Perkemahan

Pagi itu, pelataran depan Kampus Asteria sudah dipenuhi suara ramai mahasiswa. Mereka berdiri berkelompok, mengobrol, tertawa, dan bersenda gurau sambil menunggu dua bus pariwisata yang akan membawa mereka ke lokasi kemah tahunan.

Di tengah keramaian itu, Azzura berjalan tergesa, tubuhnya sedikit membungkuk menahan berat tas ransel yang besar di punggungnya, serta dua tas jinjing lain di tangan kanan dan kiri. Napasnya memburu, rambutnya sedikit berantakan oleh angin pagi, tapi tak sedikit pun ia berhenti.

“Azzura! Itu tas makananku ketinggalan! Di atas meja aula!” teriak Kenzo, berdiri santai di bawah pohon sambil memainkan ponselnya.

Azzura langsung mengangguk sambil tersenyum, meski wajahnya sudah dipenuhi keringat. “Iya! Aku ambil sekarang!”

Beberapa mahasiswa di dekatnya menoleh, memperhatikan pemandangan itu dengan berbagai ekspresi. Salah satunya Boby, sahabat Kenzo yang berdiri bersama Rica, mahasiswi sosialita dengan gaya tajam dan komentar pedas.

“Kau lihat itu?” bisik Boby, terkekeh. “Dia bahkan bawa tas Kenzo yang segede itu sendirian. Gila.”

Rica melipat tangan, menahan tawa. “Lebih gila lagi, dia tetap tersenyum. Disuruh-suruh kayak pembantu juga senang banget.”

“Kenzo gak kasihan apa ya?” gumam Boby, tapi lebih ke sarkasme. “Ah, siapa yang aku bohongi? Dia nikmatin itu.”

Kenzo menoleh pada mereka dengan senyum puas. “Lumayan lah. Dia bantu banget, kok.”

Tak lama kemudian, Azzura kembali dengan napas tersengal, membawa kotak makan dan tambahan satu tas kecil.

“Nih … makanannya,” ucap Azzura sambil menyerahkan kotak itu dengan kedua tangan. Senyum lelah tapi tulus menghiasi wajahnya.

Kenzo hanya mengangguk dan menyerahkannya begitu saja ke Boby. “Taruh di bagasi, sana.”

Boby hanya menerima tanpa komentar, sesekali melirik Azzura dengan ekspresi tak tega yang tertahan.

Azzura berusaha merapikan nafas dan senyum, meskipun pundaknya nyaris roboh. Ia lalu berdiri di dekat Kenzo, seolah menunggu instruksi lain.

“Kamu udah makan belum?” tanya Kenzo, mendadak dengan suara datar.

Azzura menggeleng pelan. “Belum, tapi gak apa-apa.”

Kenzo menunjuk kantin yang sudah hampir tutup. “Yaudah, sana beli roti dulu. Kamu gak mau pingsan di jalan, kan?”

Azzura tersenyum kecil, senang diperhatikan walau hanya sekilas. “Oke … aku cepet kok.”

Ia berlari kecil menuju kantin.

Rica mencibir sambil mengaduk kopi dalam tumbler-nya. “Dia pikir kamu peduli, padahal kamu cuma gak mau repot kalau dia tumbang, ya?”

Kenzo hanya mengangkat bahu, lalu tertawa. “Kalau dia pingsan, siapa yang bawain barangku?”

*

Langkah Azzura cepat, roti masih di tangan, napasnya terengah. Matanya mencari-cari Kenzo di antara kerumunan mahasiswa yang sudah mulai mengantri naik bus.

Tapi belum sempat ia mendekat, Sani sepupunya tiba-tiba muncul di depannya, berdiri tegak dengan tangan menyilang di dada. Wajahnya keras, penuh emosi yang ditahan-tahan.

“Kamu bawa semua barang-barangnya?” tanya Sania tajam, matanya melirik ransel besar di punggung Azzura dan dua tas lain yang masih digenggam.

Azzura sedikit terkejut, tapi cepat-cepat tersenyum kecil, mencoba menenangkan.

“Iya ... dia minta tolong, kok,” jawabnya pelan.

Sania mengepalkan tangan. “Tolong? Itu bukan ‘minta tolong’, Ra. Itu nyuruh!”

Azzura berusaha melangkah ke sisi, tapi Sania memotong langkahnya. Matanya kini menatap lurus ke arah Kenzo, yang tengah bersandar santai di dekat bus sambil berbicara dengan Rica.

“Aku gak tahan lagi lihat dia perlakukan kamu kayak gitu!” gumam Sania, mulai berjalan ke arah Kenzo.

Tapi Azzura buru-buru menarik lengan Sania, memeluknya dari samping. “Sudah, San … jangan … please.”

Sania berbalik dengan ekspresi marah dan tak percaya. “Sudah? Kamu serius? Ra, dia perlakukan kamu kayak pembantu kampus, dan kamu masih … masih bela dia?”

