SELAMAT MEMBACA
note: Nama dan tempat hanya karangan
Mentari pagi menyinari Desa Mekar Asri, embun masih menempel di daun-daun padi yang menghijau. Aisyah Saffiyah Zahra, gadis berusia enam belas tahun dengan paras cantik dan kecerdasan yang memikat, melangkah ringan menuju sawah. Di tangannya, sebuah bakul anyaman sederhana berisi bekal untuk ayahnya: nasi putih hangat dan tumis kangkung. Rambutnya yang hitam panjang diikat rapi, menampakkan wajahnya yang bersih dan polos. Ia tersenyum, menikmati kesegaran pagi dan keindahan alam sekitarnya.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Zulaikha, bibinya sendiri, muncul dari balik sebatang pohon mangga tua. Zulaikha, dengan pakaiannya yang mewah dan perhiasan yang mencolok, menatap Aisyah dengan pandangan meremehkan.
" Heh Aisyah," sapa Zulaikha, suaranya terdengar sinis. "Apa yang kau bawa itu?"
Aisyah menunduk sedikit, lalu mengangkat bakulnya. "Ini bekal untuk Ayah, Bi. Nasi dan tumis kangkung."
Zulaikha tertawa mengejek, suaranya nyaring dan menusuk. "Hahaha Hanya itu? Nasi dan kangkung? Ck ck, Pantas aja kalian sangat kurus! Makanan saja tidak bergizi. Lihatlah keluarga ku, makananku selalu berlimpah, daging, ikan, sayur mayur impor! Itulah sebabnya keluarga kami selalu sehat dan cantik." Ia menyisir rambutnya dengan jemari lentik, menatap pantulan dirinya di permukaan sawah yang tenang.
Aisyah merasakan sesak di dadanya. Hinaan itu menusuk hatinya, namun ia berusaha tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Alhamdulillah, Bibi," jawab Aisyah dengan suara lembut, namun tegas. "Kami bersyukur atas apa yang Allah berikan. Rezeki kami mungkin sederhana, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan kami."
"Halah sok suci kau!" Zulaikha semakin kesal. "Jangan berlagak seolah-olah lebih baik dariku hanya karena kau bersyukur aisyah! Kau tahu, kesuksesan dan kekayaan adalah bukti keberhasilan hidup seseorang. Bersyukur dengan perut kosong? Itu hanya omong kosong cih!"
"Bibi," sahut Aisyah, suaranya mulai bergetar sedikit, "kesuksesan dan kekayaan memang penting, tetapi kebahagiaan sejati bukan hanya diukur dari itu. Kami mungkin tidak kaya, tetapi kami hidup dengan damai dan saling menyayangi. Ayah bekerja keras untuk keluarga kami, dan kami selalu bersyukur atas setiap tetes keringat yang ia keluarkan."
Zulaikha mendengus. "Alahhh Omong kosong! Kau terlalu naif, Aisyah. Dunia ini keras, kau harus berjuang untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan hanya bergantung pada 'rezeki' yang kau sebut-sebut itu!"
"Tapi Bibi," Aisyah membela diri, "bukan berarti kita harus melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa syukur. Kekayaan tanpa kebaikan hati hanyalah kesia-siaan saja bi."
"Cukup!" potong Zulaikha, wajahnya memerah menahan amarah. "Kau tidak akan pernah mengerti! Pergilah! Jangan ganggu aku lagi!" Ia berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Aisyah yang masih berdiri di sana, merasakan campuran rasa sakit dan kesedihan.
Namun, Aisyah segera menghapus air matanya. Ia kembali tersenyum, mengingat pesan ayahnya: "Keteguhan hati lebih berharga daripada harta benda." Ia melanjutkan langkahnya menuju sawah
"Huft sabar aisyah allah memberikan cobaan pada umat-Nya karna ia tau bahwa umatNya mampu, mungkin setelah ini allah akan memberikan kebahagiaan yang besar" gumam aisyah
...****************...
Sesampainya di sawah, Aisyah melihat ayahnya, Ramlan Dzaki Ibrahim, terduduk lelah di sebuah pondok kecil. Ramlan, pria berusia 45 tahun dengan wajah yang penuh garis-garis keriput karena terik matahari dan kerja keras, tampak begitu lelah. Istrinya, Fatimah Amani Alya, telah tiada sejak Aisyah berusia 11 tahun, meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh di hati mereka berdua.
tap
tap
Aisyah menghampiri ayahnya dengan langkah cepat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi ayahnya. Ramlan menyambutnya dengan hangat, meskipun tangannya terlihat kasar dan penuh lumpur.
Aisyah membuka bakulnya, mengeluarkan nasi putih dan tumis kangkung. "Ayah, makan siang dulu," katanya lirih, suaranya sedikit bergetar. "Tapi Aku cuma masak kangkung aja, Ayah."
Ramlan tersenyum getir, mengelus lembut kepala Aisyah. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Maafkan Ayah, Sayang," bisiknya, suaranya serak. "Ayah belum bisa kasih kamu makanan enak. Ayah belum bisa kasih kamu kehidupan yang layak nak..." Suaranya tercekat, tangisnya mulai pecah.
Aisyah merasakan dadanya sesak. Ia tahu betapa berat beban yang dipikul ayahnya. Ia menahan air matanya agar tidak jatuh. "Ayah..." Aisyah memeluk ayahnya erat-erat, mencoba memberikan kekuatan yang mungkin bisa ia berikan.
"Jangan nangis, Yah," Aisyah berkata, suaranya bergetar. "Aisyah bersyukur kok, yah. Apapun keadaan kita aisyah nggak pernah nuntut hidup enak. Yang penting kita sehat dan selalu bersama." Ia berusaha tersenyum, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Ramlan semakin erat memeluk Aisyah. "Ayah bangga punya anak sebaik kamu, Sayang," katanya di sela-sela isak tangisnya. "Kamu anak yang kuat dan sabar."
