Mentari pagi menyinari Desa Mekar Asri, embun pagi masih menempel di daun-daun padi yang menghijau. Di balai desa, suasana hangat tercipta. Para petani Desa Mekar Asri berkumpul, wajah-wajah mereka penuh harapan dan semangat. Pak Muhlis, kepala desa yang ramah, memimpin pertemuan.
" Assalamu'alaikum selamat Pagi semuanya! Kita berkumpul hari ini untuk membahas pengembangan pertanian desa kita. Kira-kira menurut kalian Bagaimana caranya kita bisa meningkatkan hasil panen dan kesejahteraan kita?" sapa Pak Muhlis, suaranya berwibawa namun tetap bersahabat.
Para petani mulai berdiskusi, ide-ide bermunculan. Ada yang mengusulkan penggunaan pupuk organik, ada pula yang menyarankan pelatihan pertanian modern. Suasana penuh semangat dan kekeluargaan.
*tap*
tap
Tiba-tiba, Bu Nilam, istri Pak Muhlis, menghampiri suaminya dan memberikan telepon genggam. Pak Muhlis menerima panggilan itu, raut wajahnya awalnya serius, namun perlahan berubah menjadi cerah. Senyum mengembang di bibirnya, membuat para petani penasaran. Setelah menutup telepon, Pak Muhlis mengumumkan kabar gembira.
"Alhamdulillah semuanya! Desa kita mendapatkan pesanan padi dalam jumlah besar dari sebuah perusahaan eksportir!" ucap pak kades
"*alhamdulillah"*
"akhirnya rezeki memang nggak kemana"
Sorak sorai dan tepuk tangan menggema di balai desa. Kegembiraan terpancar dari wajah para petani. Masa depan Desa Mekar Asri tampak cerah.
"Namun," lanjut Pak Muhlis, "kita membutuhkan seseorang yang bertanggung jawab untuk mengawasi kualitas dan pengiriman padi ini. Seseorang yang jujur, teliti, dan berpengalaman." Ia menatap sekeliling, matanya berhenti pada Pak Ramlan, ayah Aisyah, gadis manis yang terkenal ramah dan baik hati di desa itu.
"Saya rasa, Pak Ramlan adalah orang yang tepat. Beliau dikenal rajin, jujur, dan berpengalaman dalam pertanian. Bagaimana menurut kalian?"
"Iya Pak kades kami setuju, pak ramlan orang yang Mumpuni. "
Semua petani mengangguk setuju. Kecuali satu orang, Pak Arkan, adik Pak Ramlan. Wajahnya tampak masam, penuh dengan rasa iri.
"Maaf Pak Kades," potong Pak Arkan dengan nada tinggi, "saya rasa Pak Ramlan kurang tepat jika untuk tugas seperti ini. Beliau hanya lulusan SMA, pengalamannya terbatas. Saya, dengan gelar sarjana pertanian saya, jauh lebih kompeten untuk mengawasi pengiriman padi ini." Suaranya terdengar angkuh, penuh dengan rasa rendah diri yang terselubung.
( **Disclaimers readers author tidak menjelekkan pekerjaan atau pendidikan karakter manapun harap bijak membaca ya, namanya juga NOVEL**. "
Pak Muhlis menatap Pak Arkan dengan sabar. "Pak Arkan, pendidikan memang penting, tapi kejujuran dan pengalaman lapangan juga tak kalah perlu. Pak Ramlan telah bertahun-tahun menggarap sawah, ia memahami seluk-beluk pertanian kita. Kejujurannya tak perlu diragukan lagi."
"Tapi..." Pak Arkan masih ngotot, "saya punya pengetahuan teori yang lebih mendalam. Saya bisa memastikan kualitas padi sesuai standar ekspor."
"Arkan," kata Pak Ramlan dengan tenang, suaranya lembut namun tegas, "aku mengerti kamu mungkin merasa kecewa. Tapi ini bukan tentang pendidikan, ini tentang kepercayaan. Kades mempercayaiku, dan itu sudah cukup bagiku. Lagipula, kita bisa saling membantu. Pengetahuanku tentang praktik pertanian dan pengalamanmu dalam teori bisa saling melengkapi."
Aisyah, yang selama ini diam memperhatikan, tiba-tiba angkat bicara. "Paman pendidikan memang penting, tapi kerja keras dan kejujuran jauh lebih berharga. Ayah selalu mengajariku itu. Dan Ayah memang orang yang paling jujur dan pekerja keras yang kukenal." Suaranya lembut namun penuh keyakinan.
"Alahh kamu itu cuma bocah polos dan bodoh!" seru Pak Arkan, suaranya meninggi, masih belum bisa menerima kekalahannya. "Tidak berguna! Lihat putri-putriku, yang pertama sudah bekerja di kota dan sukses! Yang kedua, sebentar lagi kuliah di kota juga. Jauh lebih berprestasi daripada kamu Aisyah!" Ia menatap Aisyah dengan penuh kebencian.
Aisyah menunduk, air matanya hampir jatuh. Pak Ramlan memegang pundak putrinya, memberikan isyarat untuk tenang saat akan menjawab tiba-tiba pak kades angkat bicara.
"Pak Arkan,Jaga bicara anda. Jangan bicara seperti itu!" tegur Pak Muhlis. "Semua anak punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita harus menghargai mereka."
