...•••Selamat Membaca•••...
Maula membuka matanya perlahan. Cahaya putih pucat menyusup lewat sela-sela dahan pohon tinggi di atasnya. Daun-daun bergoyang pelan ditiup angin, menimbulkan suara gemerisik yang tidak dikenalnya.
Tanah di bawah tubuhnya lembap dan dingin. Ada bau kayu basah dan debu yang mengendap terlalu lama. Ia mencoba duduk dengan punggungnya yang terasa pegal, dan kepalanya berat. Seolah baru bangun dari tidur yang terlalu panjang.
Di sekelilingnya, beberapa temannya mulai bergerak. Ada yang mengerang pelan, ada yang masih tak sadarkan diri.
“Ini… di mana?” suara Maula lirih, nyaris tak terdengar.
Tak ada yang menjawab langsung. Hanya suara burung asing di kejauhan, dan gesekan semak yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia mengenali wajah-wajah di sekitarnya, teman-teman seangkatannya di fakultas kedokteran beserta dua dosen pembimbing. Awalnya mahasiswa hanya dua belas orang namun bertambah lima orang dan satu sopir bus. Dua puluh orang, termasuk dirinya, yang terakhir kali ia ingat, sedang dalam perjalanan menuju kegiatan sosial luar kampus.
Tapi ini bukan lokasi kegiatan. Tidak ada bangunan atau tanda-tanda pemukiman. Tidak ada jalan setapak. Hanya hutan yang lebat, sunyi, dan tak dikenali.
“Kenapa kita bisa di sini?” tanya Carlo, suara seraknya pecah di tengah keheningan.
Tak ada yang tahu jawabannya. Mereka semua saling berpandangan, menunggu satu sama lain menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak bisa mereka mengerti.
Di kejauhan, suara gemericik air terdengar samar, seperti aliran sungai kecil. Tapi selain itu, semuanya terlalu tenang dan sepi.
Maula berdiri perlahan. Ada rasa tak nyaman di dadanya. Bukan hanya karena tempat ini asing. Tapi karena ada sesuatu dalam diam hutan ini yang terasa tidak wajar.
“Lebih baik kita cari bantuan atau apa, jelas kita sengaja dibawa ke sini,” ujar Jorge, dokter pendamping mereka.
“Kamu baik-baik aja kan, Mau?” tanya Sofia karena Maula dari tadi sedikit meringis memegangi perutnya.
“Ya aku baik, Sof.”
Rombongan itu terus berjalan menelusuri hutan, seingat mereka, saat di bus tiba-tiba asap muncul dan membuat mereka semua tak sadarkan diri. Tiba-tiba terbangun dalam kondisi seperti ini di tempat yang sama sekali tidak mereka ketahui.
Maula langsung terpikir akan suaminya, Rayden. Timbul rasa rindu luar biasa pada Rayden saat ini, ketika lelah berjalan, mereka semua beristirahat dan Maula pamit untuk buang air kecil sendiri.
Maula menangis tanpa diketahui oleh siapa pun. Rasa takut kini menjalar di hatinya, mengingat bahwa dirinya tidak aman sekarang. Waktu lima hari yang dia inginkan berubah menjadi waktu yang tidak tentu.
“Ray. Aku mau pulang,” isak Maula sambil memeluk kedua lututnya.
Selesai istirahat, semua berjalan kembali hingga menemukan pemukiman warga. Terdengar helaan napas lega dari mereka semua karena memiliki harapan untuk bisa pulang lagi.
Kaki-kaki lelah itu terus melangkah memasuki desa, mereka semua berharap bahwa penduduk akan membantu mereka untuk kembali pulang.
Kedatangan dua puluh orang ini jelas disambut hangat oleh para penduduk, tak ada yang mencurigakan dari mereka semua hanya saja rata-raga penduduk di sana berkulit hitam dan memiliki tatapan begitu tajam.
Pakaian mereka bisa dibilang sudah modern dan rumah yang mereka huni juga terbilang cukup bagus dan dari batu pula. Hanya saja di sana tidak memiliki aliran listrik sehingga mereka semua menerangi rumah menggunakan lampu dari obor.