Aisyah mengusap air mata ayahnya. "Setelah aku lulus sekolah, aku akan kerja, Yah. Aku akan bantu Ayah." Suaranya mantap, mencoba memberikan harapan di tengah kesedihan yang mendalam. "Kita akan melewati semuanya bersama-sama yah menuju kesuksesan." Ia tahu janjinya itu masih jauh, tapi itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia berikan untuk ayahnya saat ini, sebuah janji yang diiringi dengan air mata dan rasa cinta yang tak terhingga.
"Ya allah kuatkanlah hati dan raga aisyah dengan ayah, supaya ayah melihat keberhasilan yang akan datang untuk aisyah y allah.. "
Setelah makan siang dan membantu ayahnya memanen padi, sore harinya Aisyah dan Ramlan pulang ke rumah. Begitu sampai di depan rumah, mereka melihat Zulaikha dan Arkan, adik Ramlan, berdiri di sana. Arkan, dengan motor barunya yang mengkilap, tampak begitu gagah. Keduanya, orang kaya baru yang terkenal dengan kesombongan mereka, menatap Aisyah dan Ramlan dengan pandangan yang jelas-jelas meremehkan.
Arkan langsung menyahut begitu melihat Aisyah dan Ramlan. "Wah wah, masih jalan kaki aja mas? liat aku baru beli motor nih, biar nggak capek jalan kaki!" Ia tertawa mengejek, menunjukkan motornya dengan bangga.
Ramlan hanya tersenyum tipis. "Gapapa, Jalan kaki bikin sehat ar..," jawabnya tenang. Ia tak mau terpancing emosi oleh kesombongan adiknya.
Zulaikha langsung ikut nimbrung, suaranya nyaring dan menusuk. "Aisyah, kamu tuh berhenti sekolah aja! Merantau ke kota sana, kayak anak pertamaku! Cari uang, biar nggak miskin terus!"
Ramlan langsung membela Aisyah. "Aisyah akan tetap sekolah! mas pengen Aisyah kuliah, meski pakai beasiswa."
Zulaikha tertawa sinis. "Kamu ini mas, sok-sokan kuliah! Orang susah, sok mau kuliah! mimpi mulu!"
Aisyah menatap Zulaikha dengan tenang, suaranya lembut namun tegas. "Selama aku nggak pakai uang Bibi, nggak ada masalah, Bi. Aku akan berusaha keras untuk kuliah. Aku percaya, ada jalan untuk mencapai cita-citaku."
Arkan menyela, "Kuliah? Buat apa? Lebih baik kamu cari kerja jadi pembantu aja, dapat uang banyak!" Ia tertawa terbahak-bahak.
"Mas nggak mau Aisyah jadi pembantu," kata Ramlan, suaranya sedikit meninggi. "Aisyah berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Mas akan bekerja lebih keras lagi untuk mendukungnya."
Zulaikha mencemooh. "Kerja keras? Sampai kapan mas? sampai ayam jantan bertelur?Lihat kami, kaya raya, hidup enak! Kamu masih berkutat sama sawah aja cihh..!"
"Kekayaan bukan segalanya, Bi," sahut Aisyah. "Kebahagiaan itu lebih berharga daripada harta. Ayah dan aku bahagia dengan hidup sederhana kami. Nggak ada manusia yang mau hidup susah, maka dari itu kami berusaha dan berikhtiar bi. Untuk apa harta benda kalau lupa siapa yang memberi segalanya? "
"Halah sok bijak!" Zulaikha semakin kesal. "Kamu akan menyesal nanti kalau terus berpegang pada prinsip-prinsip kuno itu aisyah!" Ia berbalik dan pergi, Arkan mengikutinya dengan motor barunya yang menderu. Meninggalkan Ramlan dan Aisyah yang berdiri di depan rumah, merasakan campuran rasa sedih dan kesal. Sedih karena perlakuan Zulaikha dan Arkan padahal mereka keluarga.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah Zulaikha dan Arkan pergi, Aisyah duduk di beranda rumah bersama ayahnya. Ramlan menatap Aisyah dengan penuh harap.
"Nak, ayah mau bilang sesuatu." kata Ramlan lembut, "Ayah mau kamu kuliah setelah lulus SMA, ya. Meskipun harus pakai beasiswa, Ayah akan kerja lebih giat lagi untuk bantu kamu."
Aisyah menggeleng. "Ayah, aku nggak mau kuliah. Aku mau kerja aja. Buat Bantu Ayah."
Ramlan terlihat kecewa. "Sayang, ini mimpi Ibumu. Ibu ingin kamu kuliah nak, supaya mendapatkan pendidikan yang baik untuk masa depan kamu. ." Suaranya bergetar, kenangan tentang mendiang istrinya kembali menghantuinya.
Aisyah terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia mengerti keinginan ayahnya, dan juga keinginan ibunya yang telah tiada. "Baiklah, Yah," katanya pelan. "Aisyah akan berusaha cari beasiswa di kampus yang murah. Aku akan kuliah sambil kerja."
Ramlan awalnya menolak. "Nggak, Sayang. Fokus kuliah aja. Biar Ayah yang akan kerja keras."
Aisyah menggeleng lagi, tegas. "Nggak, Yah. Aku harus bantu Ayah. Aisyah ngga mau nyusahin ayah lagi. Aisyah akan cari beasiswa sambil kerja part time biar ayah nggak mikirin biaya kuliah disana. " Ia menatap ayahnya dengan penuh keyakinan, mencoba meyakinkan ayahnya bahwa ia mampu melakukan semuanya. Ia tak mau hanya bergantung pada ayahnya yang sudah begitu lelah bekerja keras. Ia ingin meringankan beban ayahnya, sekaligus mewujudkan mimpi ibunya.
