Terjebak Dalam Cinta Hitam
Panggung Terbuka - Mereka yang terjebak.
"Setiap cinta yang terlahir dari luka… selalu punya bayangan yang tidak bisa ditebak bentuknya."
🔥 TRISTAN MARESYA
"Wajah dingin, tatapan tajam. Ia berjalan dalam gelap dengan bekas cahaya ibunya yang telah padam".
.
Direktur muda yang mewarisi perusahaan… dan rahasia. Di balik jas abu-abunya, tersimpan luka kematian yang tak pernah dijelaskan. Ia bukan hanya mencari kebenaran—tapi juga seseorang yang bisa bertahan mencintainya, ketika ia sendiri tak tahu caranya bertahan hidup.
---
🌙 AURORA Elviera
"Matanya seperti langit mendung—selalu tampak tenang, tapi menyimpan badai yang tak kunjung reda."
Gadis keras kepala yang tumbuh dari puing masa lalu. Di antara malam-malam kelabu dan kesepian yang membeku, ia terjebak dalam permainan cinta dan jebakan kekuasaan. Tapi dari semua yang ia lawan, hatinya sendiri adalah musuh terbesar.
---
🌑 KALEA ARDISA
"Tertawa keras, tapi menangis diam. Ia tak pernah punya rumah… jadi ia menciptakan perannya sendiri."
Anak panti yang tumbuh jadi pemain licik di dunia pria kaya. Cerdas, cepat, dan berbahaya. Tapi ketika satu-satunya orang yang ia percaya hilang tanpa jejak, ia tahu... kebohongan tak bisa melindunginya selamanya.
---
🔎 ARYA SENA
"Ia tidak bicara banyak, tapi matanya menyimpan semua luka yang tak sempat diucapkan orang lain."
Jurnalis yang bermain di antara kebenaran dan risiko. Diam-diam melindungi Kalea, diam-diam mencintainya. Tapi cinta tak bisa terus disembunyikan, apalagi saat nyawa sudah ikut dalam permainan.
---
🌘 Empat jiwa.
Satu rahasia.
Dan cinta… yang lahir di tempat tergelap dunia.
Bab 1.Langit Malam yang Tak Pernah Terang
Lokasi: Klub Eksklusif "Violetta", Jakarta Selatan – Pukul 23.45 WIB
Lampu ungu menari di dinding kaca, memantul di gaun satin merah yang ku sewa sore tadi di butik langganan—gaun yang tampak terlahir demi tubuhku, tetapi harganya sanggup menenggelamkan tiga bulan uang kos. Bas elektronik EDM memukul-mukul rongga dada, menyamarkan degup jantung dan rasa lapar yang sudah ku rawat sejak siang: kombinasi nikmat-perih yang menegaskan batas antara ilusi gemerlap dan kenyataan dompet kempis. Di tempat seperti ini, kemiskinan bisa disamarkan oleh eyeliner pekat, seulas senyum tipis, dan segelas champagne yang bukan milikku.
Di pojok bar, Kalea—rambut lilac-nya diikat tinggi—menenggak air es yang tak pernah ia sentuh lebih dari dua teguk; aksi kamuflasenya. Mata kami beradu. Ia mengangguk pelan—kode kami sejak panti asuhan—berarti target terkunci. Tangannya yang terbalut sarung tangan renda semu bergerak ke arah pria berkemeja linen, perut sedikit buncit, tetapi jam di pergelangan tangannya jelas Rolex Yacht-Master edisi platinum.
Aku mengeja gerak bibirnya: "Rolx. Limit nggak?"
Kalea pura-pura mengecup sedotan—kode lanjutan bahwa limit kartu tak terbaca, alias kartu berkelas berat. Aku tersenyum. Mudah.
Kami bukan pendatang baru di dunia malam berlapis kaca patri ini. Tapi kami punya pagar tak terlihat—benteng yang kami bangun bertahun-tahun lalu, di kamar ranjang bertingkat panti asuhan, diiringi suara hujan berselimut atap bocor.
---
Flashback: Panti Asuhan Mawar Putih, Lima Tahun Lalu
Hujan mengguyur genteng seng yang berderit. Bau lembap bercampur bubur kacang hijau sisa makan malam. Ranjang susun kami bergoyang pelan terkena angin. Lampu belajar 5 watt memantulkan siluet dua gadis delapan belas tahun yang tidak seharusnya sudah hapal cara menipu kehidupan.
