Episode 5 – Diam-Diam Aku Ingin Pergi

"Tubuhku masih tinggal di rumah itu. Tapi hatiku sudah mulai mengemasi luka, mencari jalan pulang."

Sejak malam itu, sejak pesan itu kuketik diam-diam dan kukirim, ada sesuatu yang berubah dalam diriku.

Kecil… nyaris tak terlihat… tapi nyata.

Harapan.

Aku tahu, aku belum bisa pergi. Tapi kali ini aku tahu kenapa aku harus pergi.

Hari-hari berikutnya, aku mulai memperhatikan ritme Gibran.

Kapan dia keluar. Jam berapa dia tertidur. Di mana dia menyimpan kunci cadangan.

Aku bukan lagi perempuan yang hanya menangis dan memaafkan. Aku mulai diam-diam… menghitung langkah.

Satu sore, saat dia sedang mandi, aku menulis cepat di balik lembar-lembar resep masakan:

"Aku tak tahu kapan bisa keluar. Tapi aku tahu: suatu hari, aku akan benar-benar bebas. Dan saat itu tiba, aku ingin bisa melihat ke belakang tanpa takut—hanya belajar."

Aku selipkan kertas itu di balik lipatan jaket tua yang kusimpan sejak datang ke rumah ini.

Tapi bukan berarti semuanya jadi mudah.

Gibran seakan bisa mencium perubahan kecil dalam diriku.

Gibran:

"Kamu akhir-akhir ini beda. Jangan coba-coba kabur ya, Air. Dunia di luar tuh gak sebaik yang kamu pikir."

Gibran: (menunduk, suaranya datar tapi tajam)

"Kalau aku kehilangan kamu… aku bisa nekat. Kamu tahu kan, aku gak punya siapa-siapa selain kamu."

Kalimat itu selalu membuatku ragu.

Bukan karena aku percaya. Tapi karena aku takut.

Takut… jika benar, dia akan menyakitiku lebih parah.

Atau lebih buruk: menyakiti dirinya sendiri dan menyalahkanku.

“Manipulasi itu bukan selalu dalam bentuk bentakan. Kadang ia datang dalam kalimat lemah yang membuatmu merasa bersalah hanya karena ingin menyelamatkan dirimu sendiri.”

Malam itu, aku membuka jendela kamarku sedikit lebih lama dari biasanya.

Menghirup udara malam, memandang langit yang tak bisa kugapai.

Dan untuk pertama kalinya, aku berdoa.

Dengan suara pelan. Dengan air mata. Dengan segenap luka.

“Tuhan, kalau Engkau benar ada… tolong tunjukkan jalan keluar. Sebelum aku benar-benar hilang jadi orang lain.”

Beberapa hari setelah aku mengirim pesan diam-diam itu, tak ada balasan.

Ponselku sudah kembali kusimpan jauh-jauh, takut Gibran mencium jejak apa pun. Tapi… harapan itu masih kupegang.

Setiap pagi, aku bangun lebih awal. Aku duduk lama di depan cermin, menatap bayanganku.

Wajah yang dulu kupoles dengan senyum percaya diri, kini tertutup sembab dan ketakutan.

“Aku tak pernah membayangkan akan hidup seperti ini. Dulu aku kira aku kuat. Tapi ternyata, kekuatan pun bisa habis saat terus dikikis setiap hari.”

Suatu sore, Gibran pulang dengan wajah gelap.

Langkah kakinya berat, dan matanya seperti mencari-cari sesuatu.

Aku sedang menjemur baju ketika dia mendekat.

Tangannya mencengkeram lenganku pelan, tapi cukup kuat membuatku tersentak.

Gibran:

“Tadi kamu ke depan rumah, ya? Ngapain? Siapa yang kamu cari?”

Aira:

“Nggak, aku cuma jemur handuk. Nggak ketemu siapa-siapa.”

Gibran: (menatap dalam)

“Kamu nggak bohong, kan? Karena aku mulai ngerasa kamu berubah akhir-akhir ini. Kamu beda.”

Detik itu, aku merasa jantungku berhenti berdetak.

Kupaksakan senyum, sambil menunduk. Tidak boleh ada satu gerak pun yang mencurigakan.

Aira:

“Aku capek aja, Mas. Banyak pikiran.”

Gibran: (diam sejenak, lalu memeluk dari belakang)

“Maaf ya… aku juga capek. Kita berdua capek. Tapi kamu jangan ninggalin aku. Cuma kamu satu-satunya yang masih bertahan sama aku.”

Dan di sanalah… jebakan emosional itu kembali dilontarkan.

Malamnya, aku menulis lagi di catatan kecil tersembunyi di bawah bantal:

“Hari ini aku hampir ketahuan. Tapi aku juga makin yakin: kalau aku tidak keluar dari sini… cepat atau lambat, jiwaku akan benar-benar mati.”

Aku mengingat semua cerita dari pasien-pasien psikiater yang pernah kudengar waktu dulu masih rutin terapi.

Banyak dari mereka diam bertahun-tahun… sampai suatu hari mereka tidak bisa merasa apa-apa lagi.

Aku tidak ingin menjadi seperti itu.

Beberapa hari kemudian, saat Gibran sedang tidur siang, aku membuka kembali ponsel lamaku.

Masih belum ada balasan. Tapi aku lihat satu notifikasi: sahabatku telah membaca pesanku.

“Tolong jaga dirimu. Aku masih di kota yang sama. Kalau kamu butuh bantu kabur, tinggal kasih kode.”