Pagi-pagi sekali, sebelum fajar menyingsing, Aisyah sudah bangun. Ia menunaikan sholat subuh dengan khusyuk, lalu bergegas ke dapur. Ia merebus ubi, makanan sederhana namun mengenyangkan untuk sarapan ayahnya. Setelah semuanya siap, ia berangkat sekolah dengan sepeda bututnya yang setia menemani setiap harinya. Sepeda itu tampak usang, tapi tetap melaju dengan gagah menuju SMA Mekar Asri.
Sesampainya di sekolah, Aisyah melihat Caca Sekar Arum sudah menunggu di depan gerbang.
"Aisyah!" seru Caca, melambaikan tangan. "Pagi! sya"
"Pagi, Ca!" Aisyah tersenyum, memarkir sepedanya. "Kamu udah lama nunggu?"
"Baru aja kok," jawab Caca. "Eh, kamu bawa bekal lagi? Ubi rebus?"
Aisyah mengangguk. "Iya,sekalian buat Ayah tadi. Hari ini Ayah kerja keras lagi di sawah."
"Kasian banget Ayah kamu sya," kata Caca, ikut merasa iba. "Kamu kuat banget ya, bisa ngurus Ayah sambil sekolah."
"Nggak papa kok, Ca," Aisyah tersenyum. "Aku udah terbiasa. Lagian, Ayah selalu mendukung aku sekolah. Dia pengen aku kuliah."
"Iya, pasti Ayahmu pengen kamu kuliah. Hebat banget Ayah kamu sya dukung apapun mau putrinya!" Caca mengagumi keteguhan hati ayah Aisyah. "Tapi, kamu nggak kepikiran mau kerja aja dulu? Bantu Ayah?"
Aisyah menghela napas. "Huftt aku sempet kepikiran juga, Ca. Tapi, Ayah pengen aku kuliah. Jadi keputusan aku pengen kuliah sambil kerja aja. Aku lagi nyari beasiswa, Semoga aja dapet."
"Semoga dapet ya, Sayang!" Caca memeluk Aisyah. "Kamu pasti bisa kok. Kamu kan pinter banget Aku bakal dukung kamu."
kringggg
"Amin," Aisyah tersenyum haru. "Makasih, Ca. Kamu memang sahabat terbaik."
"Sama-sama, Sayang!" Caca tersenyum balik. "Eh, udah bel nih. Yuk, masuk kelas!"
"Yuk!" Aisyah dan Caca berjalan bersama menuju kelas, membicarakan rencana mereka untuk mengerjakan tugas kelompok. Mereka berdua saling mendukung dan menyemangati satu sama lain, menjadikan perjalanan sekolah mereka lebih berwarna dan penuh makna. Persahabatan mereka menjadi kekuatan bagi keduanya untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.
Matahari siang menyinari desa mekar asri dengan terik. Aisyah, dengan rambut terurai dan seragam putih abu-abu yang sedikit kusut, mengayuh sepedanya dengan lincah. Sepeda bututnya melintasi jalan setapak yang berdebu, menuju ke tempat ayahnya bekerja di sawah. Angin sore membawa aroma tanah basah dan padi yang harum.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat bude rita pemilik warung sembako sederhana namun ramai dikunjungi para petani. Bude Rita, dengan senyum ramahnya yang khas, melambaikan tangan memanggil Aisyah. Aisyah pun menghentikan sepedanya dan menghampiri warung tersebut.
"Aisyah, Nak! Mau kemana ini, siang-siang masih bersepeda aja?" sapa Bude Rita, suaranya hangat dan ramah.
"Mau ke sawah, Bude, mau ketemu Ayah," jawab Aisyah, napasnya sedikit tersengal.
Bude Rita tersenyum, matanya mengamati seragam sekolah Aisyah yang sedikit kotor terkena debu jalan. "Ayahmu lagi sibuk ya? Sekolahmu sudah selesai?"
"Iya, Bude. Ini aisyah baru aja pulang sekolah," jawab Aisyah.
Bude Rita menarik napas dalam-dalam. Ia memperhatikan Aisyah yang terlihat lelah namun tetap ceria. "Aisyah, Nak... Begini...Bude lagi butuh banget bantuan. Gimana kalau kamu bantu Bude jaga warung ini, sepulang sekolah?"
Aisyah mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak. Membantu ayahnya memang impiannya, tetapi ia juga harus tetap fokus pada sekolah.
"Bantu jaga warung, Bude? tapi.. aisyah masih sekolah, Bude," kata Aisyah ragu-ragu.
"Iya, Nak bude tau kok, Kerjanya cuma sepulang sekolah aja, sampai jam tujuh malam. Gajinya sehari dua puluh lima ribu. Atau kalau mau bulanan, tujuh ratus lima puluh ribu. Gimana, Nak? memang ngga banyak, tapi semoga bisa membantu," Bude Rita menjelaskan dengan sabar, matanya penuh pengertian.
**Deghh**
Aisyah tertegun. Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah dalam sebulan! Jumlah itu cukup besar untuk membantu meringankan beban keluarganya. Ia membayangkan wajah ayahnya yang selalu lelah setelah seharian bekerja di sawah. Hatinya bergetar.
"Bagaimana, Nak? Pikir baik-baik ya, bude cuma percaya sama kamu aisyah.." Bude Rita menambahkan, memberikan Aisyah waktu untuk mempertimbangkan tawarannya.
Aisyah menggigit bibir bawahnya. Ia memikirkan keseimbangan antara sekolah dan membantu keluarganya. Setelah beberapa saat terdiam, ia mengangkat wajahnya, matanya berbinar.