Aku meremas jari Kalea. Ketakutan, marah, sekaligus tekad membuat suara bergetar.
"Kalau dunia mau menjual kita, Lea, kita jawab dengan menjual ilusi. Tapi… kita harus punya sesuatu yang tetap milik kita."
Ia menelan ludah. "Kau tahu yang paling gampang dijual apa."
"Justru itu."
Aku menggigit bibir. "Kita boleh menjual senyum, sentuhan, bahkan fantasi terliar yang mereka mau. Tapi bukan…"
"…bukan keperawanan kita." Kalea menyambung, matanya basah namun mantap.
Kami saling menautkan jari kelingking.
"Janji?" tanyaku.
"Janji," jawabnya.
Petir menyambar di kejauhan, seolah mengesahkan kontrak dua yatim piatu keras kepala.
---
Aku tersentak kembali ke kenyataan. Violetta riuh—gelas bersulang, parfum mahal, dan tipu daya rasa percaya diri. Kalea menatapku lagi, cengiran tipis: targetnya sekarang berpindah ke arahku. Aku meluruskan punggung, menarik napas, dan melangkah pelan berirama ironi.
"Pak, meja ini kosong?" suaraku lembut, senada denting gelas.
Pria berperut buncit menoleh. Giginya terlalu putih—bleaching klinik, barangkali. “Kau sendirian, Sayang?”
Aku terkekeh, memiringkan kepala. “Menunggu seseorang yang mungkin lupa jam. Tapi saya tak suka meja sepi.”
Ia menepuk kursi di seberangnya. “Duduklah. Pesan apa saja, aku yang traktir.”
Aku sengaja menunduk, pura-pura malu, namun mataku sudah menangkap kartu kredit platinum bertuliskan namanya. Bagus.
"Champagne 2012, boleh?"
"Kamu kenal rasa," pujinya, menekan senyum bangga.
Aku menggesek kartunya pada tablet pemesanan. Sekali swipe—setengah biaya sewa apartemen kecilku di Tebet terselamatkan. Di kejauhan, Kalea mengacungkan jempol. Aku menahan tawa sambil memintal ujung rambut.
Pria itu mulai bercerita tentang import minyak sawit, kurs rupiah, dan—tentu—kesepian. Aku menanggapi dengan anggukan terancang, tangan menyembunyikan kalkulasi lain: berapa lama lagi sebelum ia lupa PIN besok pagi.
Di tengah tawa palsuku, corridor lampu strobo berkedip—pertanda pergantian DJ. Aku berdiri, berpura-pura hendak ke toilet untuk memeriksa makeup—sebenarnya menghitung saldo. Lalu, dalam lima detik, segalanya berubah.
Aku menabrak sesuatu. Sesuatu keras. Dingin. Tinggi.
Champagne tumpah menodai belahan gaun, menetes sepanjang kulit. Aku mendongak. Dua pasang mata kami bertemu.
Dia
Bukan sugar daddy biasa. Tubuhnya tegap dalam setelan jas hitam penjahit Italia, dasi gelap nyaris menyatu dengan kemeja. Tapi aura yang paling menghantam: tatapan—sehitam obsidian yang tidak memantulkan lampu klub sedikit pun, seakan menelan cahaya.
“Maaf,” lirihku, buru-buru meraih tisu, meraba noda dingin di dada yang kini basah oleh champagne mahal. Jemariku bergetar halus—entah karena hawa AC atau karena tatapan lelaki itu yang menusuk seperti belati halus, tepat ke dalam kerongkongan jiwa.
Dia tidak langsung menjawab.
Hanya berdiri, tinggi dan nyaris diam, seolah waktu di sekitarnya melambat dengan sendirinya. Klub tetap berdetak kencang dengan musik yang menghentak, tapi di antara kami, hanya ada diam.
“Gaunmu,” katanya pelan, suaranya berat, datar, dan tanpa emosi. “Sayang sekali.”
Aku tersenyum gugup, mencoba melucuti ketegangan yang tiba-tiba mencekik. “Champagne-nya yang salah sasaran.”
“Bukan,” katanya, kini memutar tubuh ke arahku. “Kau.”
