Malam itu, di hari libur, Jessy melangkah ke dunia yang sudah lama ia tinggalkan...klub malam. Bersama Luna, Dera, dan Tya, ia pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Yunan, kekasihnya.
Ragu sempat mencengkeram. Ia tahu Yunan tak akan menerima alasan apa pun. Pergi tanpa izin saja sudah cukup memicu ledakan. Dan jika Yunan tahu ia ada di tempat yang dibencinya ini, amarahnya bisa menghancurkan segalanya.
Ajakan teman-temannya datang seperti badai kecil yang tak bisa ia hindari. “Cuma sebentar, Jess. Anggap saja pelarian singkat,” kata Luna sambil menggandengnya. Dera dan Tya ikut mendesak, tanpa memberi ruang untuk mundur. Di balik ajakan itu, ada godaan yang sulit diabaikan: kebebasan. Sesuatu yang makin terkikis sejak ia bersama Yunan.
Suasana klub langsung menerpa. Musik menghentak dada, lampu neon menari liar, aroma alkohol dan parfum bercampur di udara. Bagi Jessy, ini bukan hal baru. Dulu, tempat seperti ini adalah pelabuhan untuk melarikan diri dari tekanan.
Sejak bersama Yunan, hidupnya berubah. Ia menjauh dari tempat ini, dari teman-teman, bahkan dari dirinya sendiri. Larangan demi larangan membungkusnya dalam sangkar tak kasat mata. Tapi malam itu, di bawah lampu kelap-kelip dan tawa sahabat-sahabatnya, ia kembali merasakan hidup.
Kebebasan itu menyelinap, membakar sesuatu yang lama padam. Jessy tersenyum kecil, menyingkirkan rasa bersalah yang menguntit pikirannya. Walau bayangan Yunan tetap ada, malam ini ia memilih menjadi dirinya sendiri.
“Ayo kita bersenang-senang!” teriak Luna, menuang minuman ke gelas Jessy. Dentuman musik tak menenggelamkan semangatnya.
Jessy menatap gelas itu sejenak. Ragu muncul, lalu hilang. Satu helaan napas, lalu ia meneguknya habis, membungkam suara hati yang memperingatkan.
“Kalau sampai Yunan tahu, bisa mati aku!” ujarnya setengah bercanda, nada panik masih tersisa.
“Tenang aja!” sahut Dera, menyenggol bahunya. “Aku udah bilang ke dia kalau kamu ke acara ulang tahun sepupuku. Dia gak bakal curiga.”
“Gila parah!” Tya tertawa miring. “Pacarmu udah kayak anjing penjaga. Semua gerakanmu diawasi, pergaulanmu dibatasi.”
“Aku aja gak berani ngajak kamu jalan,” timpal Luna. “Tatapan dinginnya... serem. Dia kayak takut kamu sadar ada hidup lain di luar dia.”
Jessy hanya tersenyum tipis. Semua itu benar. Hidupnya makin sempit. Mengobrol dengan laki-laki bisa memicu pertengkaran. Keluar tanpa izin bisa berujung debat panas. Hubungan mereka dikendalikan rasa cemburu dan kepemilikan berlebihan.
Malam ini, yang awalnya hanya keisengan kecil, berubah jadi perlawanan.
“Ayo, kita minum lagi!” seru Jessy. Ia menuang botol ke gelasnya, lalu ke gelas teman-temannya.
Tawa meledak. Musik menghentak, lampu-lampu berputar. Jessy tertawa lepas, menari, meneguk minuman berkali-kali, membiarkan alkohol mengaburkan kenyataan.
Di bawah lampu gemerlap, ia kembali menjadi dirinya. Bukan milik siapa pun. Bebas, liar, hidup.
Kepalanya mulai berat, langkahnya goyah, tapi senyum masih bertahan. Ia menengadah, membiarkan musik menelannya. Apa pun yang akan terjadi nanti, biarlah.
Klub malam itu menelan waktu. Jarum jam hampir pukul dua pagi.
“Pulang, yuk!” seru Dera, gelisah. “Takut pacarnya Jessy nyariin.”
“Mana mungkin,” sahut Tya santai.
Mereka menoleh ke Jessy, matanya sayu, pipi merah, langkah oleng.
“Sebentar lagi! Kapan lagi aku bebas kayak gini...” ucapnya, suara melantur.
“Gawat, dia mabuk,” kata Luna.
“Ayo pulang,” ujar Tya tegas.
Mereka keluar dari klub, udara malam menusuk kulit. Jessy diapit Luna dan Dera, menyanyi asal sambil tertawa. Di mobil, suasana tetap riuh. Pusing dan matanya berat, tapi hatinya hangat. Malam itu terasa seperti mimpi manis yang tak ingin ia akhiri.
Namun, keceriaan itu hanya bertahan sampai mobil mereka berbelok masuk ke halaman rumah Dera.
