Satu bulan telah berlalu sejak malam yang merobek segalanya bukan hanya hubungan, tapi juga keyakinan, batas harga diri, dan sisa-sisa kepercayaan yang pernah mereka miliki. Yunan tak lagi sama, dan Jessy pun sudah jauh dari dirinya yang dulu. Di antara mereka, kesunyian menggantung seperti tali yang siap putus kapan saja. Rasa percaya telah membusuk menjadi kehati-hatian. Cinta membusuk menjadi tanda tanya.
Malam itu hujan jatuh seperti tirai baja, deras dan tak henti. Kilat mencabik langit kelam, memberi kilasan cahaya yang singkat namun menyilaukan. Di balkon apartemen, Yunan berdiri sendiri. Jemarinya melingkari kaleng bir yang basah oleh embun, dinginnya merembes ke kulit. Pandangannya kosong, mata yang seolah menatap jauh, tapi tak melihat apa pun.
Dari balik pintu kaca, Jessy mengamati. Gerak Yunan selama beberapa hari terakhir terlalu tenang untuk disebut damai, lebih seperti ketenangan seekor hewan yang sedang mengintai sebelum menerkam. Ada badai yang ia tahu sedang berputar di dalam diri pria itu.
Akhirnya ia melangkah keluar. Angin malam yang menusuk tulang menampar kulitnya, membawa aroma logam dari udara basah.
“Ada apa sebenarnya?” suaranya nyaris hilang, tenggelam dalam deru hujan.
Yunan menoleh perlahan. Tidak ada api di matanya. Tidak ada pelukan. Hanya gurat lelah yang dalam. Tangannya sempat menyentuh tangan Jessy... dingin, seperti hujan yang merayap di kulit, lalu ia lepaskan. “Kita akhiri hubungan ini saja.”
Jessy terpaku. Napasnya tersangkut di tenggorokan. Kata-kata itu tidak berteriak, tapi terasa seperti pisau yang digoreskan pelan di kulit.
“Kenapa?” tanyanya, mencoba mempertahankan ketenangan, meski hatinya seolah runtuh di dalam.
Yunan tak langsung menjawab. Matanya naik ke langit yang penuh awan hitam.
“Aku sudah memikirkannya. Cukup sampai di sini.” Ucapannya datar, tapi bobotnya menghantam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam sumur.
Jessy tertawa kecil, getir. “Kamu tahu? Waktu itu kamu nyakitin aku hanya karena aku mau pergi. Sekarang kamu sendiri yang bilang putus. Tanpa alasan. Tanpa permintaan maaf yang benar-benar layak.”
“Aku minta maaf…” Yunan menunduk, bahunya sedikit merosot.
“Lalu apa? Kamu pikir cukup cuma dengan kata maaf?” Nada suaranya meninggi, seperti tali yang ditarik terlalu kencang.
“Setidaknya… aku ingin mengakhirinya dengan baik.” Tatapannya melayang, seperti mencari sesuatu yang tak ada.
“Kamu pikir, setelah semua yang kamu lakukan, kita masih bisa bicara soal cara baik-baik?” Jessy mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Apa sebenarnya masalahmu?”
Hening sebentar. Lalu Yunan, dengan suara rendah tapi tajam, bertanya, “Kamu pernah tidur sama Sam?”
Petir meledak, cahayanya membelah gelap. Jessy diam. Jantungnya berdebar, menabrak tulang rusuk.
“Itu pertanyaan atau tuduhan?”
“Kamu nggak pernah jawab dengan jelas,” ucap Yunan. “Jawabanmu selalu mengambang.”
“Kalau aku bilang tidak, kamu percaya?”
Diam. Dan dari diam itu, Jessy tahu jawabannya.
“Aku nggak akan pernah bisa jawab pertanyaanmu… karena kamu nggak benar-benar mau tahu. Kamu cuma mau dengar apa yang cocok sama prasangkamu.”
“Jessy, cukup bilang ya atau tidak.”
“YA!” teriaknya. “Aku pernah tidur sama dia! PUAS?!”