Aku nyaris kehilangan pijakan. Kata-katanya seperti pisau yang dibungkus beludru—tajam namun nyaris terdengar lembut. Matanya tidak lepas dari wajahku. Tidak dari tubuhku. Tapi bukan seperti sugar daddy lapar yang biasa kami hadapi. Tatapan pria ini... menilai. Membedah. Membaca. Seperti ia tahu sesuatu yang bahkan aku belum sadari tentang diriku sendiri.
“Ada yang bisa saya bantu?” Aku menegakkan bahu, mencoba menjaga kendali, meski rasa gugup merambat sampai ke belakang lututku.
Ia tidak menjawab. Hanya mendekat—satu langkah kecil, tapi cukup untuk menghapus semua ruang pribadi yang biasa aku pertahankan seperti pagar besi. Aroma tubuhnya menghantam: maskulin, mahal, dan asing. Seperti kabut hutan hujan yang belum pernah dijejaki manusia.
Tangannya terulur—mendekati wajahku, lalu berhenti. Ia tidak menyentuh. Hanya mengangkat sehelai rambut basah yang menempel di pipiku.
“Kau bukan seperti mereka,” katanya pelan.
Aku menahan napas.
“Siapa?” tanyaku.
“Mereka yang menjual mimpi dengan harga murah,” jawabnya.
Seketika, semua taktik, semua skenario yang biasanya kugunakan—lenyap. Pria ini tidak bermain di panggung yang sama dengan kami. Ia bukan penonton. Ia sutradara. Dan sayangnya, aku tidak memegang naskah.
“Nama?” tanyanya.
Aku berbohong, seperti biasa. “Nadine.”
Dia menaikkan alis tipisnya. “Aurora.”
Darahku membeku.
“Ma—maksudnya?” suaraku nyaris tak terdengar.
Sudut bibirnya terangkat sedikit, bukan senyum, lebih seperti pengakuan bahwa dia baru saja menamparku secara halus. Ia tahu namaku. Dan itu berarti—entah bagaimana, dia tahu lebih dari yang seharusnya.
Aku mundur selangkah.
“Siapa kamu?”
Kalea—di seberang bar—tiba-tiba bangkit, gerakannya kaku. Matanya melebar. Ia mencoba mendekat, tapi dijegal pelayan yang mengangkat nampan besar. Aku sendiri ingin berlari, tapi langkah pria itu lebih cepat. Ia menyodorkan kartu nama berwarna hitam legam, hanya bertuliskan satu huruf timbul perak: "T."
Di balik kertas itu, seolah ada sesuatu yang bergerak. Sesuatu yang tidak terlihat, tapi membuat udara terasa menebal.
“Aku bisa membantumu keluar dari permainan ini,” katanya pelan, tapi jelas.
Aku tertawa getir, mencoba menutup ketakutan dengan sinisme. “Dan ganti dengan permainanmu?”
Dia menatapku, dan kali ini, sorot itu bukan lagi hanya misteri. Tapi ancaman.
“Permainanku tak memberi ruang untuk tipu daya. Tapi setidaknya... tak akan menghancurkan dirimu perlahan seperti yang sedang kau lakukan sekarang.”
Sebelum aku bisa menjawab, dia melangkah pergi. Tak menoleh. Tak meminta nomor. Tak mengundang kopi atau kamar hotel. Hanya meninggalkan udara yang kini terasa terlalu berat untuk dihirup.
Kalea akhirnya berhasil tiba di sisiku.
“Apa yang terjadi?” bisiknya. “Kau pucat. Siapa dia?”
Aku menggenggam kartu hitam itu erat-erat, seperti benda terkutuk yang akan meledak kapan saja.
“Masalah,” jawabku.
Atau mungkin, sesuatu yang lebih rumit dari itu.
.
.
.
Bersambung.....
Panti Asuhan Mawar Putih – Lima Tahun Lalu
Hujan itu turun bukan sekadar air yang jatuh; ia turun seperti dendam purba yang menampar-nampar genteng seng panti hingga berderit menyedihkan. Dari retakan plafon, tetes-tetes kecil bocor, menimpa lampu 5 watt yang lemah—membentuk bayangan bergetar di dinding kusam warna kelabu. Meski setiap petir memekikkan guntur, penghuni panti tetap tertidur pulas; hanya dua gadis di ranjang susun nomor tiga yang terjaga, terpaku pada malam yang terasa lebih kejam daripada biasanya.
