Bab 5

Ganendra akhirnya memasukkan undangan itu ke dalam saku jaketnya. Tak ada waktu untuk larut dalam luka, pikirnya. Motor tuanya kembali menderu, perlahan melaju meninggalkan gang sempit yang penuh kenangan dan luka.

Tujuannya jelas yaitu toko Alfamart, tempat ia membenamkan diri dalam kesibukan, satu-satunya tempat yang bisa membuatnya lupa sejenak tentang kenyataan yang menyakitkan.

Jakarta pagi itu masih padat, seperti biasa. Hiruk-pikuk kota seolah tidak memberi ruang bagi siapa pun untuk merenung. Tapi pikiran Ganendra justru berlari ke belakang, menembus lalu lintas dan bising klakson.

Bayangan Rania hadir kembali.

Tawa kecilnya. Cara ia menyebut nama Ganendra dengan manja.

Janji-janji kecil yang mereka bisikkan saat malam menyelimuti langit kampung. Semua itu kini seperti adegan film yang berulang tanpa bisa dihentikan.

"Rania menikah dengan Sandi karena kemauan orang tuanya."

Begitu katanya, dalam pesan terakhir yang tak dibalas lagi. Tapi apakah benar hanya karena orang tua? Atau karena ia memang tak pernah benar-benar memilih bertahan?

Angin jalanan mengibaskan ujung jaket Ganendra. Lampu merah ia lewati dengan tenang. Tapi justru di tikungan itu, takdir datang dalam wujud yang sama sekali tak disangka.

BRUKK!!!

Sebuah SUV hitam dari belakang melaju dengan kecepatan tinggi, menghantam motor Ganendra tanpa sempat memberi tanda.

Suara benturan itu mengagetkan pengguna jalan lain. Dalam sekejap, tubuh Ganendra terpental cukup jauh, terhempas ke atas aspal dengan bunyi menggetarkan.

“GANENDRAAA!!”

Teriakan warga yang menyaksikan kejadian itu bercampur panik dan kehebohan.

Motor tuanya terguling ke pinggir jalan, remuk di bagian belakang. Undangan di saku jaketnya terlempar keluar, terhempas ke aspal amplop emas itu terbuka, terkena noda darah yang merembes perlahan dari lengan Ganendra yang terluka parah.

Ia tergeletak tak sadarkan diri, napasnya tersengal, dan pandangannya mulai kabur. Di sela-sela kesadarannya yang menipis, hanya satu nama yang terlintas.

“Ibu...” Lalu semuanya gelap.

Suara benturan tadi belum juga reda dari benak para saksi. Semua orang berlarian ke tengah jalan, mengelilingi tubuh pria muda yang tergeletak penuh luka di aspal. Dari arah mobil SUV hitam yang menjadi sumber keributan, beberapa warga mulai mengetuk-ngetuk kaca dengan nada memaksa.

"Keluar, Bu! Jangan diam saja!" seru salah seorang pria, nadanya penuh tekanan.

"Orang bisa mati, Ibu tahu tidak?!" tukas seorang perempuan muda yang berdiri di sisi kiri mobil.

Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan. Seorang perempuan anggun melangkah turun. Gaun panjang berwarna krem, sepatu hak tinggi, dan rambut yang tersanggul rapi segera menarik perhatian banyak pasang mata. Ia terlihat tegang, namun tetap mencoba bersikap tenang.

"Livia Haura Azalia?" gumam seorang pengemudi ojek daring yang mengenal wajahnya dari media sosial.

Livia berjalan cepat ke arah tubuh yang tergeletak. Wajahnya berubah pucat saat melihat darah yang mengalir dari pelipis korban.

"Astaga..." ujarnya pelan, napasnya tercekat.

"Ini siapa, Bu? Anda kenal?" tanya seorang petugas keamanan kompleks yang kebetulan berada di lokasi.

"Saya... saya tidak sengaja. Tadi saya menginjak rem, tapi—" tutur Livia terbata.

"Alasan, Bu! Rem atau tidak, Anda tetap melanggar!" potong seorang pria berbaju dinas, nada suaranya tinggi.

"Saya siap bertanggung jawab. Tolong selamatkan dia dulu," ucap Livia penuh panik.

"Tadi mengemudi sambil bermain ponsel, ya?" tuduh seorang ibu paruh baya, menunjuk ke dashboard mobil yang masih menyala.

"Tidak! Saya hanya—" sanggah Livia cepat, lalu imbuhnya, "Saya hanya membaca notifikasi undangan digital, tidak bermaksud lalai."

"Undangan? Saat menyetir?" sela seorang pemuda di belakang.

"Aku tidak sempat berhenti. Tadi sedang terburu-buru menuju kantor notaris," jelas Livia berusaha meyakinkan.

"Tolong angkat dulu korban ini. Jangan banyak berdebat!" tukas salah satu warga sambil berteriak ke arah ojek daring yang sudah memanggil ambulans.

"Siapa namanya?" tanya Livia dengan suara lirih, matanya belum lepas dari wajah Ganendra yang berdarah.

"Namanya Ganendra. Dia bukan orang sembarangan di kampung ini," jawab seorang wanita tua sambil menatap tajam.

"Ganendra...?" ulang Livia dengan suara nyaris hilang.

Ia terdiam sejenak, seolah mengenali nama itu. Matanya berkaca, tetapi ia mengatupkan bibir rapat, menahan emosi yang mulai naik ke tenggorokan.

"Ambulans sudah dekat!" teriak seseorang dari ujung jalan.

"Tolong jaga dia. Saya ikut ke rumah sakit," ujar Livia mantap, lalu imbuhnya, "Saya tidak akan lari.”

