Hujan turun sore itu, seperti langit ikut merasakan luka yang mengendap di dalam hatiku. Di balik kaca jendela kamar, aku menyaksikan tetesan air yang perlahan jatuh, seperti napasku yang berat sejak malam itu.
Di tangan kiriku, ada secarik foto lama—aku, Raka, dan Tania. Kami bertiga tersenyum di bawah pohon besar kampus, saat masa kuliah dulu. Aku duduk di tengah, Raka memegang botol minum, dan Tania menjulurkan tangan ke arah kamera.
Aku yang paling percaya... justru jadi yang paling dikhianati.
Dulu, kami bertiga seperti trio tak terpisahkan.
Aku mengenal Tania lebih dulu, dari bangku ospek. Dia periang, selalu ceria, dan bisa membuat siapa pun nyaman. Kami cepat akrab karena sama-sama merantau dan sama-sama punya luka dari rumah. Tania pernah bilang kalau keluarganya retak karena ayahnya berselingkuh. Ironis.
Raka hadir kemudian. Dia satu angkatan, tapi beda jurusan. Kami bertemu di perpustakaan, saat aku kesulitan mencari referensi. Dia datang dengan gaya sok tahu, menawarkan bantuan, lalu mulai sering duduk di dekat kami saat jam istirahat.
Dan sejak saat itu, kami bertiga jadi seperti satu paket.
Tapi aku tahu—walau saat itu belum terlalu peka—ada sesuatu di mata Tania saat memandang Raka.
Bukan sekadar pandangan sahabat.
Itu lebih dalam. Lebih… menyakitkan saat kuingat sekarang.
Aku mengira semua hanya kekaguman biasa. Aku mengira, ketika Raka akhirnya menyatakan cinta padaku di tahun ketiga kuliah, Tania juga bahagia. Dia bahkan membantu menyiapkan kejutan kecilnya.
“Kalau kalian menikah nanti, aku mau jadi pendampingmu, ya!”
Itu yang Tania bilang padaku sambil tertawa.
Dan aku percaya.
Bodohnya aku.
Suara pintu kamar terbuka. Ibuku masuk, membawa semangkuk sup dan air hangat.
"Nay, kamu belum makan seharian," katanya lembut.
Aku menoleh pelan. Ingin berkata sesuatu, tapi tenggorokanku seperti mengunci semua kata. Mama duduk di tepi ranjang, mengusap rambutku.
"Apa kamu masih ingin mempertahankan pernikahan ini?"
Aku diam.
Kalimat itu seperti hantaman kedua setelah pengkhianatan itu sendiri.
"Aku... sedang hamil, Ma."
Ibuku terdiam. Air matanya mengalir perlahan. Tapi kali ini, tak ada kata-kata. Hanya tangan yang menggenggam erat jemariku, memberi isyarat bahwa apapun yang kupilih nanti—dia ada untukku.
Malamnya, aku menulis di buku harian kecilku. Buku yang dulu kubeli bersama Tania, ketika kami memutuskan saling menyimpan rahasia masa lalu dan saling berjanji:
“Kalau salah satu dari kita jatuh cinta pada orang yang sama, kita akan mundur demi menjaga persahabatan.”
Ternyata janji itu cuma milikku sendiri.
Keesokan harinya, aku mencoba menghubungi Raka. Bukan karena aku ingin mendengar penjelasannya, tapi karena aku perlu bicara. Perlu menyampaikan sesuatu yang penting. Tentang bayi ini.
Tapi ketika sambungan tersambung dan kudengar suaranya, semua rencana yang kususun runtuh.
"Nayla, aku… minta maaf," suaranya pelan.
"Berapa lama ini sudah terjadi?" tanyaku tanpa basa-basi.
Sunyi.
"Raka. Jawab aku. Sejak kapan?"
"Lama," jawabnya akhirnya. "Mungkin sejak sebelum kita menikah."
Hatiku seperti diremukkan. Nafasku tercekat.
"Aku pikir... dia sudah melupakanku. Tapi ternyata enggak. Dan… aku juga belum bisa..."
Aku langsung menutup sambungan. Tak butuh penjelasan lebih.
Ternyata aku cuma pelengkap.
Ternyata aku cuma jalan pintas menuju kenyamanan.
Ternyata... mereka sudah bermain jauh sebelum aku sempat curiga.
Aku berdiri di depan cermin lagi malam itu. Menatap diriku sendiri.
Kali ini bukan sebagai istri.
Bukan sebagai sahabat.
Tapi sebagai seorang ibu.
Aku tahu, mulai hari ini aku harus berhenti menyesali. Harus mulai bertahan, bukan demi siapa pun, tapi demi diriku sendiri dan anak yang tumbuh di dalam tubuhku.
Karena saat cinta gagal menjadi tempat pulang, aku akan membangun rumah sendiri. Dengan dua tangan, dan hati yang luka tapi kuat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Anonymous
licik sekali mereka
2025-07-18
1