Di kasur bawah, Aurora—delapan belas tahun, rambut hitam sepunggung, mata sekeras obsidian—mendekap lutut di balik selimut tipis. Kain itu sudah berbulu, tapi ia menahannya erat-erat, seolah selimut compang-camping itu satu-satunya bendera yang tersisa untuk harga dirinya. Di kasur atas, Kalea berbaring miring, telinga terpasang, menyimak hujan dan—tanpa ia sadari—menyimak degup jantung Aurora yang tak kunjung tenang.
“Rora,” bisik Kalea akhirnya, turun perlahan. Kakinya menyentuh lantai dingin yang rembes air hujan; ia mengerut, lalu duduk bersila di hadapan sahabatnya. Rambut panjangnya basah, menempel di pipi. “Kau belum tidur lagi?”
Aurora menggeleng. Matanya menatap jendela kayu yang goyang, seolah ia sedang menghitung setiap tetes air. “Kalea,” suaranya serak. “Besok kita genap delapan belas, tahu?”
“Dan itu berarti…”
“Berarti panti resmi punya alasan mengeluarkan kita kapan saja.” Aurora mencabut daun cat yang terkelupas di bingkai ranjang, menggulungnya di antara ibu jari dan telunjuk. “Kalau itu terjadi, kita mau tinggal di mana? Makan dari apa? Jualan es lilin juga takkan cukup.”
Kalea menarik napas panjang, menatap lantai. Tak ada jawaban; hanya aroma lembap bubur kacang hijau sisa makan malam yang sudah basi di kaleng sampah pojok kamar.
Tiba-tiba Aurora bangkit, membuka laci plastik kebesaran warna pudar di ujung ranjang. Ia mengeluarkan dua tiket bus malam—robekan koran, tempat ia menulis angka-angka. “Lihat. Harga kuliah, uang kos, makan, buku—semua kuhitung. Butuh puluhan juta. Puluhan, Lea. Dan itu minimal.”
Kalea meneliti coretan ballpoint hitam yang mengisi tiket itu. Tangannya bergetar: antara kagum pada kecermatan Aurora dan takut pada kenyataan di depan mata.
“Aku tak mau jadi gawai rusak yang dilempar ke pasar loak,” bisik Aurora, suaranya terlipat amarah. “Kalau dunia mau menawar tubuh kita, maka kita menawar balik—dengan ilusi setinggi harga yang mereka sanggup bayar.”
“Ilusi?”
“Ya.” Aurora menatap Kalea lurus-lurus. “Senyum manis, cerita palsu, detak jantung yang mereka kira cinta. Kita jadi aktris. Tapi di balik semua topeng itu, kita masih pegang kendali.”
Kalea menahan napas. “Kendali apa yang tersisa, Rora?”
Aurora menggenggam kedua tangan Kalea, dingin di antara suara hujan. “Kita masih punya hak memilih apa yang tak boleh dijual. Kalau mereka mau segala rupa fantasi, silakan. Tapi ada satu hal—satu saja—yang tetap milik kita.”
Petir menggelegar, menyambar menyingkap tirai malam sekejap. Kedua gadis terdiam, saling menatap dalam kilat cahaya.
“…Keperawanan kita,” lirih Kalea, akhirnya.
Aurora mengangguk. “Bukan karena kita kudus—kita bukan malaikat. Tapi karena itu garis terakhir: tanda tangan di atas martabat. Begitu kita serahkan itu, besok lusa mereka akan minta jiwa kita, lalu membuang kita seperti sepotong kertas minyak.”
Kalea menelan ludah. Tiba-tiba kilasan masa depan melintas di matanya: dirinya berdiri di trotoar malam, lampu neon murah menyorot, menggigil menunggu tumpangan. Ia merinding. “Kalau satu hari aku goyah…?”
“Aku tarik kau balik.” Aurora menggenggam lebih erat. “Sebaliknya, kalau aku yang jatuh, kau tampar aku sampai sadar.”
Kalea tertawa pendek—tawa getir yang berakhir dalam isak tercekik. Mereka sama-sama tahu dunia akan menertawakan janji ini; tapi di kamar pengap itu, janji mereka rasa-rasanya lebih kokoh ketimbang tembok panti yang rapuh.
Aurora mengulurkan kelingking. “Janji?”