Perempuan berusia tiga puluh tiga tahun itu Livia Haura Azalia berdiri di tengah kerumunan yang panik. Tanpa peduli dengan sorot mata tajam yang tertuju padanya, ia melangkah maju dan berteriak lantang kepada petugas medis yang baru tiba.

"Tolong segera angkat dia! Jangan tunggu lebih lama. Nyawanya harus diselamatkan," ujarnya tegas sambil menunjuk ke arah tubuh Ganendra yang terkapar.

Petugas dengan cekatan memeriksa detak jantung dan tekanan napas Ganendra. Luka di pelipisnya mengalirkan darah perlahan, dan lengannya terlihat memar parah.

Mereka segera mengangkatnya ke atas tandu. Livia mengikuti dari belakang, wajahnya tak lagi tenang. Tangan kirinya bergetar, sementara bibirnya berulang kali menyebut istighfar pelan.

Ambulans pun melaju menembus kemacetan ibu kota.

Beberapa jam kemudian, di rumah sakit...

Tangisan histeris terdengar dari lorong Unit Gawat Darurat.

"Ganendraaa! Nak, buka matamu, Nak!"

Teriakan Bu Siti memecah keheningan rumah sakit, mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya.

Perempuan separuh baya itu tak kuasa menahan dirinya saat melihat putra semata wayangnya dibawa masuk ke ruang operasi. Air mata tak berhenti mengalir, jilbabnya kusut, dan langkahnya limbung dituntun seorang perawat.

"Sabar, Ibu. Anaknya sedang ditangani dokter," ucap perawat pelan, berusaha menenangkan.

"Apa salah anakku sampai dia harus terluka seperti ini? Baru sebulan dia dipermalukan, sekarang begini lagi!" tutur Bu Siti dalam tangis, tubuhnya bergetar hebat.

Dari sudut ruangan, Livia berdiri diam. Tak ada yang menyapanya. Ia hanya bisa menatap tubuh Ganendra yang menghilang di balik pintu ruang operasi. Gaun mahalnya kini bernoda darah. Riasan wajahnya luntur. Tapi yang paling menyakitkan baginya adalah tatapan Bu Siti yang penuh luka dan tanya.

Perempuan itu melangkah pelan, mencoba mendekat.

"Ibu... saya minta maaf. Semua ini salah saya..." ucap Livia dengan suara lirih.

Bu Siti menoleh cepat. Matanya membara. Namun ia hanya diam. Tak berkata apa-apa. Ia memilih menunduk dan kembali berdoa, menggenggam erat tasbih yang sedari tadi tak lepas dari tangannya.

Livia terdiam. Ia sadar, maaf tak akan semudah itu diterima.

Beberapa jam berlalu, jarum jam terus berdetak, namun bagi Bu Siti, waktu seolah berhenti. Ia terus menggenggam tasbih, mulutnya tak henti berzikir.

Matanya sembab, sesekali ia memeluk syal kecil milik Ganendra yang dibawanya dari rumah, seolah aroma anaknya masih melekat di sana.

Di sisi lorong, Livia Haura Azalia duduk kaku. Ponselnya tak berhenti berdering, namun ia tak menggubris. Ia hanya menunduk, sesekali memejamkan mata, menahan rasa bersalah yang menggerogoti dada.

Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius. Ia membuka masker dan langsung menghampiri Bu Siti yang berdiri reflek, matanya penuh harap.

"Ibu pasien atas nama Ganendra?" tanya dokter tenang.

"Saya, Dok... saya ibunya... bagaimana anak saya?" ujar Bu Siti terbata.

Dokter menarik napas pelan sebelum menjelaskan.

"Kondisi Ganendra cukup parah," ujarnya tegas.

Tubuh Bu Siti melemas seketika. Livia spontan berdiri, menahan napas.

"Kami menemukan pendarahan di bagian dalam kepala akibat benturan keras. Tadi sempat terjadi penurunan kesadaran yang cukup drastis. Selain itu, tulang bahu kiri mengalami retak, dan ada sobekan di bagian paha kanan yang sudah kami jahit."

"Ya Allah..." lirih Bu Siti, tubuhnya limbung, ditopang oleh perawat di sampingnya.

"Saat ini dia masih di bawah pengaruh obat bius dan belum sadar. Kami akan terus memantau perkembangan selama 24 jam ke depan. Waktu ini sangat krusial. Doa dari keluarga sangat dibutuhkan," imbuh sang dokter dengan suara tenang namun jelas.

"Boleh saya melihatnya, Dok?" pinta Bu Siti pelan, suara serak bercampur air mata.

"Tunggu sebentar, Ibu. Pasien akan dipindahkan ke ruang ICU. Setelah stabil, Ibu bisa masuk satu orang untuk menunggu," tutur dokter.

Livia hanya berdiri kaku. Matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, lalu berkata lirih, hampir tak terdengar,

"Semua ini karena saya... maafkan saya, Bu..."

Namun Bu Siti tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah ruang operasi yang tertutup kembali, menahan gelombang emosi yang lebih besar dari luka mana pun yang pernah ia rasakan.

Terpopuler

Comments

sunshine wings

sunshine wings

Semoga diberikan kesembuhan dan dipermudahkan urusan ke depannya untuk Gamendra.. Aamiin yra.. 🤲🤲🤲🤲🤲

2025-07-06

1

sunshine wings

sunshine wings

😱😱😱😱😱

2025-07-06

0

sunshine wings

sunshine wings

🥺🥺🥺🥺🥺🥺

2025-07-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!