Rem mendadak diinjak.
Suasana seketika sunyi.
Di bawah temaram lampu pekarangan, berdiri sebuah mobil hitam yang familiar. Lampunya mati, tapi kehadirannya menciptakan tekanan yang langsung menusuk ke dalam dada Jessy.
Mobil itu... milik Yunan.
" Tuh kan, firasat ku benar! " ujar Dera ketakutan " Yunan ada disini! " lanjutnya
" Gimana, nih? " Luna menghentikan mobilnya
" Ngapain berhenti! dia udah tau kalo kita datang. Lihat pandangannya mengarah ke kita " kata Tya saat melihat Yunan turun dari mobil nya
Luna menelan ludah saat melihat mobil hitam terparkir di pekarangan rumah Dera. Ia langsung memperlambat laju mobil mereka hingga berhenti tepat di depan kendaraan yang sangat mereka kenal.
"Jes… pacarmu," bisik Dera, mengguncang bahu Jessy yang setengah terlelap akibat alkohol.
Kelopak mata Jessy terbuka separuh, cukup untuk melihat sosok tinggi berjalan mendekat dengan langkah tenang tapi menekan. Yunan.
Darahnya mendingin. Refleks, ia memejamkan mata lagi. Pura-pura tidur adalah satu-satunya cara untuk menghindari ledakan emosi yang ia tahu akan datang.
Pintu mobil terbuka. Yunan berdiri di sana, tatapan tajam menembus kabin. Luna panik, segera keluar.
“Maaf! Jessy kami ajak ke klub… dia mabuk,” ujarnya cepat.
Tak ada respons. Wajah Yunan datar, dingin. Ia hanya membuka pintu belakang dan mengangkat tubuh Jessy ke pelukannya. Lengannya kaku namun kuat. Jessy menahan napas, tetap berpura-pura tidur.
Teman-temannya hanya bisa terdiam. Aura Yunan malam itu dingin dan mengintimidasi.
Perjalanan pulang sunyi. Tangan Yunan kokoh di kemudi, pandangannya lurus ke depan. Udara di dalam mobil padat oleh kemarahan yang tak diucapkan. Jessy miring ke jendela, pura-pura tertidur. Ia tahu: diamnya Yunan selalu jadi pertanda badai.
Sesampainya di apartemen, Yunan menggendong Jessy masuk, membaringkannya di ranjang. Gerakannya terkontrol… sampai akhirnya.
Bruuuk!
Tubuh Jessy jatuh keras. “Sampai kapan kamu mau pura-pura tidur?” suaranya datar, tapi setiap kata tajam.
“Aku ketahuan, ya?” Jessy mencoba tersenyum malu, tapi tak mampu mengusir ketegangan.
“Sudah berani main ke klub sekarang, hah? Kamu tahu nggak, cewek yang suka clubbing itu dicap nakal.”
Jessy diam, menunduk. Kata-kata itu menghantam harga dirinya.
“Jangan-jangan Sam benar,” lanjut Yunan.
Jessy mengangkat kepala, kaget. “Sam? Dia bilang apa ke kamu?”
“Dia bilang kamu cewek nakal.”
Jessy menatapnya tajam. “Kamu percaya?”
“Kalau kamu bersikap begini, tentu aku percaya! Siapa yang tahu apa yang kamu lakukan di sana... mungkin saja kamu bersikap murahan.”
Plaaak!
Tamparan Jessy mendarat keras. Nafasnya memburu, matanya menyala.
“Sam bilang kamu juga pernah tidur sama dia,” tambah Yunan, suaranya menusuk. “Berapa laki-laki yang pernah tidur sama kamu?”
Plaaak!
Tamparan kedua. Lebih keras. Air mata mulai mengalir di pipi Jessy.
“MULAI DETIK INI KITA PUTUS!” teriaknya.
Yunan tidak mundur. Ia melangkah maju, mencengkeram lengannya kuat-kuat hingga memucat. “Putus, kamu bilang?” desisnya. Rahangnya mengeras, matanya gelap.
Tarikan Yunan membuat tubuh Jessy terseret mendekat. Jarak mereka hanya sejengkal, napasnya terasa di wajah Jessy.. panas, berat, dan penuh ancaman.
“Kalau aku nggak bisa memiliki kamu, maka orang lain pun nggak ada yang bisa,” ucapnya pelan, tapi lebih menakutkan dari bentakan mana pun. Jemarinya makin mengencang, seperti ingin meninggalkan bekas permanen di kulitnya.
Jessy menelan ludah, tapi tatapannya tetap menantang meski hatinya berdegup tak terkendali.
Di ruangan itu, udara berubah pekat. Tak ada lagi batas antara kemarahan dan bahaya. Yang tersisa hanyalah ketegangan yang siap meledak kapan saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
waaaaw
2024-02-21
0