Bu Siti berdiri dengan tubuh sedikit gemetar, mencoba menahan air mata yang sedari tadi mendesak keluar. Suaranya lirih, tapi cukup jelas terdengar oleh para tetangga yang ikut hadir menyaksikan lamaran yang berubah jadi aib. Wajah-wajah yang awalnya penuh harap kini memancarkan iba dan simpati.
"Maafkan saya... maafkan saya telah menyeret kalian semua dalam urusan anak saya...
Saya sungguh tidak menyangka akan begini jadinya... bukan kehormatan yang kalian dapat, malah hinaan yang menyayat hati."
Ia menunduk dalam, tangan meremas ujung sarungnya. Di sebelahnya, Ganendra mematung, tak kuasa menatap ibunya yang setegar batu kini mulai rapuh di depan orang banyak.
Sejenak, suasana hening...
Lalu seorang ibu dari tetangga mereka melangkah maju, suaranya lantang namun lembut.
"Bu Siti, jangki malu. Kami semua tahu siapa ta'. Tidak ada satu pun dari kami yang merasa dihina... yang hina itu justru mereka yang merendahkan orang lain demi menjaga gengsi palsu!" Ujarnya Bu Ani.
"Kalau begini caranya mereka memperlakukan kita, berarti bukan kita yang patut malu. Mereka yang harusnya tunduk, karena telah menolak anak muda beradab seperti Ganendra hanya karena silsilah. Siri' na pacce tidak bisa dibeli dengan mobil dan pesta mewah." Ucapnya Pak Dedi.
"Kami justru bangga jadi bagian dari keluarga yang tahu diri dan tahu malu seperti Bu Siti. Jangan menunduk lagi, Bu. Angkat kepalamu. Yang mereka hina mungkin statusmu, tapi Allah memuliakan hatimu." Sahutnya Bu Nana.
Bu Siti tak sanggup menahan air matanya. Ia menutup wajah dengan ujung kerudung, sementara suara dukungan dari para tetangga mulai terdengar satu per satu. Tak ada satu pun yang menyalahkannya. Justru rasa solidaritas dan empati itu semakin terasa kental di tengah suasana getir.
Ganendra meraih tangan ibunya, menggenggam erat. "Ibu tidak salah. Justru hari ini saya bangga jadi anakmu dan bagian dari kampung ini.”
Tenda sederhana dari terpal biru yang dibentang di antara dua rumah petak masih berdiri di tengah lorong sempit. Dulang-dulang seserahan dibiarkan teronggok kue dodorok, waje, dan umba-umba kini tak lagi tampak menggoda. Seorang anak kecil memungut bunga melati yang tercecer di tanah, lalu menaruhnya kembali di atas dulang dengan polos. Tapi semua orang tahu, upacara itu tak pernah benar-benar dimulai. Yang datang bukan restu, melainkan penghinaan.
Pelosok kota Jakarta menjadi saksi bisu.
Lorong kecil ini.yang biasa penuh canda anak-anak dan obrolan ibu-ibu sore hari—hari itu diselimuti sunyi dan iba.
Bu Siti berdiri di depan tenda, tubuhnya tegap tapi matanya basah. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata:
"Saya mohon maaf... kepada semua yang sudah datang, yang sudah menyiapkan waktu, tenaga, dan harapan. Saya pikir hari ini akan jadi hari bahagia bagi anak saya, bagi kita semua. Tapi ternyata, kami hanya diberi luka."
Ia menatap dulang seserahan, lalu menunduk, suaranya mulai bergetar.
"Saya ini cuma penjahit... janda pula. Tapi saya besarkan anak saya dengan kehormatan. Hari ini kami dihina bukan karena salah, tapi karena mereka tak bisa melihat kemuliaan selain dari harta dan nama."
Angin sore berembus pelan, membuat tirai terpal melambai, seolah langit pun bersedih. Tetangga-tetangga yang duduk di kursi plastik murahan saling berpandangan. Seorang ibu, mengenakan daster batik lusuh, berdiri perlahan dan menghampiri Bu Siti.
"Bu Siti... jangki minta maaf. Justru kami yang minta maaf tidak bisa berbuat banyak. Kami bangga jadi saksi bahwa hari ini, ibu berdiri untuk harga diri." Bu Lena.
Disusul seorang lelaki tua berkopyah putih, suara seraknya menyusul.
"Biarkan orang kota itu anggap kita kampungan. Tapi kita punya siri’ na pacce. Harga diri, malu, dan hati itu yang tidak bisa dibeli di mal besar atau rumah megah." Pak Harun.
Suara dukungan perlahan bermunculan satu per satu, mengisi lorong sempit yang tadinya sunyi. Di langit, awan mulai menipis, semburat cahaya senja menyelusup malu-malu di antara celah bangunan tinggi di kejauhan.
Ganendra, yang berdiri di belakang ibunya, akhirnya maju, menggenggam tangan Bu Siti dan berkata lirih:
"Hari ini bukan kegagalan, Bu. Tapi penegasan... bahwa kita tidak bisa dibeli. Bahwa kehormatan kita lebih besar dari lamaran yang tak pernah jadi akad."