"Baiklah, Bude aisyah mau!" jawab Aisyah mantap. Senyum lega merekah di wajahnya.
Bude Rita tersenyum lebar, merasa lega. "Alhamdulillah... Besok, sepulang sekolah ya, Nak. Jam dua sore sudah mulai. Jangan lupa ya!"
"Iya, Bude. Terima kasih banyak, Bude aisyah pamit dulu assalamu'alaikum!" Aisyah mengucapkan terima kasih dengan tulus, hatinya dipenuhi rasa syukur dan harapan.
Setelah berpamitan, Aisyah kembali mengayuh sepedanya, kali ini dengan langkah lebih ringan dan hati yang lebih tenang. Ia membayangkan bagaimana ia bisa membantu ayahnya, meskipun hanya dengan sedikit penghasilan tambahan.
Di warungnya, Bude Rita mengamati Aisyah yang pergi. Ia berdoa dalam hati, "Ya allah Semoga Aisyah selalu sukses dan menjadi anak yang baik. Semoga rezeki nya selalu melimpah untuknya dan keluarganya." Setetes air mata haru menetes di pipinya, ia merasa telah melakukan sesuatu yang bermakna hari ini. Ia telah membantu seorang anak yang baik hati dan rajin.
...----------------...
Mentari sore menyinari hamparan sawah yang luas. Aisyah mengayuh sepedanya dengan kencang, jantungnya berdebar-debar. Sesampainya di sawah, ia melihat ayahnya, Ramlan, tengah memanen padi dengan tubuh yang sedikit membungkuk.
"Ayah!" teriak Aisyah, suaranya riang memecah kesunyian sore.
Ramlan tersentak, lalu tersenyum lebar melihat putrinya datang. Ia segera menghampiri Aisyah yang sudah turun dari sepeda.
"Aisyah, Nak! Ada apa ? kenapa kamu buru-buru sekali?" tanya Ramlan, sedikit khawatir.
"Ayah, aku dapat kerjaan yahh!" seru Aisyah, matanya berbinar-binar. Ia menceritakan tawaran Bude Rita, tentang pekerjaan menjaga warung sepulang sekolah, dengan gaji 25 ribu per hari atau 750 ribu per bulan. "Aku sudah terima, Yah!" lanjutnya dengan penuh semangat.
Ramlan tertegun. Ia menatap Aisyah dengan raut wajah terkejut. "Kerja nak? Aisyah, kamu masih sekolah. Fokus sekolahmu dulu, Nak. Biar Ayah saja yang bekerja keras," kata Ramlan, suaranya terdengar sedikit tegas namun lembut.
"Tapi, Yah... aku ingin membantu Ayah. Aku juga ingin menabung lebih banyak untuk kuliah nanti," bujuk Aisyah dengan nada manja, sambil memeluk lengan ayahnya. "Gaji itu cukup banyak, Yah. Kita bisa beli beras lebih banyak, dan aku bisa menabung untuk kuliah.Pliss boleh ya ayah ku sayang.. "
Ramlan menghela napas panjang. Ia tahu betapa gigihnya Aisyah. Ia melihat tekad yang kuat di mata putrinya. Melihat usaha putrinya yang ingin membantunya, hatinya luluh.
"Baiklah, Nak. Ayah mengizinkan. Tapi, kamu harus tetap fokus sekolah. Jangan sampai pekerjaan mengganggu belajarmu. Janji?" kata Ramlan, akhirnya mengalah.
Aisyah langsung mengangguk cepat, "Janji, Ayah! Aisyah akan tetap rajin belajar dan mengerjakan PR. Terima kasih, Ayah sayang!" Ia memeluk ayahnya erat-erat, rasa syukur dan bahagia memenuhi hatinya. Ramlan mengelus rambut putrinya dengan penuh kasih sayang. Ia tahu, Aisyah adalah anak yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Ia percaya, putrinya mampu menyeimbangkan antara sekolah dan pekerjaan barunya. Meskipun sedikit khawatir, ia bangga akan semangat dan kerja keras Aisyah.
Malam telah larut. Aisyah duduk di meja belajarnya, lampu meja menerangi wajahnya yang serius mengerjakan PR. Namun, pikirannya melayang. Buku pelajaran di depannya seakan kabur, digantikan oleh kenangan akan sosok ibunya, Fatimah.
"Ibu ais rindu ibu....." bisik Aisyah lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia teringat senyum lembut ibunya, sentuhan tangannya yang hangat, dan nasihat-nasihat bijak yang selalu diingatinya. "Kenapa ibu pergi bu?.. Ibu selalu mengajariku kebaikan, kesabaran, dan selalu tersenyum dalam keadaan apapun. Ibu... aku rindu Ibu hikss hikss...."
Aisyah meletakkan pulpennya, air matanya kini mengalir deras. Ia teringat bagaimana ibunya selalu mendukungnya, selalu ada untuknya. Betapa ia merindukan pelukan hangat ibunya, pelukan yang selalu membuatnya merasa aman dan tenang.
"Aku harus kuat, untuk Ayah," gumam Aisyah, menghapus air matanya. Ia bangkit dari kursinya dan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu, ia menunaikan sholat Isya dengan khusyuk.
Setelah sholat, Aisyah bersimpuh di hadapan sajadah, berdoa dengan suara terbata-bata. "Ya Allah, ampunilah dosa-dosa Ibuku, ya allah. Tempatkanlah ia di tempat yang paling mulia di surga-Mu. Berikanlah ia ketenangan dan kebahagiaan abadi. Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk selalu menjaga Ayah dan membahagiakannya. Aku janji akan selalu berusaha menjadi anak yang baik dan berbakti." Doanya diiringi isak tangis yang pelan.