Mataku basah. Jari-jariku gemetar saat menulis balasan:

“Aku nggak tahu kapan. Tapi aku pasti akan cari cara. Tunggu aku.”

“Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi malam ini, aku tahu satu hal: keinginanku untuk bebas… sudah lebih besar dari rasa takutku.”

[To be continued...]

Terpopuler

Comments

Robert

Robert

Suka banget sama cerita ini, thor!

2025-06-27

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 – Janji yang Terbungkus Manis
2 Bab 2 – Cinta yang Mengontrol
3 – Bab 3 "Sayang" yang Mengikat
4 Episode 4 – Luka yang Tak Ada Jawabannya
5 Episode 5 – Diam-Diam Aku Ingin Pergi
6 Bab 6 - Ketika Rencana Tak Lagi Hanya Dalam Hati
7 Bab 7 - LUKA LAMA YANG MEMBUNGKAM
8 Bab 8 - Pelarian yang Tak Pernah Jadi
9 Bab - 9 Sunyi yang Paling Bising
10 Bab - 10 Aira yang Tertinggal di Masa Kecil
11 Bab - 11 Aku Tidak Gila
12 Bab - 12 Bukan Aku yang Salah
13 Bab - 14 Rumah yang Tidak Pernah Menjadi Rumah
14 Bab - 14 Aku Masih Bernapas
15 Bab - 15 Pelan Tapi Bergerak
16 Bab - 16 Sandi Pelarian
17 Bab - 17 Detik yang Menentukan
18 Bab - 18 Nafas Pertama Dalam Kebebasan
19 Bab - 19 Menulis Luka Merawat Diri
20 Bab - 20 Ketika Bayangan Itu Kembali
21 Bab - 21 Kebenaran yang Menyakitkan Tapi Membebaskan
22 Bab - 22 Suara yang Tak Lagi di Bungkam
23 Bab - 23 Tak Semua Mendukung Cahaya
24 Bab - 24 Wajahku, Suaraku, Pilihanku
25 Bab - 25 Luka yang Dibela, Luka yang Diakui
26 Hadiah dari Langit di Hari Aku Lahir Kembali
27 Bab - 27 Rumah Cahaya Aira
28 Bab - 28 Saat Luka Menjadi Kekuatan
29 Bab - 29 Aku Adalah Bukti yang Masih Bertahan
30 Bab - 30 Pengadilan Luka
31 Bab-31 Bayangan yang Masih Mengintai
32 Bab - 32 Rumah Ini Tak Akan Runtuh
33 Bab - 33 Menyalakan Lilin Di tengah Luka
34 Bab - 34 Lilin yang Tak Pernah Padam
35 Bab - 35 Cahaya yang Di Pertaruhkan
36 Bab - 36 Api di Balik Tirai
37 Bab - 37 Semua Belum Berakhir
38 Bab - 38 Mereka Ingin Kami Hilang
39 Bab - 39 Kami Tak Akan Diam
40 Bab - 40 Bayang-Bayang yang Mengintai
Episodes

Updated 40 Episodes

1
Bab 1 – Janji yang Terbungkus Manis
2
Bab 2 – Cinta yang Mengontrol
3
– Bab 3 "Sayang" yang Mengikat
4
Episode 4 – Luka yang Tak Ada Jawabannya
5
Episode 5 – Diam-Diam Aku Ingin Pergi
6
Bab 6 - Ketika Rencana Tak Lagi Hanya Dalam Hati
7
Bab 7 - LUKA LAMA YANG MEMBUNGKAM
8
Bab 8 - Pelarian yang Tak Pernah Jadi
9
Bab - 9 Sunyi yang Paling Bising
10
Bab - 10 Aira yang Tertinggal di Masa Kecil
11
Bab - 11 Aku Tidak Gila
12
Bab - 12 Bukan Aku yang Salah
13
Bab - 14 Rumah yang Tidak Pernah Menjadi Rumah
14
Bab - 14 Aku Masih Bernapas
15
Bab - 15 Pelan Tapi Bergerak
16
Bab - 16 Sandi Pelarian
17
Bab - 17 Detik yang Menentukan
18
Bab - 18 Nafas Pertama Dalam Kebebasan
19
Bab - 19 Menulis Luka Merawat Diri
20
Bab - 20 Ketika Bayangan Itu Kembali
21
Bab - 21 Kebenaran yang Menyakitkan Tapi Membebaskan
22
Bab - 22 Suara yang Tak Lagi di Bungkam
23
Bab - 23 Tak Semua Mendukung Cahaya
24
Bab - 24 Wajahku, Suaraku, Pilihanku
25
Bab - 25 Luka yang Dibela, Luka yang Diakui
26
Hadiah dari Langit di Hari Aku Lahir Kembali
27
Bab - 27 Rumah Cahaya Aira
28
Bab - 28 Saat Luka Menjadi Kekuatan
29
Bab - 29 Aku Adalah Bukti yang Masih Bertahan
30
Bab - 30 Pengadilan Luka
31
Bab-31 Bayangan yang Masih Mengintai
32
Bab - 32 Rumah Ini Tak Akan Runtuh
33
Bab - 33 Menyalakan Lilin Di tengah Luka
34
Bab - 34 Lilin yang Tak Pernah Padam
35
Bab - 35 Cahaya yang Di Pertaruhkan
36
Bab - 36 Api di Balik Tirai
37
Bab - 37 Semua Belum Berakhir
38
Bab - 38 Mereka Ingin Kami Hilang
39
Bab - 39 Kami Tak Akan Diam
40
Bab - 40 Bayang-Bayang yang Mengintai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!