Kalea menyambut. “Janji.”
Jari kelingking mereka mengait, lalu mereka menepuk punggung tangan masing-masing tiga kali—ritual kecil yang mereka ciptakan sejak usia tujuh. Saat petir menggelegar lagi, kontrak itu seolah dicap di langit malam: dua yatim piatu menantang jalan hidup yang tak pernah adil.
---
Empat Tahun Kemudian
Klub Eksklusif “Violetta”, Jakarta Selatan – Pukul 23.15 WIB
Lampu ungu menari-nari di dinding kaca seperti ingatan mabuk—gemerlap tapi tak pernah stabil. Dalam cermin rias berbingkai emas, Aurora—kini dua puluh empat—mengaplikasikan eyeliner wing tip yang presisi. Setiap garis tampak melukis rasanya terhadap dunia: tajam, tak ada ruang ragu. Di sebelah, Kalea dengan rambut lilac terikat tinggi menekuk badan, memeriksa belahan gaun midi marun yang sempurna menonjolkan tulang selangkanya.
“Target kita malam ini ganti,” ujar Kalea, menutup compact powder. “Tuan Yunus gagal datang. Tapi ada investor tambang—kartu hitam, limit tak terbatas.”
“Aku yang tangani,” sahut Aurora, mengambil lipstik merah cabai.
Kalea menggeleng. “Tidak. Kau sudah dapat porsi yang lebih ‘panas’. Ada pria di lounge VIP, jam tangannya yang—uh—bisa bayar DP apartemen. Tapi… sorot matanya bikin bulu kudukku berdiri. Namanya Tristan Alvaro.”
Aurora terdiam setengah detik, lalu menyeringai tipis. “Tristan Alvaro? Kedengarannya seperti sinetron. Pemilik perusahaan perkapalan?”
“Lebih buruk. Pewaris multi-holding. Reputasi keluarga ‘bersih’, tapi rumor di media gelap—hilangnya dua pesaing bisnis, pembelian paksa saham minoritas.” Kalea menatap cermin, mata gelisah. “Kudengar dia kesepian… dan obsesif.”
Aurora memutar lipstik, mencium aromanya. “Orang kesepian paling gampang ditebak.” Ia berdiri, gaunnya jatuh anggun sepanjang paha. “Kita hanya perlu jadi oasis lima menit.”
Kalea membalas tatapan Aurora lewat cermin. “Rora… janji di panti? Kau ingat?”
Aurora pura-pura tertawa. “Tidak ada pria mana pun yang layak membuatku melupakan itu.” Namun, saat ia menunduk menyelipkan kartu debit di balik bra, seserpih keraguan menyelinap—adakah harga yang tak sanggup dibayar dunia saat ia lengah?
Area VIP
Musik EDM berganti drop, lantai dansa berguncang. Aurora berjalan menembus kerumunan, langkahnya bagai ayunan metronom terukur. Aroma parfum mahal bercampur keringat penari menampar hidung, membuat kepala sedikit ringan. Tapi Aurora hafal cara menambatkan dirinya: satu tangan memegang clutch, satu tangan lain meraba gelang logam di pergelangan—pengingat bahwa janji mereka tak kasat mata tapi nyata.
Dari jauh, ia melihat Kalea bicara sopan dengan pria perut buncit berkemeja linen. Kalea melemparkan anggukan kode: Target aman. Aurora membalas senyum. Tapi di detik berikutnya, sekelebat bayangan hitam berdiri di antara lampu strobo—tinggi, tegap, menciptakan vakum di keramaian.
Aurora menghentikan napas. Itulah Tristan. Setelan jas hitam yang jatuh mulus di bahu lebar, dasi gelap yang hampir menyatu dengan kemeja. Wajahnya seperti pahatan granit yang memancarkan dingin; mata hitamnya menolak memantulkan sedikit pun cahaya klub. Ia sedang berbicara dengan bartender, suaranya rendah, sebelum entah bagaimana tatapan mereka bersirobok.
Detik itu dunia keruh seakan beku. Aurora menegakkan bahu, menarik napas, lalu melangkah. Kendalikan narasi sebelum ia menulisnya untukmu, batinnya menegur.
“Selamat malam,” sapa Aurora, nada terukur. “Baru pertama di Violetta?”
