...•••Selamat Membaca•••...
Mereka berlari tanpa kompas, menembus hutan yang semakin gelap dan basah. Dedaunan merunduk karena beban air hujan dan setiap langkah memercikkan lumpur dingin ke kaki. Nafas mereka memecah malam dengan sangat cepat, pendek, dan gelisah.
Di balik semak, Sofia menghentikan langkah. Ia menoleh ke belakang, gudang telah berubah menjadi tiang api. Di sekitarnya, beberapa rumah mulai runtuh. Namun cahaya itu justru membuat hutan di depan mereka tampak lebih gelap, lebih pekat oleh asap yang membumbung tinggi.
“Arah kita ke kanan... ke arah aliran air kecil tadi,” ucap Nicholle, meski bahunya masih berdarah.
Maula meremas tangannya, memberi isyarat agar semua bergerak. Mereka melanjutkan lari sebisa mungkin, menjauh dari lokasi itu.
Di belakang, lolongan kemarahan mulai terdengar, bukan lagi suara manusia, tapi gabungan antara babi hutan yang terluka dan manusia yang gila akan darah.
“Bunyi apa itu?” bisik Reba.
“Anjing pemburu,” sahut Anna dengan gemetar. “Mereka melepas anjing yang kemungkinan mengejar kita.”
Jerit teriakan dari jauh mengoyak udara, bukan jeritan korban, tapi pekikan perintah. Pexir dan para penduduk telah menyebar. Suara peluit tajam terdengar bersahut-sahutan. Hutan menjadi medan perburuan malam ini dan jelas para penduduk itu sangat handal karena ini daerah mereka.
Maula menyuruh mereka bersembunyi sejenak di balik batang pohon beringin yang besar. Nafas masih memburu. Nicholle merobek lengan bajunya, membalut lukanya sebisa mungkin. Tapi darah tetap menetes ke tanah.
Maula merasa perutnya begitu sakit, sedari tadi dia berlari. Maula merebahkan diri dengan posisi miring ke kiri, rasanya begitu sesak. Lagi-lagi, Anna menatap Maula dengan tatapan yang sulit diartikan.
Maula menangis, air matanya turun perlahan mengingat wajah suaminya.
“Entah aku akan hidup atau tidak, entah aku bisa bertemu kamu lagi atau tidak, Rayden.” Maula terisak dan teman-temannya yang lain memahami kondisi Maula.
Sofia mendekat dan mengusap lembut punggung Maula.
“Kita akan pulang dalam keadaan hidup, di tempat ini, kita harus belajar bertahan tanpa mengeluh lagi.” Maula mengangguk dengan ucapan Sofia.
Yang lain ikut mendekat lalu mereka duduk bersama, bersembunyi di balik pepohonan besar.
“Tidurlah, Maula. Kamu dan bayimu butuh istirahat, kasian dia,” tutur Violy yang juga ikut mengusap punggung Maula.
Maula perlahan memejamkan mata, dia tidur diawasi oleh kelima temannya. Sofia menoleh pada Nicholle.
“Bau darahmu bisa mereka cium,” ucap Sofia panik.
Nicholle menggertakkan gigi. “Aku tahu.”
Mereka tak sempat berdiskusi. Suara gemeretak ranting patah di sebelah kiri membuat Maula segera menengok. Dia langsung mengambil ancang-ancang untuk duduk dan berlari jika itu mengancam.
Sepasang mata berkilat muncul dari balik semak. Seekor anjing besar dengan bulu kusut dan liur menetes dari rahangnya muncul pelan-pelan, membaui tanah, lalu mendongak...
Menggeram.
“Mundur perlahan,” bisik Maula. Tapi Reba, dalam panik, justru terpeleset dan jatuh—bunyi gedebuk kecil yang membuat anjing itu melompat.
Maula tak berpikir panjang. Ia menarik pisau scalpel dari saku baju, menunggu hingga anjing itu hampir menerkam, lalu menyayat bagian tenggorokannya dengan gerakan menyilang. Darah anjing menyembur, menciprat ke wajahnya.
Binatang itu meringkuk, berputar-putar lalu diam.
Namun suara itu telah mengundang perhatian lebih. Tak jauh dari sana, sorot obor berayun di antara pepohonan, dan suara langkah kaki mulai berlari ke arah mereka.
“Kita harus pisah!” teriak Maula. “Kita akan jadi target kalau tetap satu jalur!”
Nicholle menahan Maula. “Kau gila?! Kita bisa mati kalau sendirian!”
“Kalau bersama, kita semua pasti mati!” balas Maula.
Ada jeda sunyi yang lebih keras dari petir. Lalu, satu per satu mereka memilih arah.
Anna dan Reba ke barat, melewati jalur akar-akar besar. Sofia dan Maula ke utara mengikuti arah suara air. Nicholle dan Violy tetap ke timur, ke arah yang belum mereka jelajahi menuju area yang belum mereka petakan.
