Bab. 3

Begitu Ganendra membalik badan untuk pergi setelah kata-kata terakhirnya pada Rania, suasana masih terdiam hingga akhirnya Pak Mahfud, pamannya, maju selangkah dengan dada bergemuruh dan mata yang mulai memerah karena menahan amarah.

“Maaf, tapi saya tidak bisa diam.”

Suaranya berat, menggema, membuat orang-orang kembali menoleh. Pak RT, Pak Salim, ikut berdiri di sampingnya, wajahnya tegang namun tetap tenang.

Pak Mahfud menatap langsung ke arah Pak Darto dan istrinya. “Kalian yang minta Ganendra datang, kalian yang sepakat dengan tanggal lamaran. Kami ini datang karena diundang secara baik-baik, bukan karena numpang numpang harap!”

Pak RT menambahkan dengan nada tegas, “Lalu sekarang, kalian buat acara tunangan untuk laki-laki lain dan menyambut kami seperti orang asing? Apa ini memang direncanakan dari awal? Apa memang niatnya dari awal untuk mempermalukan keluarga kami di depan umum?”

Pak Darto tersentak, namun belum sempat menjawab, Pak Mahfud kembali angkat suara. Kali ini lebih dalam, dengan kemarahan yang tetap bermartabat.

“Kami ini orang kecil, iya. Tapi bukan berarti kami bisa seenaknya dipermainkan! Harga diri kami mungkin tak semahal rumah kalian, tapi kami punya kehormatan. Kalau kalian memang tidak setuju dengan lamaran ini, kami bisa terima, asal disampaikan dengan hormat! Tapi yang kalian lakukan hari ini sungguh keterlaluan.”

Bu Erna tampak ingin membalas, namun Pak RT langsung memotong dengan suara dingin.

“Dan kalian bukan hanya mempermalukan Ganendra dan ibunya, tapi mempermalukan diri kalian sendiri di hadapan tamu-tamu kalian. Hari ini semua orang jadi saksi, mana keluarga yang menjunjung adab, dan mana yang menjunjung gengsi.”

Tamu-tamu mulai saling berbisik, suasana mulai tak nyaman bagi keluarga Rania. Beberapa bahkan terlihat mengangguk kecil mendengar perkataan Pak RT.

Pak Mahfud menatap tajam untuk terakhir kalinya. “Kami datang dengan membawa niat baik, bukan membawa malu. Tapi ternyata, yang membuat kami malu bukan karena ditolak, tapi karena telah percaya pada keluarga yang tidak tahu caranya menjaga kehormatan tamu.”

Lalu ia merangkul Ganendra, dan berkata pelan, “Ayo, Nak. Kita pulang. Lebih baik kita dihina karena miskin, daripada kaya tapi tak tahu cara menghargai orang.”

Dan dengan langkah penuh wibawa, rombongan kecil Ganendra pun pergi, meninggalkan pesta yang tampak megah tapi kehilangan maknanya.

Karena hari itu, bukan hanya hati yang patah, tapi wajah siapa yang benar-benar terhormat, akhirnya terbuka di hadapan semua orang.

Pak Mahfud yang sejak tadi menahan gejolak dadanya akhirnya maju selangkah lagi, wajahnya merah padam menahan marah namun tetap dijaga dengan sikap yang bermartabat. Ia menatap Pak Darto dan istrinya dengan tajam.

“Pak, Bu... kami ini orang Makassar. Ada siri’ na pacce dalam hidup kami. Ada harga diri, ada rasa malu, ada empati. Siri’ itu kehormatan. Pacce itu rasa malu kalau menyakiti orang, rasa pedih kalau mempermalukan tamu. Dan hari ini... kalian injak semua itu.”

Pak RT, Pak Salim, mengangguk pelan, ikut berdiri di samping Pak Mahfud.

“Bukan soal lamaran diterima atau ditolak. Kami bisa terima kalau ditolak dengan cara terhormat. Tapi ini? Kalian sengaja undang kami, padahal tahu kalian mau nikahkan anak kalian dengan orang lain. Ini bukan sekadar pembatalan, ini penghinaan.”

Pak Mahfud menunjuk ke arah kotak seserahan yang masih dibawa salah satu kerabat mereka, lalu menatap Pak Darto dengan sorot kecewa.

“Kami bawa seserahan bukan buat pamer. Kami bawa itu sebagai bentuk penghormatan. Tapi kalian balas dengan mencoreng muka anak kami, mempermalukan ibunya, dan menghina profesi orang tua yang kalian anggap rendah. Maaf, tapi ini bukan cuma soal cinta ini sudah soal siri’. Dan kami tidak akan tinggal diam!”

Bu Siti masih berdiri dengan kepala tegak, air mata tertahan di ujung matanya, tapi tidak ada yang lebih bangga daripada anak dan keluarga yang berdiri membelanya hari itu.