“Aku gak bela dia,” bisik Azzura lirih. “Aku cuma … gak mau ribut di sini. Lagian, ini gak berat kok.”

Sania menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi masih terlihat geram.

“Ra, kamu tahu kita ini gak selemah kelihatannya. Kita dilatih bela diri dari kecil, kamu tahu sendiri. Tapi bahkan dengan latihan itu pun, bawa tas segede itu tetap bikin bahu sakit, otot ketarik. Kamu bukan robot!”

Azzura tersenyum kecil, matanya mulai berkaca. “Tapi ini pilihanku, San. Aku yang minta bantu dia, aku yang bilang aku gak apa-apa.”

Sania memandangi Azzura, lama. Wajahnya melembut, tapi nadanya masih tegas.

“Kadang kita harus berhenti pura-pura kuat, Ra. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita pantas diperlakukan lebih baik.”

Azzura menggigit bibirnya, tak bisa berkata-kata. Ia tahu Sania benar. Tapi hatinya tetap menolak melepaskan harapan itu.

“Terima kasih, San,” ucap Azzura akhirnya. “Tapi, kali ini, biar aku tanggung sendiri.”

Sania menatap Azzura dalam-dalam. Kemudian, dengan helaan napas berat, ia mengangguk. “Baik. Tapi kalau dia berani lagi, aku gak akan diam.”

*

Bus akhirnya berhenti di sebuah area terbuka di pinggir hutan. Udara segar menyambut para mahasiswa yang turun satu per satu, membawa barang dan peralatan masing-masing.

Terlihat hamparan tanah berumput luas dengan beberapa tenda panduan sudah didirikan di bagian tengah sebagai tempat perlengkapan dan logistik.

Azzura turun paling akhir, memanggul ransel besar milik Kenzo sambil menenteng dua tas lainnya. Matanya menyapu area kemah, mencari tempat kosong.

“Zura!” seru Kenzo dari bawah pohon besar. “Pasangin tendaku di pojok sana ya, yang deket logistik. Gue mau ke briefing panitia dulu.”

Azzura mengangguk. “Oke ....”

Ia berjalan terseok ke arah yang ditunjuk, meletakkan tas-tas berat di tanah. Tangannya mulai sibuk membuka gulungan tenda milik Kenzo, membentangkan kain dan menyusun tiang-tiang penyangga. Angin berhembus lembut, tapi matahari mulai menyengat, membuat keringatnya mengalir di pelipis.

Beberapa mahasiswa lain sudah bekerja sama mendirikan tenda berdua, bahkan bertiga. Tapi Azzura sendirian. Ia menancapkan pasak dengan sepatu, lalu menarik tali pengikat dengan kekuatan yang nyaris menguras tenaganya.

Setelah tenda Kenzo berdiri, barulah ia membuka tendanya sendiri di sisi agak jauh. Tangan gemetar, lututnya berdebu. Tapi ia tetap bekerja, tanpa mengeluh.

Sania datang dengan membawa botol minum.

“Kamu belum selesai juga?” tanyanya, lalu mengulurkan air ke Azzura.

Azzura menerima dengan senyum lemah. “Tenda Kenzo ribet banget, tali-taliannya kusut semua.”

Sania mendengus, lalu menatap tenda besar yang sudah berdiri rapi.

“Kamu bahkan belum sentuh tendamu sendiri, ya?” katanya tajam.

Azzura mengangguk pelan. “Baru mau.”

Sania menghela napas, lalu ikut jongkok membantu. “Udah, biar aku yang pasang pasak. Kamu tarik talinya aja.”

Azzura menatap Sania sejenak, lalu tersenyum lebih hangat. “Makasih, San.”

Tak lama kemudian, panitia mulai meniup peluit, memanggil semua peserta untuk berbaris.

Mereka segera berkumpul di lapangan terbuka, berdiri dalam barisan masing-masing kelompok. Absensi dilakukan satu per satu oleh panitia.

“Kelompok 3 Sania, hadir. Azzura, hadir.”

Setelah absen selesai, seorang panitia perempuan berbicara melalui pengeras suara.

“Baik teman-teman, kalian boleh beristirahat sampai sore. Jam tujuh malam nanti, kita akan mulai Games Malam Survival. Jangan lupa makan dan kumpulkan energi!”

Riuh sorak-sorai terdengar, lalu barisan pun dibubarkan.

Terpopuler

Comments

Dian Susantie

Dian Susantie

Azzura.. dulu mak lu jg bidoh krn cinta sampe hrs mati dulu baru sadar..dan bereinkarnasi untuk bls dendam..!! jgn sampe km ngulang kesalahan mak lu ya Zura.. 🤪🤪🤪

2025-07-06

5

❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈

❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈

lha ini kek jaman muda nya zanaya berias jelek hanya demi lelaki g tau diri dan munafik
weeeh kek mana ini kk

2025-07-06

4

siti solihah

siti solihah

cinta boleh bodoh jangan....boleh ga Thor getok kepalanya azzura?

2025-07-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!