Desa itu tampak telah lama dihuni dan bangunan di sana juga tampak sudah lama, rumah penduduk di kelilingi oleh dinding tinggi sehingga bisa dikatakan bahwa pemukiman mereka berada dalam satu area yang dibatasi tembok tinggi.
Untuk masuk ke sana harus melalui gerbang utama dengan pagar besi yang menjulang sangat tinggi.
Desa itu seperti sebuah kota yang terbengkalai lalu dihuni ulang oleh para penduduk.
“Permisi, kami tersesat ke sini dan butuh bantuan,” ujar Jorge dengan sopan menggunakan bahasa Spanyol yang fasih pada salah seorang ibu-ibu.
“Mari ikut saya.” Mereka merasa kembali aman karena penduduk sana juga berbahasa Spanyol. Yang mana berarti mereka masih ada di Spanyol, bukan di hutan luar Spanyol.
Ibu itu membawa mereka ke sebuah rumah batu yang mana penghuninya seorang pria paruh baya, kisaran usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Dengan sopan, mereka semua membuka alas kaki dan masuk ke rumah pria tersebut.
“Dia kepala desa di sini, kalian bisa bicara dengannya,” ujar si ibu pada Jorge.
“Terima kasih.”
Mereka semua masuk dan duduk berhadapan dengan pria tua yang diketahui namanya adalah Pexir.
Maula menatap aneh isi rumah Pexir ini, tak ada barang-barang berharga atau perabotan, hanya rumah kosong yang seperti dihuni begitu saja.
Jorge menceritakan kondisi mereka dan Pexir memahami.
“Tidurlah malam ini di sini, besok kami akan mengantarkan kalian keluar dari desa ini menuju ke kota.” Mereka semua tersenyum lega mendengar omongan Pexir lalu mereka dituntun untuk istirahat di sebuah ruangan lapang, di sana hanya ada tikar biasa.
“Hanya ini yang saya punya, silakan istirahat,” kata Pexir dengan nada dingin dan tegas.
Mereka semua saling menenangkan diri, berharap besok bisa pulang ke rumah masing-masing. Mereka belum sadar bahwa desa yang mereka kunjungi berisi psikopat kanibal.
Semua warga tampak menyambut dengan ramah karena mereka merasa memiliki makanan lezat yang akan dihidangkan malam ini.
Semua tertidur karena lelah, kecuali Maula yang hanya bisa meringkuk menahan dingin sambil mengingat suaminya.
“Ray, aku di sini. Kamu sedang apa?” lirih Maula sambil sesekali sesegukan pelan.
Maula memejamkan matanya, baru lima menit tidur, dia terusik dengan sebuah suara teriakan teredam. Maula bisa mendengar karena dia tidur di dekat pintu bersama Sofia dan Reba.
Maula melihat rombongannya tertidur pulas tapi sang sopir bus tidak ada. Maula kembali mendengar suara aneh lalu mencoba mengintip keluar ruangan. Kosong. Tak ada apapun.
Maula membuka pintu perlahan dan melihat kondisi rumah tersebut, benar-benar seperti rumah terbengkalai yang dihuni ulang tapi tidak direnovasi atau dkrawat dengan baik. Mereka saat ini berada di lantai dua.
Maula terus melihat-lihat dan mengikuti sumber suara yang tadi sedikit mengganggunya. Itu berasal dari kamar di seberang ruangan mereka istirahat.
Langkah terus membawanya ke kamar itu dan perlahan mengintip di celah pintu yang tidak tertutup rapat.
Maula membulatkan matanya saat melihat tubuh sang sopir digerogoti oleh Pexir dengan lima orang lainnya. Mereka memegang pisau masing-masing dan menyayat tubuh sopir yang gemuk sedikit demi sedikit.
Parahnya, sopir itu masih hidup dan dia menangis sambil merintih kesakitan ketika pisau terus menyayat tubuhnya.
