bab 4

langit di luar jendela menghitama sempurna,tidak ada bintang.hanya awan gelap yang bergulung,seperti hatinya sendiri.

Arini meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya dibalut selimut tebal, tapi dingin yang ia rasakan tak berasal dari suhu. Luka-luka di tubuhnya mungkin tak seberapa siku yang memar, lutut yang tergores, pelipis yang lebam tapi luka dalam jiwanya tak bisa ditutup dengan kain atau obat.

“Aku hanya ingin bebas… hanya itu. Tapi di tempat ini, kebebasan adalah mimpi yang dianggap kejahatan.”

Suaranya serak ketika bergumam sendiri. Tenggorokannya kering, tapi ia terlalu lelah untuk bangkit dan meminta air. Lagi pula, siapa yang peduli?

Beberapa jam berlalu dalam keheningan. Tak ada pelayan datang. Tak ada penjaga yang bicara. Hanya ketukan jam tua di ujung lorong yang menjadi penanda waktu.

Arini membuka matanya perlahan. Kepalanya pening. Tapi tatapannya kosong, tertuju pada meja kecil di samping ranjang.

Di sana ada sesuatu.

Buku kecil bersampul cokelat kusam. Tidak ia sadari sebelumnya. Entah siapa yang meletakkannya. Mungkin pelayan, mungkin Leonardo, atau mungkin memang sudah ada sejak hari pertama dan tak ia perhatikan.

Arini meraih buku itu pelan-pelan. Tangannya gemetar saat menyentuh permukaannya. Lembut. Usang. Tapi… kosong.

Halaman pertama polos.

Dan di dalam laci kecil, ia menemukan pena hitam.

Awalnya ia hanya menatapnya. Lama. Seolah menunggu keberanian muncul dari udara. Tapi lalu… ia mulai menulis. Perlahan. Dengan tangan gemetar.

Hari keempat sejak aku dikurung di rumah pria kejam bernama Leonardo Dirgantara.

Hari ini aku mencoba kabur namun gagal. Aku dipermalukan, Diseret seperti binatang,

Tapi aku masih hidup. Dan selama aku hidup, aku akan terus mencatat. Karena menulis adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan diriku… agar aku tak lenyap jadi milik mereka.

Air mata jatuh pelan ke atas kertas. Tapi tangannya tetap menulis.

Tiba-tiba, pikirannya terlempar jauh… kembali ke masa lalu. Saat Arini masih anak-anak. Saat ayahnya masih menggendongnya, membelikannya permen kapas di pasar malam. Saat ibunya membacakan dongeng sebelum tidur.

Semuanya tampak begitu nyata… dan begitu palsu.

“Dulu aku percaya bahwa keluargaku mencintaiku. Bahwa rumah adalah tempat paling aman. Tapi ternyata… rumah bisa menjadi tempat pertama yang mengkhianatimu.”

Mata Arini memerah. Ia teringat saat pertama kali orang tuanya menyuruhnya 'ikut Om Andra ke rumah temannya'. Ia mengira itu hanya kunjungan biasa. Tapi ternyata itu hari ketika ia diserahkan.

Diserahkan seperti barang pinjaman. Dijual seperti benda mati.

Ia meletakkan pena. Dadanya sesak. Tapi ia merasa sedikit lebih… ada.

Menulis ini bukan untuk orang lain. Tapi untukku sendiri. Untuk mengingat bahwa aku bukan sekadar “milik Leonardo.” Aku adalah Arini.

Dan aku tidak akan mati sia-sia.

Ia menyembunyikan buku itu di bawah papan kayu di lantai dekat ranjang. Celah kecil yang nyaris tak terlihat. Besok, ia akan menulis lagi. Dan setiap hari setelahnya, ia akan mencatat semuanya wajah pelayan, nama penjaga, arah kamera, waktu makan, segalanya.

Bukan hanya sebagai pelampiasan hati.

Tapi sebagai senjata.

Keesokan paginya, pelayan datang membawa sarapan. Arini kembali memasang wajah diam dan pasrah. Tak ada amarah. Tak ada perlawanan.

Di depan Leonardo dan semua orang rumah itu, ia akan menjadi gadis yang tampak patuh.

Tapi di dalam pikirannya, badai mulai terbentuk.

Dan di balik lantai kamarnya, tersimpan satu hal kecil yang tak mereka tahu sebuah buku catatan rahasia.

Saksi bisu perjuangan seorang gadis yang tak ingin lagi menjadi korban.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!