tapi menolak menjawab saat Arini bertanya.

“Kamu belum cukup umur untuk tahu. Diam saja.”

Dan tiba-tiba, seorang pria asing datang ke rumah. Mengenakan jas hitam dan jam tangan mahal. Arini tidak tahu siapa dia. Tapi sejak saat itu, pandangan ayahnya berubah. Bukan lagi lembut. Tapi tajam. Terburu-buru.

“Kamu harus nurut, Rin. Ini demi kita semua.”

“Demi siapa?” Arini bertanya saat itu.

Tapi tak ada jawaban.

Kilasan kenangan itu membuat Arini menggenggam erat ujung selimut. Matanya berkaca. Tapi tidak sampai menangis. Ia tak mau membiarkan air mata itu jatuh untuk orang-orang yang meninggalkannya.

“Setelah mereka menjualku, tak ada satu pun yang mencariku. Tidak ada yang bertanya aku ada di mana. Tidak ada yang merasa kehilangan.”

Siang itu, Arini diam-diam mencuri waktu ke ruang keluarga kecil di mansion. Ia tahu Leonardo sedang pergi keluar kota hari ini. Salah satu pelayan tampak tertidur di kursi dapur. Inilah waktunya.

Ia membuka laptop yang dibiarkan menyala. Dengan cepat ia mengetikkan nama ayahnya di kolom pencarian.

Dan di sana, terpampang foto yang membuat napasnya tercekat.

“Pasangan Andra dan Siska membuka kedai kopi baru hasil kerja keras setelah bangkit dari keterpurukan.”

Wajah ayahnya tersenyum puas. Ibunya berdiri di sampingnya, mengenakan jilbab baru. Di latar belakang, terlihat papan nama kafe kecil yang rapi dan indah. Ada balon-balon, ada ucapan selamat dari tetangga.

Tak ada satu pun yang menyebut nama Arini.

“Jadi ini harga dari tubuhku?”

“Senyum di foto itu. Papan nama. Kopi-kopi hangat di atas meja.”

“Sementara aku diseret, dikurung, dan diperlakukan seperti benda.”

Tangan Arini menggigil saat menutup laptop itu.

Ia berjalan kembali ke kamar, lalu mengambil buku catatan rahasianya dari lantai. Membuka halaman baru, dan menulis:

Hari kelima. Hari ini aku sadar satu hal aku benar-benar sendirian. Bahkan darahku sendiri lebih memilih uang daripada anaknya.

Tapi ini juga berarti aku tak punya apa pun untuk hilang lagi. Tak ada rumah untuk kembali. Tak ada alasan untuk diam. Tak ada tempat pulang. Maka satu-satunya jalan adalah maju. Bertahan. Sampai aku bisa menuliskan akhir ceritaku sendiri.

Tangannya berhenti menulis. Ia mengusap matanya yang mulai basah. Tapi kali ini bukan air mata luka.

Melainkan tekad.

Tekad untuk menjadi seseorang yang tak lagi bisa ditukar.

Sedangkan di tempat lain…

Sebuah rumah kecil di pinggir kota tampak lebih hidup dari biasanya. Dindingnya sudah dicat baru. Ada spanduk kecil di depan pagar bertuliskan: “Grand Opening – Kopi & Roti Bu Siska”.

Di teras, seorang wanita paruh baya sibuk mengatur toples kue. Wajahnya berseri, mengenakan baju baru, lipstik tipis di bibirnya.

“Pa, tolong angkat galonnya ke dalam, ya,” katanya sambil tersenyum pada suaminya.

Pria yang dipanggil Pa itu mengangguk. Perutnya sudah tidak sekurus dulu. Wajahnya lebih cerah, rambutnya disisir rapi.

“Sudah banyak pelanggan, Bu. Kayaknya kita bener-bener hoki ya setelah tahun kemarin itu…”

Siska tersenyum. Tapi dalam sesaat, senyumnya goyah.

Ia memandang langit, lalu melirik ke foto kecil yang tergantung di dapur. Foto Arini saat masih SMA. Rambutnya dikuncir dua. Senyum manisnya tampak hidup. Namun bingkai itu dipajang jauh di pojok. Tak pernah dibersihkan.

Siska berdiri di depannya sebentar. Tangannya hendak menyentuh kaca bingkai, tapi ia urungkan. Napasnya berat.

“Maafkan Ibu… tapi kami nggak punya pilihan.”

Tapi benarkah?

Sejak Arini ‘dikirim’ ke Leonardo, rumah ini berubah drastis. Utang lunas. Suaminya mulai usaha. Mereka hidup nyaman. Tak ada lagi debt collector yang menggedor pintu.

Dan yang lebih mengejutkan mereka jarang sekali menyebut nama Arini. Seolah anak itu… memang sudah tiada.

Di malam yang sama, Siska terbangun dari tidurnya. Ia duduk di ranjang, menatap langit-langit.

“Kenapa kamu bangun?” tanya suaminya, Andra.

Siska menggeleng pelan. “Aku cuma… mimpi. Tentang Arini.”

Andra mendesah. “Jangan mulai lagi. Kita sudah sepakat. Itu demi semuanya. Kalau bukan karena dia… kita mungkin udah mati sekarang.”

Siska menunduk. “Tapi… dia anak kita.”

Andra menatap istrinya dingin. “Bukan lagi. Anak yang membebani, bukan anak. Kalau dia masih hidup, anggap saja dia sudah bukan bagian dari kita.”

Siska terdiam.

Sementara jauh di tempat lain, Arini menggenggam pena dan menulis satu baris kalimat baru di bukunya:

Aku tidak akan menjadi bayangan di sudut rumah. Aku akan menjadi suara yang menggema di kepala mereka. Suatu hari nanti.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!