Mulut sopir itu dibekap dan tangan kakinya diikat lalu ditidurkan di lantai. Mereka semua memakan daging sopir itu.
Maula merasa sangat mual menyaksikannya. Dia langsung kembali ke ruangan istirahat dengan kondisi menggigil parah. Teman-temannya belum ada yang bangun, dia terlalu takut untuk menyimpannya sendirian.
Masih terngiang di kepala Maula saat Pexir menyayat daging di paha si sopir lalu memakannya, mengunyah seolah-olah itu daging steak.
“Aku mau pulang. Raydeennn.” Maula merintih pilu dan tepat di markas Vindex, Rayden langsung terbangun setelah memimpikan istrinya yang meminta pertolongan.
Napas Rayden terengah karena mimpi yang sangat mengerikan mengenai Maula.
“Kamu di mana, Piccola? Aku benar-benar merindukanmu,” lirih Rayden sambil mengusap wajahnya.
...•••Bersambung•••...
...•••Selamat Membaca•••...
Maula duduk membatu di sudut ruangan, memeluk lutut, napasnya pendek-pendek. Peluh dingin membasahi pelipisnya, meski udara dalam rumah batu itu tetap lembap dan dingin.
Di sampingnya, Sofia masih tertidur, dan Reba menggeliat kecil tanpa sadar bahwa dunia mereka sudah mulai terbelah dua, antara hidup dan disembelih hidup-hidup.
Tangan Maula gemetar dengan pikiran yang kacau.
Bahkan lidahnya kelu untuk membangunkan teman-temannya. Bayangan tubuh sang sopir yang disayat perlahan itu seperti terukir di pelupuk mata. Bunyi daging disobek. Darah yang tidak menyembur liar, tapi mengalir tenang, seperti sungai kecil yang lambat karena mereka tahu titik-titik urat mana yang dipotong agar nyawa tak cepat habis.
Ia hanya bisa duduk dan menahan muntah. Karena isakan Maula yang tertahan begitu, Sofia dan Reba akhirnya terbangun lalu dengan wajah panik mendekati Maula.
“Kamu kenapa Mau? Ada yang sakit?” tanya Sofia dengan nada khawatir.
Maula semakin pucat dan lidahnya makin kelu, posisi mereka tidak aman sekarang.
“Bangunkan mereka semua, kita harus pergi dari sini, sekarang.” Maula berkata dengan nada berbisik pelan, Sofia dan Reba saling pandang.
“Ada —”
“Sshhtt.” Maula mengisyaratkan pada Reba agar menurunkan suaranya.
Reba membangunkan rombongannya, mereka semua bangun dan ikut panik melihat ekspresi Maula yang tengah ketakutan.
Maula menceritakan apa yang dia lihat di kamar seberang kamar mereka ini dan Jorge pergi sendiri untuk memeriksa kebenarannya.
Sekitar lima menit setelahnya, Jorge kembali dengan ekspresi tak jauh beda dengan Maula.
“Jika kita terus di sini, maka tak ada yang akan melihat matahari esok hari. Mereka menyiapkan kita untuk hidangan nanti malam.” Perkataan Jorge sukses membuat yang ada di ruangan itu teriak ketakutan.
Kondisi semakin panik dan tak terkendali.
“Jangan panik begini, kita semua bisa mati. Tenanglah, tolong tenang,” seru Maula agar semua bisa mengontrol diri.
Tak lama, suara langkah terdengar mendekat dari arah luar ruangan. Mereka bersiap menyambut dan wajah mereka dibuat tidak panik atas arahan Maula.
Pintu diketuk, Maula menghela napas dan mengontrol kondisi wajahnya. Membuka pintu lalu tersenyum saat seorang ibu-ibu berkulit putih dengan kedua anak laki-lakinya memberikan mereka senampan daging panggang yang telah dimasak sempurna dengan bumbu rempah yang menyengat.
“Kalian pasti sangat lapar kan? Makanlah, untuk memulihkan tenaga.” Ibu itu berkata dengan tenang lalu mengulurkan nampan pada Maula.
Dengan tangan sedikit gemetar, Maula menerima makanan itu.