Setelah selesai berdoa, Aisyah merasa sedikit lebih tenang. Ia kembali ke meja belajarnya, melanjutkan mengerjakan PR-nya. Meskipun rindu pada ibunya masih terasa, ia merasa lebih tegar dan bersemangat. Ia akan selalu mengingat pesan-pesan ibunya, dan ia akan selalu berusaha untuk menjadi anak yang baik, yang mampu menjaga dan membahagiakan ayahnya.
Di balik pintu kamar Aisyah, Ramlan berdiri. Ia tak sengaja mendengar setiap kata doa yang dipanjatkan putrinya untuk almarhumah Fatimah. Air mata tak mampu dibendungnya. Ia mendengar kerinduan Aisyah yang begitu dalam, kerinduan yang sama yang juga dirasakannya setiap hari. Rasa kehilangan istrinya masih begitu terasa, seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Setelah beberapa saat, Ramlan kembali ke kamarnya. Ia bersimpuh di hadapan sajadah, menunaikan sholat . "Ya Allah," doanya dimulai, suaranya masih bergetar, "Ampunilah dosa-dosa istriku, Fatimah. Tempatkanlah ia di sisi-Mu, berikanlah ia ketenangan dan kebahagiaan di surgaMu. Dan, Ya Allah, berkahilah Aisyah, anakku. Jagalah ia selalu, berikanlah ia kekuatan dan kesehatan, bimbinglah ia menuju jalan yang benar. Berikanlah ia kebahagiaan, seperti yang selalu ia doakan untuk ibunya."
Ia melanjutkan doanya dengan suara yang lebih tenang, namun air matanya masih terus mengalir. "Aku berjanji akan selalu ada untuknya, akan selalu menjaganya, seperti yang selalu Fatimah lakukan." Doanya diakhiri dengan isak tangis yang pelan, menyatukan kesedihan dan rasa syukur dalam satu untaian doa yang tulus.
...****************...
Pagi hari, Aisyah bersiap untuk berangkat sekolah. Ia meraih sepatunya, namun ia mendapati sol sepatu sebelah kanannya sudah robek cukup parah. Ia menghela napas. Ia tahu, meminta sepatu baru pada ayahnya berarti menambah beban kerja ayahnya. Ayahnya sudah bekerja keras setiap hari di sawah, ia tak ingin menambah beban ayahnya.
"Hmm... gimana ini?" gumam Aisyah, melihat sol sepatunya yang robek. Ia berpikir sejenak. "Yaudah gapapa deh, aku bisa memperbaikinya sementara."
Aisyah mencari lem di laci meja riasnya. Ia menemukan lem bekas dan segera membersihkan sol sepatunya yang robek. Dengan hati-hati, ia mengoleskan lem dan menempelkan kembali bagian yang robek. Ia berharap perbaikan sementara ini cukup untuk bertahan sampai ia bisa membeli sepatu baru sendiri.
"Sabar ya, sepatu, sayang" kata Aisyah sambil mengoleskan lem, suaranya lembut. "Nanti kalau aku sudah mulai kerja di warung Bude Rita, aku akan beli sepatu baru sendiri dan memperbaiki kamu juga. Aku janji." Ia tersenyum kecil, mencoba untuk tetap optimis. "Aku harus rajin bekerja dan menabung. Aku nggak mau merepotkan Ayah lagi." Ia menyelesaikan perbaikan sepatunya dengan tekun, mencoba untuk menutupi robekan semaksimal mungkin. Meskipun perbaikannya sederhana, ia merasa lega karena setidaknya ia bisa berangkat sekolah tanpa harus merepotkan ayahnya lagi.
...----------------...
Aisyah sampai di sekolah dan memarkir sepedanya di tempat biasa. Ia hendak menuju kelasnya, namun langkahnya terhenti. Alya, anak dari paman dan bibinya, berdiri menghalanginya bersama dua temannya, Rini dan Dita. Ketiganya mengenakan seragam yang rapi dan bersih, kontras dengan seragam Aisyah yang sedikit kusut dan sol sepatunya yang telah diperbaiki.
"Hai miskin Lihat tuh, sepatu kamu robek! Masih mau sekolah aja? Nggak malu ya?" ejek Alya, suaranya nyaring dan penuh dengan kebencian. Rini dan Dita tertawa mengejek.
"Ini sepatu Aisyah, bukan sepatu kamu," jawab Aisyah tenang, berusaha mengabaikan ejekan mereka.
"Alah Sok alim! Padahal bajunya aja udah kayak anak gembel! Kotor, lusuh, lecek iww. " timpal Rini, menunjuk-nunjuk seragam Aisyah.
"Biarin aja. Yang penting aku bisa sekolah," jawab Aisyah, suaranya tetap tenang, walaupun hatinya sedikit terluka.
Alya semakin kesal melihat Aisyah yang tetap tenang. Ia merasa ejekannya tidak mempan. "Kamu iri kan sama aku? Aku punya baju bagus, sepatu bagus, dan Papa Mamaku kaya!" ujar Alya, suaranya meninggi.
"Aku nggak iri," jawab Aisyah, "Aku bersyukur dengan apa yang aku punya."
"Bohong! Kamu pasti iri! Kamu kan anak orang miskin jadi ngga bisa kayak kita kita" teriak Dita, ikut-ikutan mengejek.
Aisyah menghela napas panjang. Ia tahu, Alya dan teman-temannya sebenarnya iri pada nya yang selalu mendapat sorotan dari guru dan murid lain. Mereka hanya mencoba untuk menjatuhkannya dengan cara yang tidak terpuji.
"Kalian ngga perlu tau kehidupan aku
. Kebahagiaan itu bukan hanya tentang harta benda," kata Aisyah, suaranya sedikit lebih tegas. "Kalian harus belajar untuk menghargai diri sendiri dan orang lain."