Tiba-tiba, Ibu Aminah, salah seorang warga, bersuara. "Eh, ngomong-ngomong soal anak perempuan Pak arkan yang kerja di kota itu… Luna, ya? Setiap pulang kampung, pakaiannya selalu terbuka. Terlihat kurang sopan gitu ya ngga ibu-ibu."
Ibu-ibu lain langsung berbisik-bisik, ikut mengomentari penampilan Luna. "Iya, benar juga. Ngga seperti anak gadis lainnya di desa ini." "Kayaknya kurang didikan ya kan? "
*maklum ya guys mak-mak kalo gosip ada aja bahannya, kalo ngomong suka nyakitin kayak mantan hihi*.
Zulaikha, istri Pak Ramlan, yang sedari tadi menahan amarah, akhirnya meledak. "Apa maksud kalian hah?! Menggosip tentang anak saya? Kalian iri karena anak saya bekerja di kota, punya pekerjaan yang baik, bukan seperti anak-anak kalian yang hanya jadi pembantu!" Suaranya lantang, menusuk telinga.
"Jangan sembarangan bicara, Bu Zulaikha!" Ibu Aminah membalas dengan nada tinggi. "Kami hanya mengomentari penampilan anaknya. Tidak pantas seorang gadis berpakaian seperti itu!"
"Penampilan? Ck, Kalian hanya iri karena anak saya sukses! Dia bekerja di kantor pusat perusahaan besar, bukan seperti anak-anak kalian yang hanya jadi pembantu rumah tangga cihh!" Zulaikha semakin marah, matanya merah. "Kalian hanya bisa menggosip dan iri! Tidak usah sok suci!"
"Jangan menghina kami, Bu! kayak paling kaya aja disini! " Ibu-ibu lain mulai berteriak. Suasana menjadi semakin tegang. Pak Muhlis berusaha menengahi, namun sulit untuk meredakan amarah yang sudah terlanjur memuncak.
*brakkkk*
"Sudah-sudah! Berhenti bertengkar!" Pak Muhlis memukul meja dengan keras. "Ini bukan tempat untuk beradu mulut! Kita harus menyelesaikan masalah padi ini dengan tenang dan damai!"
"Tapi Pak Kades…" Ibu Aminah masih ingin membela diri.
"Cukup!" Pak Muhlis memotong ucapan Ibu Aminah. "Kita akan bicarakan masalah ini lain waktu. Sekarang, kita fokus pada persiapan pengiriman padi." Ia melirik Pak arkan dan Zulaikha dengan tatapan kesal.
...****************...
Pulang dari balai desa, Aisyah langsung menuju Warung Bude Rita. Bau wangi kopi dan gorengan menyambutnya. Ia segera merapikan warung dan mulai membantu Bude Rita menyiapkan pesanan belanjaan pelanggan.
Tiba-tiba, Zulaikha, bibinya, muncul di ambang pintu. Wajahnya masam, matanya menyiratkan kemarahan. Sebelum Aisyah sempat menyapa, Zulaikha langsung menghamburkan cacian.
"Lohh udah disini aja kau gadis lusuh! Kerja di warung begini saja! nggak malu kau aisyah?" Suaranya lantang, membuat beberapa pelanggan menoleh.
Aisyah hanya diam, tangannya tetap bergerak merapikan ciki ciki. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Aku harus membantu Bude Rita, Bi. Alhamdulillah cukup untuk uang untuk sekolah."
" Uang Sekolah? Dengan cara begini? ck ck ck Memalukan!" Zulaikha semakin sewot. Ia menunjuk-nunjuk Aisyah dengan jari telunjuknya.
Saat itu juga, Bude Rita keluar dari dapur, mendengar keributan. Melihat Zulaikha yang sedang mengamuk, Bude Rita langsung mendekat.
" Astaghfirullah Ada apa ini, Lik?" tanya Bude Rita, suaranya tegas.
"Bude, saya tadi memergoki Aisyah mengambil uang di laci kas dan memasukkannya ke dalam celananya! Untung saya liat kalau ngga bisa habis itu uang warung.." Zulaikha berteriak, matanya melotot ke arah Aisyah.
Aisyah terkesiap. Wajahnya pucat. " Ya allah itu ngga benar, Bi Aku nggak mengambil uang Bude!" Suaranya bergetar, penuh kepanikan.
Bude Rita menatap Aisyah, lalu menatap Zulaikha dengan tajam. Ia mengenal Zulaikha, tahu sifatnya yang suka bergosip dan mencari-cari kesalahan orang lain.
"Lik, di warung ini ada CCTV. Kita bisa lihat rekamannya, biar tau siapa yang salah dan benar. " kata Bude Rita tenang, namun suaranya mengandung peringatan.
*deghh*
Zulaikha terdiam. Wajahnya berubah pucat. Ia tidak menyangka Bude Rita memiliki CCTV. Dengan tergesa-gesa, ia memegangi perutnya.
"Aduh… perutku sakit sekali… Aku harus pulang," ucap Zulaikha, lalu bergegas pergi meninggalkan warung Bude Rita, meninggalkan Aisyah dan Bude Rita yang saling berpandangan lega. Bude Rita tersenyum simpul pada Aisyah, menunjukkan dukungannya. Aisyah pun kembali melanjutkan pekerjaannya, rasa lega dan syukur memenuhi hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
caca
bik zulaika sumpah ngeselin /Panic/
2025-06-28
0