“Ini daging apa? Hmm... Soalnya saya sedikit alergi dengan daging sapi,” kata Maula dengan kebohongan, dia mengatakan itu agar tahu yang disuguhkan daging apa.
“Itu daging rusa, sangat enak, kalian tidak akan menemukannya di kota. Makanlah.” Ibu itu menjawab dengan tenang dan senyum ramah, lalu dia membawa kedua anaknya pergi, Maula menutup pintu dan menguncinya dengan palang besi.
Semua makin ketakutan, hidangan itu ditaruh tepat di tengah ruangan.
Jorge memeriksa makanan itu dan jelas bukan daging rusa seperti yang dikatakan oleh ibu tadi.
“Tekstur daging rusa bukan seperti ini,” ujarnya mantap.
“Ini daging manusia, aku cukup mengenali tekstur daging manusia.” Mereka semua makin mual mendengar jawaban Jorge.
“Kita harus pergi dari sini, mereka bukan orang bodoh, jadi kita harus mengambil strategi agar bisa kabur.” Semua mendengarkan apa yang Maula ucapkan.
“Bagaimana? Untuk masuk ke sini saja kita harus melewati tembok itu,” sanggah Violy.
“Kita harus keluar satu-satu, jangan terburu-buru dan harus ada yang menjadi pengalih mereka. Kita buat dua kelompok, satu mengalihkan perhatian mereka dan satu lagi kabur. Nanti yang kabur harus membuat kegaduhan agar mereka mencar mencari kalian dan saat itu kelompok kedua akan melarikan diri juga.” Mereka semua mengangguk, menyetujui ide dari Maula.
Sambil menunggu malam datang, mereka tidak bergeming sama sekali dari ruangan itu, nampan yang berisi daging tak tersentuh sama sekali. Semua saling berpelukan, menguatkan satu sama lain.
Hingga malam menjelang, mereka semua dibawa oleh Pexir ke tengah desa untuk diperkenalkan kepada penduduk yang lain. Kelompok pertama yang berisi sepuluh orang sudah siap untuk kabur, sedangkan kelompok kedua memancing perhatian agar lengah dan memberi akses kepada kelompok pertama keluar dan Maula ada di kelompok kedua bersama dengan Reba, Sofia, dan Jorge.
Cukup ramai penduduk di desa itu, mereka terlihat campuran, ada yang kulit hitam dan kulit putih. Dari penampilan terlihat lumayan tapi dari segi kebersihan dan bentukan wajah serta kulit, menjelaskan bahwa mereka tidak terawat sama sekali.
“Aku sangat yakin, kalau pakaian mereka ini pasti dari orang-orang yang pernah masuk ke desa ini,” bisik Reba pada Maula.
“Aku juga berpikir seperti itu.”
Pexir menyalakan api unggun di tengah-tengah lalu mereka semua bersorak, menari, dan berbahagia. Kelompok kedua ini ikut agar tidak dicurigai.
Kelompok pertama berhasil melewati gerbang utama dan mereka mulai. Kehebohan dan teriakan membuat penduduk di sana waspada, alih-alih mengejar kelompok pertama, mereka justru mengayunkan kapak pada Jorge, Carlo, dan Tamara. Semua panik, Sofia, Reba, Ivoly, Nicholle, Anna, dan Maula langsung berlari menjauhi kumpulan itu.
Api unggun membumbung tinggi, sebagian dari mereka mengejar Maula dan teman-temannya. Mereka lari ke arah hutan dan menanjaki bukit yang tidak terlalu tinggi.
Napas terengah, Maula tidak kuat untuk lari lagi dan mereka bersembunyi di puncak bukit, tak ada yang mengejar lagi dari atas sana jelas terlihat perkumpulan tadi. Mereka bisa menyaksikan apa yang dilakukan penduduk desa pada Tamara, Carlo, dan Jorge.
Tak ada yang bisa membendung air mata, mereka semua ketakutan dan menangis tanpa suara, bersembunyi di balik pohon besar sambil terus menatap ke arah api unggun.