...***...
Di kampung yang telah terbakar sebagian, Pexir menatap kobaran api seperti orang kesurupan. Namun tatapannya segera berpindah ke salah satu rumah kecil yang tampak masih utuh. Ia membuka pintu pelan.
Di dalam, sekelompok anak kecil duduk diam. Mereka semua tak bersuara. Salah satunya menangis dalam diam, tanpa air mata. Di depan mereka, seorang wanita muda dengan kulit yang nyaris transparan dan mata kelabu menatap Pexir.
“Api membawa mereka keluar dari jalur. Tapi malam akan menelan mereka kembali,” ucap perempuan itu dengan suara lirih. “Yang bertahan akan kembali. Yang tak kuat akan tinggal selamanya.”
Pexir menunduk. “Beri aku waktu. Aku akan bawa mereka semua. Dalam karung. Satu-satu.”
...***...
Violy dan Nicholle tersandung akar di tengah hutan. Langkah mereka melambat. Darah Nicholle menghitam di kain pembalut luka, dan hujan mulai reda.
“Lihat itu,” bisik Violy sambil menunjuk ke kejauhan.
Sebuah gubuk kayu tua berdiri setengah roboh, dibalut lumut dan jelaga, di tengah rawa dangkal. Ada suara lembut dari dalamnya, suara yang tak seharusnya ada di hutan. Musik kotak dari musik kecil, bergema lirih dan menghantui.
Mereka mendekat perlahan, Violy mendahului dengan pisau teracung yang juga dia ambil dari rumah Pexir tadi. Tangannya masih bergetar. Di dalam, seorang lelaki tua duduk di kursi goyang, matanya kosong, tapi bibirnya bergerak seperti membaca doa.
Di sebelahnya, tergantung di langit-langit, peta dari kulit manusia. Lengkap dengan tato, bekas luka, dan bahkan helai rambut. Violy mundur setengah langkah.
“Kita pergi, ini bukan tempat yang tepat.” Mereka berdua langsung pergi dengan langkah yang dibuat sepelan mungkin.
Di sisi lain, Maula dan Sofia terus berjalan mencari lokasi yang aman. Mereka melihat sebuah rumah kecil, sangat kecil, bisa dibilang sebuah pondok namun sangat kokoh. Mereka berjalan ke sana perlahan, Maula sendiri sudah tidak kuat menahan sakit dan ngilu di perutnya.
Sofia memeriksa rumah tersebut dan ternyata kosong. Mereka masuk, Sofia melihat ada pincuran kecil di belakang pondok itu. Sofia kembali menutup pintu belakang dan meminta Maula untuk duduk dulu, dia mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk alas tidur.
Di dalamnya ada lemari kayu tua, rumah itu tampak sudah lama ditinggalkan.
Sofia membuka pintu lemari yang telah berdebu tebal dan menemukan beberapa pakaian dan selimut tebal serta bantal dan kasur busa tipis.
Dia mengeluarkan semua itu dan bagusnya lagi, semua itu terbungkus rapi dengan plastik, jadi tidak berdebu sama sekali.
Sofia membentangkan kasur busa yang cukup untuk mereka berdua lalu mengambil beberapa baju di dalam lemari.
“Mendingan kita bebersih dulu, Mau. Biar bau darah yang menempel di wajah kamu tidak kecium oleh mereka,” saran Sofia yang dituruti oleh Maula.
Mereka berdua secara bergantian mandi di pincuran belakang pondok dan mengganti pakaian dengan yang baru. Pakaian itu sangat pas dan cocok di tubuh mereka. Sofia mengambil kain tipis segi empat dan dia jadikan hijab. Sedangkan baju mereka di basuh lalu dijemur untuk dipakai besok kalau sudah kering.
Malam itu, mereka berdua tidur dengan nyaman di dalam pondok, membiarkan dunia luar berkecamuk karena jujur saja, mereka benar-benar lelah, terlebih Maula yang berkecamuk dengan rasa sakit di perutnya. Sofia membungkus tubuh Maula dengan selimut tebal, begitu juga dengan dirinya.
Sambil memejamkan mata, Sofia terus mengusap punggung Maula hingga Maula tertidur pulas, barulah dia tidur juga.
“Rayden, istrimu seakan kehilangan semangat saat ini, wajahnya lelah dan hatinya terus tertuju padamu. Semoga Allah menjaga kami semua di sini dan bisa pulang dengan selamat,” harap Sofia sebelum dia masuk ke alam mimpi.
...•••Bersambung•••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Yasmin Janeb
Sofia ini orgnya lembut dan sangat penyayang ya, beruntun banget Maula bisa kenal dia
2025-06-16
0
Yuri Gunawan
Sofia ini baik banget sama maula, harus selamat pokoknya dia
2025-06-16
0
Surhej
surga utkmu Sofia, baik bnget, puji tuhan 🥲
2025-06-16
0