Pesan terakhir

Kembali ke cerita awal di mana Endria berada di perpustakaan bersama Dania dengan laptop yang ia biarkan menyala tanpa menyentuhnya sama sekali.

Gadis itu masih saja menelungkupkan wajahnya ke meja, masih ingin memikirkan masalah yang baru melandanya. Dania yang sibuk di depannya tak ia hiraukan.

Sementara itu Dania, saat ia kembali menatap ke arah Endria, tak sengaja matanya menatap sesuatu yang berkilauan bertengger di jari manis di tangan kiri sahabatnya.

"Wah!" Tanpa aba-aba Dania mengamit tangan kiri Endria yang membuat sang empu kaget.

Dania menatap dengan mata berbinar-binar pada cincin milik Endria, sederhana tapi memikat. "Hasil mulung dari mana ini?" tanya Dania bercanda.

"Enak aja! Ini pemberian dari Gatra tau!" jelas Endria sedikit kesal, helo, apakah ia terlihat seperti pemulung?

Melupakan kekesalannya, Endria beralih tersenyum mesem saat mengingat momen lamaran dua hari lalu yang sangat manis.

"Cie, jadi lo udah dilamar nih?" goda Dania, lalu gadis itu berdiri untuk duduk di samping Endria.

"Tapi lo tau nggak? Cincin lo itu harganya berapa?" tanyanya antusias.

Endria menggeleng. "Nggak tau, harganya nggak penting yang penting itu niatnya," kata Endria berusaha bijak.

Dania mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya juga sih, tapi, ini beneran loh harga cincin ini nggak kaleng-kaleng," balas Dania hiperbola.

"Emang harganya berapa?" tanya Endria penasaran, mulai terpancing padahal awalnya ia tak mempermasalahkan harga dari cincin ini, ia percaya Gatra tak akan memberinya barang murah.

Dania ini suka sekali mempengaruhi orang termasuk Endria. Entah bagaimana caranya mereka bisa berteman.

"Lebih tiga puluh M, percaya nggak lo?!" kata Dania heboh. Seketika ia lupa kalau saat ini mereka sedang berada di perpustakaan. (Maksud Dania di sini "M" itu juta bukan miliar, ya).

Endria membekap mulutnya karena kaget, ia benar-benar tak menyangka cincin ini akan semahal itu. Ya, cincin ini menjadi barang termahal yang ia punya kecuali mobil.

"Yang bener?" tanya Endria ragu.

"Ih, beneran. Tadi malam aku lihat sendiri di official store-nya, mana cincin ini limited edition, irinya," jelas Dania, gadis itu kembali memegang tangan Endria hanya untuk mengelus-elus cincinnya.

Kalau punya waktu senggang, Dania memang suka berselancar ke official store barang-barang branded, caranya untuk mencuci mata dan melepas stress. Jadi tak ayal kalau ia sangat familiar dan terkagum-kagum kalau Endria sudah memakai pakaiannya yang mahal.

Sempat terbesit rasa iri dan mengutuk hidupnya yang serba pas-pasan.

"Aduh, udah-udah aku do'ain semoga lo juga bisa beli yang lebih mahal dari ini," kata Endria lalu dengan hati-hati ia menjauhkan tangannya dari Dania.

Doa Endria Dania aminkan diam-diam dalam hati.

"Sumpah gue penasaran banget, boleh spil nggak sih dapat spek Gatra itu di mana. Aaaa... Gue mau juga," rengek Dania mulai menghalu-halu buta.

Oiya, Gatra, Endria, dan Dania itu dulu nggak satu kampus ya. Tapi kenapa Dania bisa tahu tentang Gatra? Ya, karena Gatra biasa mengantar jemput Endria dan di sanalah mereka saling mengenal.

"Nggak ada, aku udah bilang beberapa kali, aku sama Gatra tuh udah dari kecil sahabatan," jelasnya.

Dania mengangguk-anggukkan kepalanya. "Fiks, hubungan kalian itu ngebuktiin kalau persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu kalau nggak ada rasa, itu bulshit," kata Dania menggebu-gebu.

Endria pun mengangguk, membenarkan perkataan Dania. Bahkan ia tak menyangka bahwa hubungannya dengan Gatra bisa sejauh ini, mereka akan menikah.

Pandangan Endria menatap pada ponsel-nya yang bergetar, Gatra yang menelepon.

"Ya?"

"Oh, udah sampai?"