Pak RT akhirnya bicara, nadanya dalam dan penuh wibawa. “Kalau kalian lupa caranya menghormati tamu, biar kami pulang dengan harga diri yang masih utuh. Dan biarlah semua yang hadir hari ini jadi saksi, bahwa yang kaya belum tentu mulia, dan yang sederhana belum tentu hina.”

Pak Mahfud pun berkata lirih namun menusuk sebelum berbalik. “Kami pulang, bukan karena kalah. Tapi karena kami tahu siri’ na pacce tidak bisa dibeli dengan pesta besar dan nama besar.”

Dan dengan itu, rombongan Ganendra pun melangkah pergi. Kepala mereka tegak, langkah mereka pasti, karena mereka tahu lebih baik pulang membawa luka, daripada tinggal dan kehilangan martabat.

Saat rombongan Ganendra hendak benar-benar melangkah pergi, seorang perempuan paruh baya yang sedari tadi berdiri di samping Pak RT akhirnya angkat bicara. Ia adalah Bu RT, istri Pak Salim. Wajahnya teduh, tapi sorot matanya menyimpan ketegasan seorang ibu yang tak tahan melihat ketidakadilan.

Ia maju beberapa langkah, berdiri di antara kerumunan tamu yang masih terdiam. Dengan suara lantang namun hangat, ia berkata,

“Ananda Ganendra jangan tunduk begitu, Nak. Angkat kepalamu. Kamu datang hari ini membawa niat baik, membawa restu ibu, membawa harga diri. Tapi Allah lebih tahu siapa yang pantas untukmu.”

Ia menoleh ke arah Rania dan keluarganya, lalu kembali menatap Ganendra.

“Percayalah, suatu hari nanti kamu akan dapat jodoh yang bukan hanya lebih baik dari Rania, tapi yang juga tahu caranya menghargai perjuangan, mencintai dengan tulus, dan berdiri di sisimu bukan karena harta tapi karena hati.”

Beberapa tamu tampak mengangguk, bahkan beberapa ibu-ibu di belakang mulai menyeka mata.

“Kamu mungkin kalah di mata mereka hari ini, Nak. Tapi di mata orang yang tahu arti siri’ na pacce, kamu pemenangnya.”

Bu RT tersenyum lembut, lalu menepuk pundak Bu Siti. “Bu, Ibu harus bangga. Anak ibu lelaki sejati. Insya Allah… akan ada perempuan baik yang dikirim Tuhan, bukan hanya mencintai anak ibu, tapi juga mencium tangan ibu dengan penuh hormat.”

Bu Siti mengangguk pelan, matanya mulai berlinang. Ganendra pun menatap Bu RT dengan mata yang mulai basah, tapi senyumnya mengembang kecil senyum seorang lelaki yang tahu, meski hari ini ia ditolak, tapi ia tidak pernah kalah.

Dan hari itu, meski tak jadi membawa pulang calon istri, Ganendra pulang membawa sesuatu yang jauh lebih mulia yaitu kehormatan, doa, dan harga diri yang tetap utuh di mata orang-orang baik.

“Ya Rabb… Kenapa sesederhana ini harapan kami, tapi serumit ini jalan menuju bahagia? Ibu… Maafkan anakmu ini. Aku tak cukup tangguh untuk menjaga wajahmu tetap teduh. Aku tahu kau berusaha tegar, tapi aku bisa melihat retak itu di mata tuamu.”

“Dulu aku pikir, cinta cukup jadi alasan untuk diterima. Ternyata silsilah dan harga diri lebih dulu jadi hakimnya. Apa salahku lahir dari rahim seorang penjahit, dari pelukan seorang janda yang tiap malam menambal luka sendirian?”

“Kue dodorok itu, waje umba-umba yang dulu kuimpikan akan kau hantarkan sambil tersenyum bahagia,

kini hanya jadi simbol luka.

Bukan karena rasanya yang berubah, tapi karena maknanya tercabik.”

“Mereka menilai kami rendah.

Menginjak harga diri kami seolah darah kami lebih murah dari darah mereka.

Tapi Ibu selalu bilang...

Siri’ na pacce lebih tinggi dari segala yang mereka punya.

Dan hari ini aku memilih menunduk bukan karena kalah,

tapi karena aku tak ingin hatiku menjadi congkak seperti mereka.”

“Ya Allah...

Jika bukan Rania takdirku,

Tolong hapus namanya dari ingatanku.

Tapi jika Engkau masih menulis namanya di Lauhul Mahfudz untukku,

maka bimbinglah aku mencintainya tanpa harus mengorbankan harga diri ibuku.”

Terpopuler

Comments

sunshine wings

sunshine wings

👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻

2025-07-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!