Chapter 5

“Rika!” katanya sambil terus tersenyum atau lebih tepatnya menyeringai.

Aku menelan rasa takut yang bergemuruh dalam dada, lalu memberanikan diri untuk mencari tahu kenapa aku ada di sini.

“Apa yang bapak inginkan dariku? Kenapa aku ada di sini? Dan bagaimana bapak tahu namaku?” tanyaku. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri, karena aku berusaha membuatnya terdengar berani. Aku melihat senyum tipis di wajah pria tua itu. Ia seolah menahan tawa.

“Bagaimana aku tahu namamu tidak penting sekarang. Kau ada di sini karena kau punya utang padaku,” ujarnya dengan angkuh.

“Apa? Setahuku, hari ini pertama kalinya aku melihat Anda,” kataku dengan wajah yang penuh kebingungan.

Ia tertawa kecil. “Ayahmu meminjam seratus miliar dariku.”

Aku mendengar itu seketika mataku hampir melompat keluar dari tempatnya.

“Ya, sedikit kekayaan yang dimiliki ayahmu itu berkat aku,” katanya sambil duduk di kursi tepat disamping ku yang entah sejak kapan ada di sana. Aku menatapnya. Aku berharap ia akan mengatakan bahwa semua ini hanya bohong, tapi dari ekspresinya, kelihatannya ia tidak akan berkata begitu. Kata-kata itu menggema di kepalaku.

AYAHKU PERNAH BERUTANG PADA MAFIA.

Bagaimana bisa? pikirku. Tapi daripada terus meratapi masa lalu, aku memutuskan untuk memperbaiki keadaan yang sedang terjadi. 'Ada baiknya aku memanggil lebih formal seolah pria tua didepan ku memang orang asing. Jujur aku menyesal menolong nya saat di pasar waktu itu'.

“Baiklah, aku sudah mendengar penjelasan Anda, Tuan. Aku akan bekerja dan mulai membayar utangnya,” kataku. Tapi kemudian aku benar-benar kaget saat pria tua itu malah tertawa terbahak-bahak.

Aku menunduk dan memikirkan apa yang membuat nya tertawa seperti itu, aku memeriksa bajuku dan tidak seperti kostum badut, dan aku juga tidak ingat pernah menjadi komedian, atau suara ku—tapi ku rasa nada suara ku datar saja. Tapi aku membiarkannya tertawa sepuasnya.

“Oh Rika, maafkan tawa kakek ini. Aku kagum dengan keberanianmu untuk memperbaiki keadaan, tapi... bukankah sudah terlambat?” tanyanya.

“Terlambat?” tanyaku bingung.

“Ya, terlambat. Ayahmu seharusnya mulai membayar utang itu sejak tahun kau lahir. Tapi tiba-tiba, dia menghilang tanpa jejak.

Aku baru tahu tentang kematiannya seminggu yang lalu. Dan saat aku tahu dia punya seorang putri, aku... aku sangat senang,” katanya.

Aku menghela napas panjang. “Baik, aku tahu ayahku punya utang padamu. Tapi aku bukan dia. Aku akan berusaha membayar kembali, setiap nominal nya.”

“Kau tahu, aku bisa saja menghapus seluruh utang itu,” katanya.

“Benarkah? Wah, itu akan sangat baik sekali, Tuan,” kataku sambil tersenyum lebar, seolah pria tua ini memberikan ku kesempatan.

“Tapi ada satu syarat.” Saat itulah detak jantungku mulai tak beraturan. “Apa syaratnya?” tanyaku dengan nada waspada.

“Kau harus menikah dengan anakku.”

“APA?!”

Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Jantungku seolah berhenti berdetak, tapi entah bagaimana aku masih bernapas. Rasanya seperti baru saja dijatuhi hukuman seumur hidup.

Selama tiga puluh detik, aku hanya duduk membeku, tapi begitu aku sadar, aku benar-benar memahami apa yang ia minta dariku.