"Kenapa kamu nggak masuk dulu aja?"

"Oh? Oke-oke."

"Tunggu ya, aku lagi siap-siap nih."

"Wah mama Utami juga ada?" Terlihat raut wajah Endria senang.

"Aku matiin dulu, ya?"

Dania yang sejak tadi memperhatikan Endria yang sudah sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas pun bertanya. "Udah dijemput?"

Endria pun mengangguk. "Gue duluan, ya. Gatra lagi buru-buru soalnya. Maaf gue nggak bisa nemenin, bye." Endria berlari keluar dari perpustakaan sesaat setelah ia melihat Dania mengangguk.

***

"Kan aku udah bilang kamu kesininya santai aja nggak usah lari," kata Gatra sambil mengusap peluh yang ada di kening Endria.

Tentu saja Gatra berkata begitu karena gedung perpustakaan dengan gerbang utama kampus ini jaraknya lumayan jauh, tapi nyatanya dia malah mendapati Endria berlari menghampirinya.

"Ih, kan aku kangen sama mama," kata Endria lalu mengalihkan pandangannya ke arah mama Utami yang berada di belakang Gatra sedang memperhatikan tingkah mereka berdua.

Utami menampilkan senyum hangatnya lalu wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu merentangkan kedua tangannya bertujuan untuk Endria bisa memeluknya.

Lalu tanpa basa-basi Endria pun menghamburkan diri ke dalam pelukan mama Utami. Pelukan hangat seorang ibu yang hanya bisa ia rasakan saat memeluk Utami.

Seperti kebanyakan yang orang bilang, seseorang yang terlihat sangat ceria dari luar, di dalamnya menyimpan banyak luka.

Ibu Endria meninggal dunia tepat pada saat gadis malang itu dilahirkan. Jadi kalau sudah memasuki tanggal kelahirannya, yaitu tujuh Juli Endria tak pernah merayakannya, gadis itu lebih memilih mengunjungi makam ibunya sendirian dan menghabiskan waktu berjam-jam di sana.

"Mama, Dria kangen banget ...," rengek Endria pada yang sudah ia anggap sebagai ibunya. Hampir satu bulan mereka tak bertemu akibat kesibukan masing-masing.

"Mama juga kangen banget sama kamu, Sayang," kata Utami sambil dengan perlahan melepaskan pelukan mereka.

Di atas mobil dengan Gatra sebagai sopir dan dua wanita kesayangan duduk di kursi penumpang di belakang.

"Ngomong-ngomong kita mau ke mana?" tanya Endria setelah sadar kalau ini bukan jalan menuju rumah mereka.

"Mau ke bandara Sayang, mau jemput kakaknya Gatra," jawab Utami dan Endria hanya mengangguk pelan, bingung sekaligus penasaran dengan sosok kakak Gatra karena kekasihnya itu tak pernah menyinggung soal saudaranya.

Di sini Endria benar-benar udah lupa sama Geswa.

"Nggak jadi Ma, katanya kak Geswa transit di Singapura. Dia ada kerjaan di sana sebelum ke sini," beritahu Gatra.

"Yah...," keluh Utami kecewa, padahal ia sudah sangat bersemangat untuk bertemu dengan sang sulung, maklum, mereka hanya bisa bertemu sekali setahun itupun Utami yang harus flight ke Australia.

Karena Geswa yang tak mau pulang. Ingin memantaskan diri katanya. Entah apa maksudnya.

Endria yang berada di samping Utami hanya bisa mengelus-elus pelan lengan wanita paruh baya itu. Terlihat sekali kalau mama Utami sangat merindukan anak pertamanya, seketika ia pun semakin penasaran akan sosok Geswa yang tak pernah ia lihat.

Sekilas Gatra melirik ke arah kaca, sedih juga melihat sang mama bersedih. Sebuah ide pun terlintas.

"Mama jangan sedih, nanti aku temanin mama ke mana aja yang mama mau kunjungi," kata Gatra.

Mendengar itu membuat Utami langsung tersenyum semringah. Selain Geswa, Gatra juga susah untuk diajak jalan-jalan. Ya, beginilah perasaan ibu-ibu kalau anak-anak mereka sudah dewasa dan punya kehidupan sendiri.

Check a new massage from

+614567×××××

Wait for me, Baby

I miss you so bad

Ada pesan masuk ke nomor handphone Endria, tetapi gadis itu tak membacanya sebab ia sengaja menyetel handphone-nya ke nada hening.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!