Tristan memindai Aurora dari ujung rambut ke sepatu stiletto perak. “Pertanyaan klise,” ujarnya datar, tapi suaranya renyah, menandakan aksen internasional tipis. “Kau pasti bisa lebih kreatif dari itu.”
Aurora tersenyum, menarik bangku tinggi, duduk tanpa meminta izin. “Aku biasanya dibayar untuk kreatif, Pak. Kali ini… saya beruntung tak perlu menunggu order.”
Mulut Tristan terangkat seujung milimeter—hampir tak terdeteksi. “Lalu apa yang kau jual?”
“Keberanian.” Aurora menahan senyum lebih lebar meski dada bergetar. “Malam ini, keberanian dibanderol satu botol Champagne 2012.”
Tristan mengetuk counter bar. “Dua botol.” Ia memberi isyarat pada bartender. “Kalau begitu, aku ingin double.”
Aurora tertawa kecil. Tapi tawa itu terbelah lemah ketika ia menyadari betapa gampangnya pria ini memegang ritme percakapan. Biasanya, ia dalang; kini, ia bisa saja boneka tali. Janji di panti berdentang di kepalanya.
Jangan jatuh. Jangan biarkan dia menarikmu.
Saat bartender menaruh champagne berembun di antara mereka, Tristan menyodorkan kartu kredit titanium. Aurora mengenali: kartu yang hanya diterbitkan lewat undangan khusus. Sekali gesek, ia bisa membayar dua semester kuliah. Ia menggigit bibir.
Tristan menatapnya. “Kau tampak… ragu.”
“Aku hanya terpesona,” jawab Aurora, menguasai ekspresi. “Jarang ada yang tahu bahwa keberanian memang mahal.”
“Tidak ada harga yang terlalu mahal jika hadiah di ujungnya otentik,” kata Tristan, lalu menaikkan gelas. “Untuk keberanianmu.”
Ketukan gemuruh jantung Aurora tenggelam di bawah bass EDM. Namun, di pojok ruangan, Kalea berdiri memerhatikan. Mata mereka bertemu, dan dalam satu kilatan lampu strobo, Aurora membaca peringatan itu: Jaga garis kita. Aurora mengangguk nyaris tak terlihat.
---
Kamar Rias, Lima Menit Kemudian
Aurora menutup pintu, punggung bersandar pada kayu. Udara sejuk AC mendadak tak cukup mendinginkan wajahnya yang panas.
Kalea sudah menunggu, tangan terlipat. “Apa yang terjadi?”
“Dia… bukan tipikal sugar daddy,” bisik Aurora, menahan gemetar. “Dia tahu cara memecah defensiku.”
Kalea melangkah mendekat, suaranya lebih lembut. “Apa kau mau berhenti malam ini?”
Aurora menatap diri di cermin. Bayangan gadis panti asuhan itu menatap balik—mengerjapkan mata basah. Ia mengingat hujan deras, janji kelingking, dan genggaman tangan Kalea. Ia menutup mata sejenak, menarik napas.
“Tidak.” Pandora berbisik di kepalanya: Ingat impian, tagihan, dan caramu menggenggam dunia. Ia membuka mata, sorotnya membaja. “Aku tidak akan melanggar kontrak. Tapi aku juga tidak mundur.”
Kalea menyentuh pundaknya, menekannya lembut. “Pastikan kau masih pegang kendali.”
Aurora mengangguk. “Jika aku goyah, tarik aku balik, Lea.”
“Aku akan.”
Mereka berpelukan singkat—pelukan yang hanya dimengerti dua orang yang pernah kehilangan segalanya bersama. Lalu, Aurora merapikan gaun, memperbaiki lipstik. Sebelum keluar, ia menoleh, berbisik:
“Janji masih janji?”
“Janji,” jawab Kalea mantap.
---
Kembali ke Area VIP
Aurora menemukan Tristan menatap panggung DJ seakan melihat pola tak kasatmata di cahaya. Ketika Aurora mendekat, ia menoleh perlahan, seolah sudah tahu timing-nya sempurna.
“Aku suka orang yang kembali,” ujarnya.
“Aku suka orang yang menunggu,” sahut Aurora.
Mereka bersulang. Dari kejauhan, Kalea berdiri—mata tajamnya seperti jembatan antara masa lalu dan masa depan mereka.