Semua orang akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Lorong kecil itu kembali sepi. Suara kursi yang diseret, tawa basa-basi, dan langkah kaki yang terburu-buru telah lenyap tertelan senja.
Sisa-sisa seserahan masih terbengkalai di atas meja dodol, waje, dan umba-umba itu tak lagi terlihat manis. Hanya ada sunyi yang menggantung di bawah tenda biru yang mulai dilepas angin.
Tinggallah mereka berdua ibu dan anak, duduk dalam diam di atas bangku kayu reyot yang jadi saksi diam betapa perihnya hari itu.
Ganendra mendekat. Dengan perlahan, ia duduk bersimpuh dan memeluk tubuh ibunya dari samping. Tubuh itu masih terasa kuat, meski usianya sudah lima puluh tahun lebih. Tulang-tulang tangan ibunya yang keras karena bertahun-tahun menjahit kini jadi tempat ia bersandar.
Suara Ganendra lirih, hampir tenggelam oleh isaknya sendiri.
Ganendra berucap lirih, "Maaf, Bu..."
"Maaf karena hari ini bukannya membahagiakan Ibu, malah membuat Ibu dihina. Lamaran itu seharusnya jadi bukti bahwa saya ingin membawa nama Ibu lebih tinggi tapi yang terjadi malah sebaliknya."
Air mata Ganendra jatuh, membasahi kain sarung ibunya. Bu Siti tak segera bicara. Ia hanya mengusap kepala anaknya dengan pelan, menahan tangis yang sudah menggumpal di dada sejak tadi.
Bu Siti membalasnya dengan lembut, "Nak Jangan minta maaf karena niat baik. Ibu tidak pernah menyesal membesarkanmu. Yang salah bukan kamu, tapi orang-orang yang tak mampu melihat ketulusan karena terhalang gengsi."
Ia menatap langit yang mulai temaram, lalu kembali memandangi wajah anaknya.
"Selama kamu masih menjaga harga diri dan tidak menghina orang balik, Ibu akan selalu bangga. Hari ini kita dihina, mungkin. Tapi besok Allah sendiri yang akan angkat derajatmu, Nak."
Ganendra mengangguk, masih dalam pelukan itu. Ia tak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya seolah sedang memeluk dunia terakhir yang bisa ia percaya.
Waktu terus berlalu. Hari demi hari terlewati seperti aliran air yang tak bisa diulang. Tanpa disadari, sudah genap sebulan sejak peristiwa lamaran yang berujung luka itu.
Hidup terus berjalan, begitu pun Ganendra. Ia tetap bekerja di AlfaBeta seperti biasa, menyibukkan diri di antara angka-angka laporan dan tumpukan tugas yang tak pernah peduli dengan hatinya yang belum benar-benar pulih.
Tak ada yang berubah dari rutinitasnya berangkat pagi, pulang menjelang petang, menyalakan motor tua yang jadi sahabat setianya, dan selalu berpamitan pada ibunya dengan cium tangan.
Pagi itu, matahari bersinar cerah. Udara Jakarta belum terlalu panas. Burung-burung masih sempat bernyanyi di sela pepohonan tipis di gang rumah mereka.
Ganendra, seperti biasa, mengenakan helm dan jaket. Ia menyalakan mesin motornya yang menderu pelan.
Tiba-tiba, langkah seseorang terdengar mendekat dari arah ujung gang.
Seorang pria muda, berpakaian rapi dan menenteng amplop berwarna emas, menghampiri sambil tersenyum sopan.
"Permisi, Mas. Ini ada undangan... atas nama Ganendra, ya?"
Ganendra yang sedang menyesuaikan kaca spion, menoleh. Ia mengangguk kecil, masih belum sadar sepenuhnya. Tangannya mengambil amplop itu secara refleks.
Begitu ia melihat nama yang tertera di pojok kiri atas, matanya membeku.
"Rania & Sandi."
Detik itu juga, suara motor seolah hilang. Suara burung pun tak lagi terdengar. Semua seperti membeku, hanya menyisakan suara detak jantungnya sendiri yang makin keras.
Ganendra menatap nama itu lama. Terlalu lama. Dunia seolah mengejeknya tepat di depan pintu rumahnya sendiri. Rania perempuan yang pernah dijanjikannya masa depan. Dan Sandi nama yang tak pernah ia dengar sebelumnya, tapi kini menjadi pasangan sah dari seseorang yang dulu katanya mencintainya.
Amplop itu terasa panas di tangan. Tapi ia tak membuangnya. Ia hanya menggenggamnya erat menatapnya sejenak lalu tersenyum tipis. Senyum getir yang tak pernah ia rencanakan.
"Jadi ini akhirnya? Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Hanya undangan, dikirim seolah aku ini tak lebih dari tamu dalam cerita yang dulu aku bangun." Batinnya.
Mesin motor masih menyala. Tapi Ganendra belum bergerak. Hanya diam.di tengah pagi yang cerah, dengan undangan yang tak diundangnya, dan luka yang kembali membuka tanpa suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
sunshine wings
✅️✅️✅️✅️✅️
2025-07-05
1