Jorge terkena luka di bagian dadanya, Tamara di bagian kepala, dan Carlo di bagian lengan. Mereka bertiga diikat ke tiang yang sudah tersedia di sana.
Tak ada yang bisa melawan, kondisi mereka kalah telak dari psikopat liar itu.
Pexir memegang sebuah kapak tajam yang besar, dia mendekati Tamara lebih dulu dan mengendus tubuh Tamara yang bergelimang darah dari kepalanya.
Pexir menjilati darah yang mengalir di leher Tamara, dia memberi isyarat pada kawanannya bahwa darah Tamara sangat lezat. Semua penduduk baik laki-laki maupun wanita menyerbu tubuh Tamara dan menjilati darahnya.
Mereka merobek baju yang dikenakan oleh Tamara dan mulai menggigit, mengoyak, bahkan menghisap darahnya.
Jorge dan Carlo tak kuat melihat itu, teriakan Tamara bahkan sampai menggema ke bukti tempat Maula dan yang lain bersembunyi.
Tamara bagai sebuah umpan yang digerogoti oleh beberapa kanibal itu. Mereka benar-benar menikmati tubuh Tamara sebagai santapan paling enak malam ini.
Gigi-gigi mereka yang kecil-kecil tapi tajam, membuat daging di tubuh Tamara mudah tergigit dan koyak.
...•••Bersambung•••...
...•••Selamat Membaca•••...
Jeritan Tamara menggesek langit malam seperti besi karat yang diseret di atas batu. Gelombang suara itu menggema melewati lembah, menikam telinga Maula dan kawan-kawan yang bersembunyi di punggung bukit. Bau lemak terbakar dan darah anyir diseret angin lembap, menusuk hidung hingga memaksa perut mereka mengejang.
Di bawah sana, Pexir mengangkat kapak tinggi-tinggi. Bilah logamnya memantulkan cahaya api unggun, menorehkan kilatan merah tembaga di wajahnya yang dipenuhi jelaga. Satu tebasan mantap.
—krek!—
Membelah lengan Tamara di sendi bahu. Darah memancar pelan, lengket dan gelap, menetes ke tanah yang berdebu.
Penduduk desa bergegas menyongsong potongan daging segar itu, menggigitnya bergantian, seakan antre di meja prasmanan untuk menikmati hidangan makan malam.
Daging dari tangan itu dikunyah perlahan, serat-seratnya putus di antara geraham cokelat kehitaman mereka semua, lalu ditelan bersama erangan puas yang parau.
Jorge menjerit, bukan karena luka di dadanya, melainkan karena menyaksikan horor yang tak bisa ia tolak.
Satu penduduk, seorang perempuan tua dengan gigi ompong—menjejalkan tangan ke luka Jorge dan membuat luka itu semakin lebar dan terbuka, pekikan dan jeritan Jorge menggema yang membuat kelompok pertama hingga kelompok Maula di atas bukit mendengarnya.
Perempuan itu meraba bagian tulang rusuk yang patah sembari tertawa cekikikan, seolah mencari permata di dalam kubangan lumpur.
Dari atas bukit, Maula menggenggam batu hingga jemarinya memutih. Air mata Reba jatuh tanpa suara, bergulir di pipi lalu menghilang di kerah kemeja yang kini lembap oleh keringat dingin.
Entah kenapa, Anna menatap Maula dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Ada sesuatu yang ingin dia utarakan namun dia tahan sebisa mungkin karena rasa takut semakin menggerogoti hatinya.
Carlo, yang masih terikat, berusaha menendang siapa pun yang mendekat. Usaha itu justru membuat kapak Pexir berayun lagi dan tepat mengenai lututnya.
Plak!
Persendian Carlo langsung retak, tulang menembus kulit. Carlo meraung, namun raungan itu cepat tercekik ketika salah satu kanibal memasukkan gagang sendok kayu ke dalam mulutnya dan menahan mulut itu agar tetap terbuka.