Bass menendang lebih keras, lampu ungu merangkak di dinding. Namun Aurora hanya mendengar satu suara: desau hujan lima tahun lalu, menyanyikan sumpah di telinganya.
Selama garis itu belum kaulangkahi, Rora, kau masih milikmu sendiri.
Dan malam itu, ketika dunia berdesir menuntut lebih, Aurora bersumpah ia akan tetap perempuan yang menulis nasibnya sendiri—apa pun harga yang Tristan tawarkan.
.
.
.
Bersambung
Apartemen Tebet — 02.17 WIB
Hujan meraung seperti hewan liar di balik jendela, memukul kaca dengan amarah yang konstan. Udara lembap menyelinap ke celah-celah dinding tua, menusuk tulang dan hati. Lampu neon di dapur bergeming dalam kerlip lelah, memantulkan cahaya muram pada ubin yang sudah retak di beberapa sudut.
Aku dan Kalea duduk di atas karpet kumal yang jadi saksi ratusan malam seperti ini—malam setelah misi, setelah kita menggoda dunia tanpa ampun, lalu pulang dengan tawa palsu dan mi instan sebagai hadiah murahan atas kelicikan kami.
Tapi malam ini… tak ada tawa. Hanya sunyi, menyesakkan dan tajam.
Ponselku mati suara, tergeletak di sudut ruangan. Di layar terakhirnya, masih ada pesan dari Tristan yang belum kubuka. Aku bahkan tak berani menyentuhnya. Takut kalau dengan satu ketukan jari, aku akan menenggelamkan diri lebih jauh dalam jurang yang tak kukenal.
Kalea bicara pertama. Suaranya pelan, tapi mengiris.
“Aurora.”
Satu kata. Tapi terasa seperti gempa kecil di bawah dadaku.
“Kau paham apa yang kau lakukan tadi?”
Aku menoleh, tapi bibirku kelu. Yang terpantul di matanya bukan hanya kekecewaan—melainkan ketakutan. Ia takut kehilanganku. Sama seperti aku takut kehilangan… siapa aku sebenarnya.
Tatapan Tristan kembali menghantui, tatapan yang menelanjangi semua ilusi yang selama ini kubangun rapat-rapat. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa bukan sebagai pemain… tapi pion. Dan yang lebih menakutkan, aku rela jadi pionnya.
“Kau tidak mengerti,” bisikku akhirnya, nyaris tak terdengar.
“Buat aku mengerti.” Suara Kalea dingin. Tenang. Terlalu tenang. Dan aku tahu, Kalea yang bicara begini bukan marah—ia sudah sampai ke titik tak percaya.
Aku memaksa mata menatapnya. Mata yang selama ini jadi jangkar hidupku. Di sana, kulihat pantulan diriku: goyah, retak, letih. “Dia… bukan sekadar target. Saat dia menatapku, rasanya... aku dilihat. Bukan sebagai pemikat murahan. Tapi sebagai Aurora. Dan itu…” napasku tercekat, “menakutkan. Tapi juga—menenangkan.”
Kalea bangkit perlahan. Langkahnya tenang menuju rak kayu di dekat kulkas. Ia membuka sebuah laci kecil dan mengeluarkan benda yang tak asing: sebuah kotak pensil Hello Kitty yang usang, warnanya pudar dimakan waktu.
Dari dalamnya, ia menarik selembar kertas. Kertas itu kusam, sedikit terlipat, tapi tinta di atasnya masih jelas.
KONTRAK SUCI KALEA & AURORA
Keperawanan kami bukan barang dagangan.
Kami boleh menjual ilusi, tapi tidak tubuh.
Kami boleh menipu dunia, tapi takkan membohongi satu sama lain.
Bila satu melanggar, yang lain berhak pergi—tanpa tanya.
Kalea meletakkannya di antara kami. Tidak dilempar, tidak ditudingkan. Ia hanya… meletakkannya. Tapi seperti benda suci yang menuntut pertanggungjawaban.
“Baca.”
Dan aku membaca. Kalimat demi kalimat itu menampar kesadaranku. Tulisan kami sendiri—hasil dari malam penuh air mata dan darah masa lalu—sekarang menjadi pengingat keras bahwa aku hampir mengkhianati fondasi hidup kami.
“Kau belum melanggar, Rora,” katanya akhirnya. “Tapi kau hampir menyerah. Dan yang lebih buruk… kau hampir menyembunyikannya dariku.”