***Brukkk***
Alya semakin marah. Ia tidak suka dibantah. Dengan kasar, ia mendorong Aisyah hingga jatuh terduduk. Buku-buku dan alat tulis Aisyah berserakan di tanah.
"Dasar miskin! Jangan sok pintar bikin jijik aja, Yok guys kita pergi biarin si miskin di sini sendirian!" bentak Alya, lalu berlalu pergi bersama Rini dan Dita, meninggalkan Aisyah yang terduduk di tanah, merasakan sakit fisik dan sakit hati. Aisyah merapikan buku-bukunya, mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan kesal yang ia rasakan.
Caca, yang baru saja tiba di sekolah, melihat Aisyah terduduk di tanah dengan buku-buku yang berserakan. Ia langsung menghampiri Aisyah dan membantunya berdiri.
"Aisyah! Kamu kenapa? pasti alya the geng yang melakukan ini?" tanya Caca, suaranya penuh kekhawatiran. Ia melihat seragam Aisyah yang kusut dan wajahnya yang sedikit pucat.
Aisyah hanya tersenyum tipis, mencoba untuk menyembunyikan rasa sakit hatinya. "Gakpapa, Ca," jawabnya pelan.
Caca melihat kesedihan di mata Aisyah. Ia geram. "Gakpapa gimana? Lihat ini! Mereka berani-beraninya memperlakukanmu seperti ini!" Caca menunjuk buku-buku Aisyah yang berserakan. Amarahnya memuncak. "Aku nggak terima sya! Aku akan melabrak Alya dan teman-temannya yang sok cantik itu...!"
"Ca, jangan! Aku gakpapa kok," Aisyah mencoba menenangkan Caca. "Jangan sampai kamu terkena masalah karenaku ca."
"Tapi aku nggak terima liat kamu diperlakukan seperti itu! Mereka itu jahat, sombong, dan iri sama kamu sya!" Caca masih marah. "Mereka hanya iri karena kamu cantik dan pintar!"
Aisyah memegang tangan Caca. "Aku tahu, Ca. Tapi aku nggak mau memperpanjang masalah. Lebih baik kita fokus belajar aja."
Caca menatap Aisyah dengan penuh kekhawatiran dan sayang. Ia mengerti Aisyah adalah orang yang baik hati dan selalu sabar. Tapi ia tidak bisa tinggal diam melihat temannya diperlakukan seperti itu.
"Baiklah," kata Caca, suaranya sedikit lebih tenang. "Tapi aku akan selalu bersamamu sya. Biar mereka nggak berani macam-macam lagi. Aku nggak akan membiarkan mereka nyakitin kamu lagi sya." Caca memeluk Aisyah erat-erat.
"Terima kasih, Ca," kata Aisyah, membalas pelukan Caca. Rasa hangat dan aman memenuhi hatinya. "Aku bersyukur punya sahabat sepertimu."
"Aku Selalu ada untukmu, Aisyah," kata Caca, menguatkan Aisyah. "Kita sahabat, kan? Kita akan selalu bersama, untuk menghadapi apapun okey. " Ia melepaskan pelukannya, mengusap air mata yang jatuh di pipi Aisyah.
"Sekarang, ayo kita ke kelas. Jangan biarin mereka merusak harimu." Caca tersenyum, memberikan Aisyah kekuatan dan semangat untuk melanjutkan harinya. Ia bertekad untuk selalu melindungi Aisyah dari kejahatan Alya dan teman-temannya.
Jam menunjukkan pukul satu siang. Aisyah, dengan seragam putih abu-abu yang masih rapi, bergegas mengayuh sepedanya. Rambutnya yang panjang diikat kuncir kuda, tergerai sedikit tertiup angin. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di warung Bude Rita, warung kecil namun ramai di dekat sawah di desanya. Detak jantungnya berdebar, campuran antara rasa gugup dan antusias.
Sesampainya di warung, suasana masih sepi. Hanya terdengar suara cicit jangkrik dan gemerisik daun-daun. Warung Bude Rita sederhana, namun bersih dan tertata rapi.
"Assalamu'alaikum bude... " ucap aisyah
"Waalaikumsalam, loh udah pulang sya ? Masuk, masuk! Alhamdulillah, kamu sudah datang," sapa Bude Rita, suaranya hangat
Aisyah tersenyum malu, "Iya Bude. Maaf kalau Aisyah telat."
"Tidak apa-apa, Nak. Lagian masih sepi. Ayo, duduk dulu. Bude akan menjelaskan pekerjaanmu." Bude Rita menepuk kursi kosong di sampingnya. Aisyah duduk, sedikit canggung.
"Jadi begini, Aisyah. Kerjamu di sini sederhana. Kamu akan membantu melayani pembeli, menata barang, dan menghitung uang. Bude sudah menyiapkan buku catatan harga barang ini," Bude Rita memberikan buku kecil berwarna biru muda kepada Aisyah. "Di sini tercatat harga semua barang dagangan. Jangan sampai salah, ya. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan saja sama bude."
"Selain itu, kamu juga harus menjaga kebersihan warung. Sapu lantai kalau sudah kotor, bersihkan meja setelah pembeli selesai. Mudah, kan?"
"Mudah, Bude," jawab Aisyah mantap.
"Bagus. Gaji kamu akan dibayar setiap hari ya dya. Tidak banyak, tapi cukup untuk jajan dan sedikit tabungan. Yang penting rajin dan jujur," Bude Rita menatap Aisyah dengan penuh perhatian.
"Terima kasih, Bude. Saya akan bekerja dengan jujur dan rajin," Aisyah berkata dengan sungguh-sungguh. Ia merasa nyaman dengan keramahan Bude Rita.
"Nah, sekarang coba kamu pelajari buku catatan harga ini dulu. Nanti kalau sudah hafal, kita latihan melayani pembeli," Bude Rita menunjuk beberapa barang di rak.