Mereka menguliti betis Carlo perlahan, potongan demi potongan, seakan mengiris paduan keju keras. Darah menetes deras, memercik ke tanah dan tercampur abu api unggun, membentuk lumpur kehitaman yang kental.
Tamara masih bernapas namun sudah sangat sekarat, Jorge bisa melihat perlahan kematian Tamara ketika tubuhnya yang tanpa lengan sudah digerogoti oleh para kanibal itu.
Di sisi lain, Carlo juga sama menyedihkannya. Betisnya di kunyah bagai memakan sebuah sup daging. Carlo tak bisa berteriak karena mulutnya tertancap sendok kayu.
Sendok itu membuat mulutnya terbuka lebar. Pexir dan tiga laki-laki lain, menggendong tubuh Carlo ke dekat api unggun lalu menancapkannya ke sebuah tiang besi yang sangat runcing dan tajam.
Carlo ditancapkan ke sana melalui bagian belakangnya hingga tembus ke kepala. Carlo menggelepar bagai ayam yang baru disembelih lalu perlahan diam, menandakan bahwa dia sudah tak selamat menyusul Tamara.
Jorge menangis melihat hal tersebut.
Mereka memutar tubuh Carlo seperti sebuah daging untuk kebab, dan bagian yang masak terkena api, akan mereka iris lalu makan.
...***...
Di puncak bukit, Sofia membenamkan wajah ke bahu Nicholle, menahan isak. Sementara itu Maula meraih ranting kering, menggambar cepat di tanah.
Sketsa denah desa mulai dari gerbang, gudang kayu, menara lonceng kecil yang menjulang di tenggara. Suaranya serak, tetapi tegas.
“Gudang itu,” bisiknya, menunjuk tanda silang. “Aku lihat barel-barel minyak jelantah di dekatnya tadi sore. Kalau kita menyalakannya, api akan menarik perhatian dan membakar sebagian desa.”
“Maksud kamu, kita akan ke gudang itu dan melewati mereka?” tanya Anna dengan nada takut.
“Iya. Tidak ada pilihan lain atau kita akan terkurung di bukit ini selamanya,” sahut Maula.
“Ide bagus, tapi siapa yang ke sana?” Sofia menahan napas, matanya sembab.
“Kelompok kita akan terbelah lagi,” jawab Maula pelan. “Dua orang turun, ciprati minyak ke dinding gudang, sulut api, lalu mundur ke perbukitan barat. Sisa orang tetap mengawasi dari sini, kalau mereka terpancing, kita turun memotong jalan ke gerbang selatan.”
Reba menggeleng panik. “Kita sudah enam orang saja—”
“Dan besok mungkin tinggal tiga kalau kita masih di bukit ini,” potong Maula. “Kita tak punya pilihan.”
Diam yang berat mengendap di antara mereka. Hanya helaan napas dan detak jantung yang terdengar. Akhirnya Nicholle mengangkat tangan, meski tubuhnya gemetar. “Aku ikut kau, Mau.”
Sebuah keberanian sunyi berpindah lewat tatapan mereka. Maula mengangguk sekali, sangat mantap. Ia menyelipkan scalpel lipat kecil—hasil selundupan dari rumah Pexir—ke saku rok ana-esthesia.
Pisau mungil itu tampak rapuh dibanding kapak di tangan Pexir, tapi tajamnya mencintai nadi seakan pisau jatuh cinta pada sutra.
...***...
Di bawah, pesta memuncak. Tamara kini hanya torso berlumur darah; suara erangnya telah hilang, bersama nyawanya.
Jorge masih mengerang, napas sesak, tetapi detik-detik berikutnya bibirnya terkatup karena kanibal menusukkan lidi bambu ke pangkal tenggorok, menghentikan suara selamanya.
Pexir, seolah maestro orkestra maut, mengangkat jantung Jorge yang baru dicungkil, memamerkannya seperti trofi bercahaya di ujung pergelangan.
Penduduk bersorak, lantas menancapkan jantung itu di batang kayu, menunggu hingga tetes-tetes darah terakhir jatuh sebagai hujan merah yang sakral di antara tarian liar mereka.