Air mata menetes, satu-satu, seperti pecahan hujan di luar sana. “Aku… lelah, Lea. Lelah pura-pura kuat. Lelah jadi pembohong. Saat dia menatapku, aku merasa seperti bisa… berhenti. Berhenti memerankan semua peran yang dunia paksa aku mainkan. Aku ingin—hanya sekali saja—jadi seseorang yang dicintai, bukan dikagumi. Bukan dimanfaatkan.”
Kalea memejamkan mata. Jemarinya mengepal. Ada gemetar di bahunya. Tapi saat ia membuka mata kembali, suaranya berubah—lebih dalam. Lebih tua.
“Kau tahu apa yang kupikirkan waktu kita tulis kontrak itu?” katanya pelan. “Aku tidak takut kehilangan keperawananku. Aku takut kehilangan satu-satunya orang yang kupercaya. Aku takut suatu hari kau jatuh terlalu dalam dan tak kembali.”
Aku tak menjawab. Tak bisa.
Dan di situlah Kalea mulai mengupas luka lama yang selama ini hanya kami simpan dalam senyap.
---
Flashback – Panti Asuhan Mawar Putih, 8 Tahun Lalu
Langit malam seperti batu arang. Hujan merintik, jatuh di atas atap seng, mengalir melalui lubang-lubang karat yang tak pernah bisa ditambal. Di lantai dingin asrama, Kalea duduk sendiri, menggenggam rapor sekolahnya—rapor dengan nilai sempurna. Tapi wajahnya bukan bahagia.
Ia menangis dalam diam. Air mata jatuh ke atas angka-angka prestasi, membasahi impian yang tak pernah cukup untuk memberi dia keluarga.
Aku turun dari ranjang tingkat, menyelimuti tubuh kurusnya dengan kain tipis yang ku punya. “Kalau mereka paksa kau ikut, kita kabur,” bisikku. “Aku tahu cara tembus pagar belakang. Aku tahu jam jaga malam.”
“Kalau aku diambil, aku tak bisa kabur, Rora…” suaranya kecil, nyaris patah. “Tapi aku bisa tetap jadi diriku, ‘kan?”
“Kau akan selalu jadi Kalea.”
Ia menoleh padaku. “Kalau dunia suatu hari memaksa kita hidup dalam kebohongan, janji satu hal: kita boleh berdusta pada dunia… tapi tidak pada diri sendiri. Tidak satu sama lain.”
Jari kelingking kami bertaut. Tepukan tiga kali di punggung tangan jadi meterai janji itu.
Malam itu, di bawah suara hujan dan tangis diam-diam, kami jadi dua gadis yang bersumpah untuk bertahan hidup tanpa kehilangan jiwa.
---
Kembali ke Sekarang
Tangis meledak dari dadaku, tak bisa ku tahan lagi. Bukan karena luka malam ini, tapi karena luka delapan tahun yang ikut menganga kembali.
“Aku tak lupa,” Kalea berkata, suaranya retak. “Aku masih gadis enam belas tahun itu, yang takut dijual jadi boneka hidup. Aku pagar terakhirmu, Rora. Jangan robek aku hanya karena satu tatapan pria.”
Aku meraih tangannya. Kali ini bukan sebagai sahabat. Tapi sebagai seseorang yang tahu aku bisa hilang… kalau tidak menahan tangan ini.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku, hampir berbisik.
“Kita tarik diri. Tak ada misi. Tak ada Violetta. Kita susun ulang peta. Dan kalau kau masih ingin tahu siapa Tristan sebenarnya, temui dia sebagai Aurora—bukan boneka, bukan jebakan.”
“Kalau dia hancurkan kita?”
“Kalau dia bermain bersih, kita belajar jadi manusia lagi. Tapi kalau dia bermain kotor… kita hancurkan dia duluan.”
Lama kami saling menatap. Sampai akhirnya aku mengulurkan kelingkingku.
Dan ia menyambut.
Tiga ketukan. Satu napas bersama. Dan malam yang dingin itu, kami jadi gadis panti lagi—dengan janji baru yang sama kuatnya.
Hujan mereda. Tapi aku tahu badai sesungguhnya baru akan datang.
Dan kali ini… aku tidak akan pergi tanpa membawa seluruh diriku kembali.
.
.
.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!