Aisyah mengangguk, matanya fokus pada buku catatan itu. "Baik, Bude. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
...----------------...
Mentari sudah benar-benar tenggelam, memunculkan langit malam yang gelap bertabur bintang. Bude Rita telah masuk ke rumahnya, meninggalkan Aisyah sendirian menjaga warung. Tiba-tiba, terdengar suara motor berhenti di depan warung. Ustadzah Ela, guru mengaji Aisyah yang dikenal ramah dan baik hati, turun dari motornya. Ia hendak membeli beras.
Melihat Aisyah yang sedang membereskan beberapa barang, Ustadzah Ela tersenyum. "Assalamu'alaikum, loh aisyah? Kamu yang jaga warung malam ini?" tanyanya lembut.
Aisyah sedikit terkejut, lalu tersenyum malu. " Wa'alaikumussalam Iya, Ustadzah. Baru hari ini untuk bantu Ayah," jawabnya.
"Oh, begitu. Baru hari ini? Rajin sekali kamu, Nak," puji Ustadzah Ela. "Ibu ingin membeli beras, ada yang 5 kg dan 3 kg?"
"Ada, Ustadzah. Sebentar ya," Aisyah mengambil dua karung beras, satu berukuran 5 kg dan satu lagi 3 kg. Ia menimbangnya kembali untuk memastikan beratnya.
Setelah Ustadzah Ela membayar, ia menyerahkan kantong yang berat 3kg "Ini untukmu, Aisyah," kata Ustadzah Ela, sambil memberikan kantong itu pada aisyah
Aisyah kaget. "Ustadzah, ini nggak perlu. aisyah tidak enak menerima ini," tolaknya.
Ustadzah Ela tersenyum hangat. "Ambil saja, Nak. Anggap saja ini hadiah untukmu. Semoga kamu semangat bekerja dan selalu rajin. Beras ini bisa kamu masak untuk keluarga di rumah."
Aisyah masih ragu, tetapi melihat senyum tulus Ustadzah Ela, ia akhirnya menerima pemberian tersebut. "Alhamdulillah Terima kasih banyak, Ustadzah. Saya akan selalu berusaha bekerja dengan baik," katanya dengan hati yang penuh syukur. Ustadzah Ela kembali tersenyum, lalu pamit pulang. Aisyah kembali menatap karung beras 3 kg di tangannya, hatinya terasa hangat dan terharu atas kebaikan Ustadzah Ela. Ia merasa beruntung memiliki guru mengaji yang begitu perhatian dan baik.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Aisyah mulai membereskan warung, bersiap untuk pulang. Saat Bude Rita keluar dari rumahnya, Aisyah segera menghampirinya. Wajahnya sedikit cemas.
"Bude," panggil Aisyah. "Tadi... Emm Ustadzah Ela beli beras 8 kg, 5 kg dan 3 kg. Terus Ustadzah Ela ngasih saya 3 kg nya, Bude." Aisyah menjelaskan dengan terbata-bata, takut Bude Rita salah paham.
Bude Rita tersenyum, "Oh, begitu? Tidak apa-apa, Nak. Ustadzah Ela memang orangnya baik hati. Kamu nggak perlu khawatir, bude percaya sama kamu kok aisyah. "
Rasa lega memenuhi hati Aisyah. "Alhamdulillah, Bude. Saya takut Bude mengira saya mengambil beras itu," ucapnya.
Bude Rita tertawa kecil. "Kamu ini, jujur sekali. Itulah yang bagus, Nak. Kejujuran itu lebih berharga daripada apapun." Bude Rita kemudian mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ini gajimu hari ini, 25 ribu. Kerjamu hari ini sudah bagus."
Aisyah menerima uang itu dengan senang hati. "Terima kasih, Bude!"
Bude Rita menambahkan, "Oh iya, tadi bude masak ayam terlalu banyak. Ini, bawa pulang untuk kamu ya aisyah. Buat lauk makan malam." Bude Rita menyerahkan tiga potong ayam goreng yang masih hangat dan harum.
Mata Aisyah berbinar. "Alhamdulillah Terima kasih banyak, Bude! Saya pulang dulu, ya assalamu'alaikum."
" Wa'alaikumussalam Iya, Nak. Hati-hati di jalan!" Bude Rita melambaikan tangan.
Aisyah tersenyum lebar, hatinya dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan. Ia mengayuh sepedanya pulang, membawa uang, ayam goreng, dan beras pemberian Ustadzah Ela. Cahaya bulan malam itu seakan lebih terang, menyertai langkahnya pulang ke rumah.
Sepeda Aisyah berhenti di depan rumah kecil mereka. Begitu masuk, ia melihat Ramlan, ayahnya, baru selesai sholat Magrib. Ramlan tersenyum hangat menyambut putrinya.
"Assalamu'alaikum Ayah!" seru Aisyah, segera menunjukkan beras dan ayam goreng yang dibawanya. "Ayah, lihat! Ini hadiah dari Ustadzah Ela dan Bude Rita!" Wajahnya berseri-seri.
Ramlan tersenyum bangga melihat putrinya. "Alhamdulillah, nak ini namanya rezeki dari allah. Ini semua hasil kerja kerasmu, ya?"
Aisyah mengangguk, kemudian mengeluarkan uang 25 ribu dari sakunya dan memberikannya pada siang ayah "Ini juga, Yah, gaji pertamaku dari Bude Rita."
Ramlan menggeleng lembut. "Tidak usah, Sayang. Simpan saja uangnya. Itu hasil jerih payahmu. Untuk jajan dan tabunganmu ya. "
"Tapi, Yah…" Aisyah masih ragu.