'Pernikahan bukanlah main-main, itu momen sakral yang dilakukan untuk menyatukan dua insan dengan janji untuk saling menerima dalam suka dan duka' pikirku dalam hati.

“Tidak! Aku tidak akan menikahi anakmu! Itu tidak mungkin terjadi! Aku tidak bisa begitu saja menikahi orang asing. Maksudku, siapa yang masih percaya dengan perjodohan di zaman sekarang? Bahkan aku belum pernah bertemu anakmu! Dia benar-benar orang asing!” Aku bicara cepat, penuh emosi. Pria tua ini pasti sudah tidak waras.

Ia tertawa kecil. “Aku delapan puluh persen yakin kau akan jatuh cinta pada anakku.”

“Tidak, Pak. Itu tidak akan terjadi, lalu ada dua puluh persen untuk aku menyangkalnya” kataku dengan tegas, berusaha teguh dengan pendirian ku yang mulai retak pondasi nya.

“Terserah perkataan mu kau akan suka atau tidak. Yang kau harus tahu... kau terikat kontrak untuk menikahi anakku,” katanya lagi.

“APA?!” seruku. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas—seperti kontrak. Ia menunjuk bagian akhir dokumen itu, yang menyebutkan bahwa jika utang tidak dilunasi, maka putri dari si pengutang harus menikahi kerabat dari si pemberi utang.

Aku bahkan tidak bisa meragukan keabsahannya karena aku melihat tanda tangan rumit ayahku tepat di bawah klausul itu. Bagaimana mungkin ayahku—ayah yang penuh kasih dan peduli—bisa menempatkan ku dalam situasi separah ini? Sekarang aku benar-benar tidak bisa bergerak, tak bisa melawan.

“Maksudku, kalau kau tidak mau menikahi anakku, dan aku memutuskan untuk mengambil—” ia berhenti sejenak, “kau punya ginjal yang bagus?” Ekspresi wajahku yang ngeri menjawab pertanyaannya, dan ia pun melanjutkan.

“Kalau aku memutuskan untuk menjualnya... organ mu maksudku... itu pun tidak akan cukup untuk menutupi semua uangku,” katanya. “Jadi pilihan terbaik adalah menikahi anakku.”

Aku tidak sempat menjawab ketika tiba-tiba suara dering muncul diteleponnya yang berbunyi dan ia pergi untuk mengangkatnya. Seluruh tubuhku gemetar. Berapa banyak kabar buruk lagi yang harus kuterima hari ini? Tak lama kemudian, ia kembali.

“Aku baru saja bicara dengan anak buahku. Katanya kakekmu terkena serangan jantung. Meski kondisinya stabil, ia butuh transplantasi secepatnya. Rika, aku bisa bantu. Aku akan beli pendonor dan biayai operasinya. Kakekmu akan selamat, tapi kau harus bilang 'ya',” ucapnya, menatapku lekat-lekat.

Begitu ia menyebut kakekku, duniaku seakan runtuh. Kalau aku tidak bilang 'ya', mungkin aku akan mengubur satu-satunya keluargaku. Aku menatapnya. Saat itu, aku benar-benar merasa tak berdaya.

“Rika, ingat, kau tidak perlu khawatir soal utang, atau biaya rumah sakit kakekmu. Semua akan aku tangani. Yang perlu kau lakukan hanyalah menikahi anakku... dan yakinkan dia untuk menjadi pewaris kerajaanku,” katanya.

“Bagaimana aku bisa melakukannya?” tanyaku.

“Jangan khawatir. Tapi pertama-tama, katakan ya untuk menikahi anakku,” ujarnya.

Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata. Saat membukanya kembali, setetes air mata mengalir dari sudut mataku.

'tidak ada pilihan untuk memilih, semoga pilihan ini memang lebih dari yang terbaik ' ucapku dalam hati.

“Baik. Aku akan melakukannya,” kataku lirih.

“Bagus. Karena pernikahannya besok jam sembilan pagi. Jangan telat.” Dan setelah mengucapkan itu, ia pun meninggalkan ruangan ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!