Api unggun berkobar lebih tinggi; percikan bara beterbangan, ditiup angin seperti kunang-kunang neraka. Bayangan bergerigi menari-nari di dinding batu rumah-rumah, memantul di genangan darah yang meresap ke tanah liat.
Maula dan Nicholle merayap menuruni bukit, memanfaatkan semak berduri sebagai tirai. Hujan gerimis tiba-tiba turun, membuat tanah licin, menutup suara langkah mereka. Di kejauhan, lampu lentera berayun di tangan penjaga gerbang. Maula menelan ludah, menggenggam scalpel dengan erat. Entah darimana Pexir mendapatkan alat itu, Maula tak peduli.
Setiba di gudang, bau tengik minyak jelantah menampar wajah. Nicholle membuka pintu perlahan mengeluarkan bunyi decit lirih. Barisan drum logam berbaris gelap, penuh cairan kental.
Mereka membuka salah satunya, menciduk pakai kaleng sebelah. Perlahan, mereka menyiram dinding kayu. Tetesan minyak membasahi papan, mengilap yang diguyur gerimis.
“Satu percikan saja, cukup,” bisik Nicholle.
Maula mengeluarkan korek berbatu, jenis sumbu lama. Tangan gemetar, ia memutar roda logam—klik, klik. Percikan menyalakan sumbu; api kecil menari. Hujan tipis tak sanggup mematikannya. Ia menatap Nicholle, lalu meletakkan sumbu ke dinding berlumuran minyak. Api menyebar cepat, merambat seperti akar neraka. Mereka mundur, berlari membungkuk menjauhi gudang.
Detik ke tiga puluh, kobaran pertama meledak, mengirim bola api oranye ke langit malam. Dentuman membelah udara.
Penduduk desa berhamburan, beberapa meninggalkan api unggun dan korban mereka, berteriak panik. Pexir meraung, memerintahkan pengejaran, wajahnya terbasuh cahaya merah menyala dari dua titik yaitu api unggun di barat dan gudang terbakar di timur.
Maula dan Nicholle mengambil kesempatan itu, menelusup di balik pagar kayu yang kini tak terjaga. Dari bukit, Sofia, Reba, dan dua lainnya melihat sinyal kobaran api, mereka bersiap menuruni sisi lain, menuju gerbang selatan.
Namun satu hal meleset, angin berubah. Lidah api dari gudang melompat ke tumpukan jerami, lalu menjilat rumah terdekat. Seluruh desa perlahan jadi labirin api, menerangi malam seolah siang berdarah.
...***...
Maula dan Nicholle berlari memutari pagar. Mereka hampir mencapai gerbang kala bayangan besar meloncat, penjaga bertopeng kulit manusia membuat mereka semua kaget.
Kapaknya terangkat dan langsung menyambar. Nicholle melompat mundur, tapi mata pisau menyayat bahunya. Ia terhuyung, darah hangat mengucur.
Maula menyergap dari samping, scalpel mungilnya menyisik tulang kering penjaga dengan sayatan tipis tapi dalam. Penjaga menjerit, kakinya goyah.
Nicholle, menahan sakit, menubrukkan tubuhnya, menjatuhkan penjaga ke tanah berlumpur. Maula menusuk pangkal leher, sekali, dua kali hingga darah hitam memancar deras. Tubuh penjaga berhenti bergerak, mata kosong menatap langit yang mulai merah.
Nafas terengah, mereka menerobos gerbang. Di belakang, gemuruh api dan pekik haus daging berbaur lalu memudar bersamaan langkah mereka yang menjauh ke hutan pekat.
Hujan turun lebih deras, membasuh darah di tangan Maula tapi tak sanggup mencuci ingatan yang baru saja terukir. Di depannya, malam masih panjang, hutan masih lebat, dan jalan pulang belum tentu ada, namun nyawa yang tersisa menggumpal di dada setiap orang yang berhasil lolos malam ini.
“Mereka bertiga sudah tidak selamat,” seru Anna dengan tangisan pilunya.
...•••Bersambung•••...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!