"Tidak apa-apa, Nak. Ayah senang kamu sudah bekerja keras hari ini. Yang penting kamu istirahat yang cukup. Jangan sampai kelelahan." Ramlan mengusap lembut kepala Aisyah. Ia melihat putrinya tampak sedikit lelah, tetapi matanya berbinar dengan kebahagiaan.
Aisyah tersenyum, merasakan kasih sayang ayahnya. Ia menyimpan kembali uang itu, merasakan kehangatan keluarga yang begitu berarti. Aroma nasi dan ayam goreng yang baru dimasak tercium harum, menambah kebahagiaan malam itu.
Di dapur kecil mereka yang sederhana, Aisyah dan Ramlan makan malam bersama. Aroma ayam goreng yang harum memenuhi ruangan. Aisyah makan dengan lahap, sesekali ia melirik ayahnya.
"Enak sekali, Yah," kata Aisyah, gigitan ayamnya terdengar renyah. "Sudah lama sekali kita nggak makan ayam."
Ramlan tersenyum getir, "Iya, Sayang. Ayah masih belum bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu." Suaranya terdengar lesu.
Aisyah berhenti makan, melihat wajah ayahnya yang tampak sedih. "Ayah, jangan sedih. Aisyah senang kok. Hari ini Aisyah dapat gaji pertama, dan ada beras serta ayam dari Ustadzah Ela dan Bude Rita. Aisyah bersyukur yah."
Ramlan mengusap lembut tangan Aisyah. "Ayah sedih karena belum bisa membahagiakanmu sepenuhnya, Nak. Ayah ingin kamu bisa hidup lebih nyaman, bisa sekolah dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan tapi.... ayah malah membuat kamu merasakan hidup susah nak..maafkan ayah. "
"Ayah jangan nangis yah, aisyah ikut sedih hiks hiks.... Aisyah tidak apa-apa. Selama Ayah masih ada, Aisyah tetap bahagia. Ayah tidak perlu memikirkan hal itu. Aisyah senang bisa membantu Ayah. Kerja di warung Bude Rita menyenangkan, dan Bude Rita sangat baik padaku. Teman-teman di sekolah juga baik. Ayah jangan banyak pikiran, ya?" Aisyah berkata dengan lembut, mencoba menghibur ayahnya.
Ramlan menatap mata putrinya yang bersinar. "Ayah bangga padamu, Sayang. Kamu anak yang baik, rajin, dan selalu berpikir positif. Ayah bersyukur memiliki anak sepertimu." Ia meraih tangan Aisyah dan menggenggamnya erat.
"Ayah, sebenarnya Aisyah juga ingin sekali bisa membantu Ayah lebih banyak lagi. Aisyah ingin Ayah tidak terlalu lelah bekerja. Aisyah akan terus berusaha belajar dengan rajin, agar kelak bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan bisa membahagiakan Ayah," kata Aisyah dengan suara yang sedikit bergetar.
Ramlan mendekap pundak Aisyah, "Ayah tahu, Sayang Ayah percaya padamu. Kamu anak yang hebat. Teruslah belajar, teruslah berjuang. Ayah selalu mendukungmu." Ia tersenyum, rasa sedihnya sedikit berkurang. Melihat semangat dan kasih sayang putrinya, ia merasa kekuatan baru dalam dirinya. Mereka melanjutkan makan malam dalam suasana yang lebih hangat dan penuh cinta. Meskipun hidup mereka sederhana, kasih sayang di antara mereka menjadi harta yang tak ternilai harganya.
...****************...
Hari Minggu pagi, mentari bersinar cerah. Aisyah berniat membantu ayahnya di sawah. Langkahnya ringan, mengharapkan hari yang baik. Namun, takdir berkata lain.
"Aisyah tunggu...... "
Saat ia hampir sampai di sawah, Alya, anak paman dan bibinya, berlari menghampirinya. Alya memamerkan ponsel baru yang berkilauan di tangannya.
"Lihat, Aisyah! Ponselku baru! Keren, kan?" Alya berkata dengan nada mengejek. "Kamu pasti nggak mampu beli kayak gini, kan? Makan aja masih susah hahaha. "
Aisyah ingin marah, tapi ia sudah terbiasa dengan hinaan Alya. Ia hanya menjawab dengan tenang, "Iya, Alya. Keren."
Melihat Aisyah yang tidak menunjukkan rasa iri, Alya malah semakin menjadi-jadi. Ia mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam video Aisyah.
"Hai, guys! Lihat nih, anak miskin pakai baju lusuh! Kasian banget, ya? Gak punya duit buat beli baju bagus! Apa ada yang mau kasih barang bekas? UPS sorry hihi! ." Alya tertawa mengejek, mengarahkan kamera ke Aisyah yang berusaha menahan air matanya.
"Alya, berhenti!" pinta Aisyah, suaranya bergetar. "Hapus videonya!"
Namun, Alya semakin menjadi-jadi. Ia terus merekam dan menghina Aisyah. Setelah puas merekam, Alya melakukan hal yang lebih kejam.
*Byurrrrrh*
Ia mengambil lumpur sawah yang ada di dekatnya dan menyiramkan ke tubuh Aisyah. Kemudian, ia tertawa terbahak-bahak dan pergi meninggalkan Aisyah yang basah kuyup dan berlumuran lumpur.
"*Ya allah, kenapa aisyah selalu di hina. Apa salah aisyah ya allah sampai sampai semua orang seperti ini, apa salah menjadi orang miskin? aisyah ngga meminta takdir seperti ini ya allah hiks hikss*... "
Aisyah menangis sebentar, air matanya membasahi pipinya yang kotor. Namun, ia segera menghapus air matanya. Ia tidak ingin ayahnya melihatnya sedih. Dengan langkah gontai, ia menuju sungai kecil di dekat sawah untuk membersihkan diri. Ia harus tetap kuat, untuk dirinya sendiri dan untuk ayahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!