Itu bukan kebenaran. Itu ledakan dari hati yang sudah remuk, karena tak satu pun kata dari Yunan memberinya ruang untuk bernapas.
Yunan mematung. Matanya mengeras, dan ucapannya jatuh pelan tapi penuh racun.
"Jadi ini wajahmu yang sebenarnya… kamu tidak seperti yang kuharapkan.”
Jessy maju setapak, jarak di antara mereka terasa seperti medan perang. “Dan kamu… jauh dari sebijak yang kubayangkan.”
“Selama ini kamu berpura-pura jadi seseorang yang penuh luka,” ucap Yunan dingin. “Ternyata kamu cuma pandai menyembunyikannya.”
Plaaakk!
Tamparan itu meledak di udara, membekas merah di pipi Yunan.
“Aku nggak akan pernah lupa ini,” Jessy berkata dengan napas berat. “Tapi aku akan pastikan… aku bisa bangkit tanpamu.”
Ia berbalik, langkahnya mantap meski dadanya sesak. Yunan hanya berdiri, membiarkan siluet itu menghilang di balik tirai hujan. Baru saat bayangan itu lenyap, air matanya jatuh satu-satu, tanpa suara, tanpa jeda.
Malam itu menjadi titik mati dari dua tahun yang pernah mereka sebut cinta.
******
BEberapa bulan setelahnya, Jessy akhirnya memutuskan berhenti bekerja. Terlalu sesak rasanya berada dalam satu gedung yang sama, menghirup udara yang sama, dan setiap hari berpapasan dengan orang yang meninggalkan luka sedalam itu. Ia memilih keluar. Perusahaan lain. Wajah-wajah baru. Nafas baru.
Kini hari-harinya penuh oleh tumpukan pekerjaan. Ia sengaja menenggelamkan diri ke dalamnya, bukan untuk melupakan, karena beberapa luka terlalu membekas untuk dilupakan, melainkan untuk memastikan langkahnya terus maju. Teman-teman di kantor barunya, meski belum akrab, cukup membuatnya merasa tidak sendirian di tempat asing ini.
“Jess, ayo makan!” suara ceria memecah kesunyian dari balik kubikel.
Itu Rissa, si cantik yang ekspresif, selalu tampil dengan lipstik menyala dan tawa lepas.
“Jangan lupa ajak si pipi bakpao itu,” celetuknya sambil menunjuk Sofi.
“Aku dengar itu!” balas Sofi dari meja sebelah. “Sini kamu, Ris, aku goreng sekalian!”
Jessy terkekeh kecil. Senyumnya belum sepenuhnya lepas, tapi setidaknya sudah kembali muncul di wajahnya.
Tiga wanita itu melangkah bersama ke kantin. Obrolan ringan bercampur suara sendok garpu, aroma tumisan dan kopi hitam, membuat langkah Jessy terasa sedikit lebih ringan.
“Eh, katanya ada karyawan baru ya?” tanya Rissa sambil mengunyah.
“Kalau tampan, aku book duluan,” tambahnya, membuat Sofi mendengus.
Jessy hanya menggeleng, tersenyum tipis. Ia belum siap membuka hati, tapi momen kecil seperti ini membuat hatinya terasa lebih hangat.
Sore harinya, ketika ia kembali ke meja kerja, sebuah suara berat terdengar di belakangnya.
“Komputernya oke?”
Jessy menoleh. Seorang pria dengan kemeja putih rapi berdiri di sana. Senyumnya ramah, matanya jernih.
“Aku Dion, karyawan baru di divisi IT. Salam kenal.”
“Jessy,” jawabnya singkat.
“Kalau ada kendala, kabari ya.”
Jessy hanya mengangguk. Bukan dingin, hanya hati yang masih tertutup rapat. Belum sekarang.
Tapi ia tahu satu hal, hidupnya sedang berusaha bergerak lagi. Dan mungkin, Dion hanyalah salah satu tanda kecil dari semesta bahwa langkahnya tak salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
jungkook
2024-02-21
0