Suara jam dinding berdetak pelan. Angin malam menyusup dari celah jendela tinggi, membuat tirai putih tipis bergoyang seperti hantu. Arini duduk di ujung ranjang, memeluk lututnya, tubuhnya masih gemetar sejak kejadian di ruang makan semalam.
Sudah empat hari sejak ia dijual dan dikurung di rumah mewah ini rumah milik Leonardo Dirgantara, pria kaya yang lebih mirip iblis berbaju jas. Arini tak tahu apakah hari-hari berikutnya akan lebih ringan atau lebih menyiksa, tapi satu hal yang pasti: ia tak bisa diam dan hanya menerima nasib.
Satu per satu kenangan tentang masa lalu datang menyusup. Wajah ibunya. Pelukan hangat saat ia kecil. Senyum ayahnya waktu mengantarnya ke sekolah. Semua itu kini terasa palsu. Mereka bukan keluarganya lagi. Mereka menjualnya. Demi utang. Demi kenyamanan mereka sendiri.
“Kalau mereka bisa melupakan aku, aku pun akan melupakan mereka. Aku tidak akan menangis lagi.”
Arini menarik napas dalam-dalam dan berdiri. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar. Taman mansion itu luas, rumputnya rapi, pagar tinggi menjulang di kejauhan. Dua penjaga berseragam gelap berjalan bolak-balik. Di dekat dapur, pelayan kadang keluar membuang sampah.
Ia memperhatikan semuanya dengan saksama.
“Kalau aku bisa melewati pagar itu... aku bisa lari. Setidaknya mencoba.”
Pagi itu, seperti biasa, pelayan datang membawakan sarapan. Arini hanya diam, tapi matanya tak berhenti mengamati. Ia perhatikan jam dinding pukul 07.45. Pelayan itu hanya butuh lima menit untuk keluar masuk. Dan dia selalu keluar dari pintu samping.
Di ruang makan, Leonardo duduk sambil membaca koran. Ia tidak menatap Arini.
“Kau akan tetap di kamar hari ini. Aku tidak suka kau berkeliaran,” katanya pelan.
Arini mengepalkan tangan di bawah meja. “Kenapa? Kau takut aku mencuri sesuatu?”
Leonardo menatapnya tajam, lalu meletakkan korannya. “Aku takut kau mencuri kesempatan untuk kabur. Dan aku tidak ingin mengejar tikus kecil di rumahku sendiri.”
Arini mengalihkan pandangan, menahan kemarahan. Ia tahu, bicara terlalu banyak hanya akan mengundang hukuman. Tapi ia juga tak tahan hidup dalam diam.
Sore harinya, Arini mencoba memainkan kartu kecilnya. Saat pelayan membawa makan malam, ia meminta mandi di kamar mandi bawah.
"Yang ada bathtub besar itu… kamar ini membuatku sesak,” ucapnya lirih, menunduk.
Pelayan itu ragu. “Saya harus tanya Tuan dulu.”
"Kalau tidak boleh, tak apa… aku hanya…” Arini pura-pura gemetar. Ia sudah tahu caranya membuat orang kasihan.
Akhirnya, si pelayan mengangguk. “Baik. Tapi hanya sepuluh menit.”
Arini mengikuti pelayan menuruni tangga. Di tengah lorong menuju kamar mandi bawah, ia melihat satu hal: jendela di lorong itu terbuka setengah. Tidak besar, tapi cukup untuk seorang gadis ramping seperti dia melewati.
“Kesempatan…”
Ia masuk ke kamar mandi, tapi tidak benar-benar mandi. Ia hanya berdiri di depan kaca, membasuh wajah, sambil mencatat. Jendela itu bisa ia jangkau jika pelayan lengah.
Ia kembali ke kamar, tapi malam itu ia tidak tidur. Ia menunggu waktu yang tepat.
Tengah malam. Rumah itu sunyi. Tak ada suara langkah. Tak ada suara apapun kecuali detak jantungnya.
Arini mengenakan hoodie gelap dan sepatu kets yang sempat ia curi dari lemari gudang. Ia membuka pintu kamar perlahan kunci digitalnya ternyata terbuka. Mungkin pelayan lupa mengaktifkan kembali.
Langkahnya pelan. Nafasnya tertahan. Ia melewati lorong, menahan napas setiap kali lantai berdecit. Jendela itu masih terbuka. Angin malam menerpa wajahnya saat ia membuka lebih lebar.
Dengan hati-hati, ia melompat keluar, mendarat di semak rendah. Lututnya tergores, tapi ia tak peduli. Ia berlari. Melewati sisi rumah, mendekati pagar, tubuhnya mengendap-endap di antara pohon.
“Sedikit lagi… tinggal pagar itu…”
Tapi saat ia akan berlari ke gerbang kecil di sisi taman sorotan lampu menerpa wajahnya.
“BERHENTI!!!”
Dua penjaga muncul dari balik dinding pohon. Senter dan senjata mengarah padanya. Arini menjerit dan berlari, tapi kakinya tergelincir di tanah basah. Ia jatuh. Tubuhnya ditangkap kasar. Ia menendang, mencakar, menggigit, tapi percuma.
“LEPASKAN AKU!!! AKU MANUSIA!!! AKU PUNYA HAK!!!”
Namun tak ada yang mendengar. Tak ada yang peduli.
Ia diseret kembali ke mansion. Tangannya diborgol. Rambutnya berantakan, wajahnya penuh lumpur dan luka. Penjaga membawanya ke ruang bawah tanah gelap. Pintu besi terbuka perlahan.
Leonardo berdiri di sana. Tenang. Dingin. Senyum kecil mengembang di wajahnya.
“Kau mencoba kabur,” ucapnya pelan.
Arini memuntahkan semua kebenciannya lewat tatapan. “Aku akan terus mencoba… sampai aku mati sekalipun.”
Leonardo melangkah maju, berjongkok di hadapannya. “Jangan terlalu percaya diri, Arini. Dunia di luar tidak lebih baik dariku. Tapi jika kau ingin tahu rasanya dihukum… aku akan ajarkan pelan-pelan.”
Beberapa jam kemudian, Arini dikembalikan ke kamarnya. Tubuhnya lelah. Luka kecil di pelipisnya berdarah. Tapi ia masih hidup.
Ia duduk di sudut ruangan, bersandar pada dinding, napasnya berat. Dalam kegelapan, ia memeluk lututnya.
“Gagal… Tapi aku belum kalah.”
“Mereka pikir aku akan menyerah. Tapi aku akan terus berjuang. Aku tidak tahu kapan. Tapi suatu hari… aku akan bebas. Aku akan membuat mereka semua melihat bahwa aku bukan gadis lemah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments