Chapter 2

Seperti yang telah ku kupikirkan, aku belum pernah melihat atau bertemu calon suamiku sampai hari ini. Jadi aku tidak heran dengan pertanyaannya. Meskipun kupikir, dia seharusnya bisa menyimpulkan sendiri dari keadaan.

Akulah yang memakai gaun putih, tapi Rayga sepertinya ingin menyiksaku dengan membuatku menjelaskan semuanya secara langsung.

Aku membuka mulut untuk bicara, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Aku tiba-tiba seperti kehilangan kemampuan berpikir. Mungkin bukan otakku yang rusak, tapi mataku. Hanya melihat Rayga yang berlumuran darah saja sudah membuat tubuhku gemetar. Aku takut membayangkan seperti apa hidupku jika menikah dengan pemabuk kasar seperti dia. Rayga menatapku dari atas ke bawah. Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan rasa jijiknya, aku cukup terkejut ketika mendengar ucapan yang ia lontarkan kepada ku 'Jal*ng' sungguh ini penghinaan tapi aku tidak bisa menyangkal apalagi melawan. Aku berharap tanah bisa terbuka dan menelanku bulat-bulat. Percaya diri yang susah payah aku kumpulkan langsung lenyap begitu saja. Untungnya, Pak Ryandra bisa melihat betapa tersiksanya aku dan langsung membantuku.

“Dia istrimu, Rika. Sekarang segera pergi ke altar Rayga!” kata Ryandra dengan geraman pelan. Dia menopang tubuh Rayga, sementara dua pria lain ikut membantunya berdiri. Aku menahan napas saat mereka berjalan menuju altar. Wajahnya masih penuh darah dan tak seorang pun berniat membersihkannya atau memberinya kain.

“Baiklah, penghulu pernikahan, bisa mulai sekarang,” ucap Ryandra dengan senyum lebar. Begitu saja? Aku tak bisa mengikuti perubahan suasana hati keluarga D'Amato ini. Ryandra bicara seolah bukan dia sendiri yang membuat wajah Rayga berlumuran darah. Aku melirik ke belakang. Wajah mengerikan para tamu terlihat jelas, seperti noda hitam di atas baju putih. Maksudku, cukup aneh bukan melihat salah satu mempelai berlumuran darah seperti ini di hari yang seharusnya bahagia?

Tepat ketika pemimpin upacara akan memulai, Rayga meronta dan melepaskan diri dari genggaman mereka. Dia langsung pergi meninggalkan altar. Tindakannya mengundang decakan kaget dan tangan-tangan yang menutupi mulut.

Lalu Rayga tertawa histeris.

“Hei, maaf aku mengganggu momen bahagia kalian,” katanya sambil menatap ayahnya dan menyeringai. “Ayah, aku hanya akan menikah dengan satu wanita, dan namanya adalah Rita. Dan jelas, wanita yang berdiri di altar itu bukan dia.” ucapnya sambil berjalan terhuyung-huyung.

“Rayga!!!” Ryandra menggelegar, dan aku lagi-lagi terlonjak kaget. Aku harus mulai membiasakan diri dengan suara itu, atau tekanan darahku bisa bermasalah. Ryandra turun dari altar, begitu juga dengan anak buahnya. Mereka berusaha menahan Rayga, tapi dia melawan. Rayga tidak menyadari saat ayahnya muncul dari belakang dan memukulnya. Ia langsung tumbang dan tak sadarkan diri. Mereka mencoba menyadarkannya, tapi tak ada tanda-tanda ia akan bangun.

Dan saat itulah kekacauan dimulai. Para tamu mulai panik dan berhamburan keluar dari gereja.

Aku menatap kejadian itu dan menghela napas panjang. Aku mengangkat gaunku, mencari kursi terdekat, dan duduk. Hari ini benar-benar hari yang buruk bagiku. Jelas aku tidak akan menikah hari ini, tapi entah bagaimana aku yakin... suatu saat aku tetap akan menikah dengan pria tampan, yang lebih terasa seperti orang asing daripada seorang suami.

Sambil menghela napas lagi, pikiranku mulai hanyut. Seperti menyelam ke kedalaman lautan, aku mulai mengingat kembali bagaimana semua ini bisa terjadi...

******

Flashback...

"Rika?!!!" suara kakekku terdengar nyaring di ujung telepon. Aku sedang berjalan cepat di area pasar yang mulai ramai. Kami jarang datang ke pasar besar seperti ini kecuali benar-benar perlu, jadi aku tahu betapa pentingnya belanjaanku kali ini.

"Ya, Kek, aku denger kok!" jawabku, sambil menutup telinga kiri karena tiba tiba suara truk yang melintas barusan bikin telinga berdenging.

Bahkan suara dengungan itu merambat ke ponsel yang menyebabkan suara di telepon sempat hilang beberapa detik, seperti sambungan terputus atau kakekku menjauh dari ponselnya.

Beberapa detik kemudian suara kakekku kembali "Rika tadi itu suara apa? Bising sekali. Kakek hampir menjatuhkan ponsel tadi!" Keluh kakek dari seberang sana.

Aku tersenyum kecil. Kakek memang orangnya tradisional banget. Ponsel aja baru dia pakai karena dipaksa olehku, dan itupun cuma buat nelpon. Chat? Apalagi video call? Tidak usah mimpi. Ya walaupun ponsel kami keluaran lama yang aku sendiri saja cukup susah membeli alat komunikasi ini.

"Iya kek, Lagian Rika sedang di pasar apalagi deket jalan raya. Jadi wajar kalau bising kek.". Balasku, 'seperti nya aku harus mengurangi intensitas mode loud speaker pada ponsel kakek nanti' pikir ku. 'tapi jika aku mengurangi nanti aku tak mendengar jelas lagi suara dari ponselnya ' bantah pikiran ku bersamaan.

"Rika, kamu jangan lupa ya, itu catatan belanjaannya dibawa kan? Tadi Kakek tulis tangan panjang-panjang, jangan sampai ada yang ketinggalan. Mumpung lagi musim panen, biasanya harga sayur dan buah-buahan lebih murah." Ucap kakek yang seketika membuyarkan lamunanku.

“Tenang aja, Kek. Semuanya lengkap kok. Tidak usah khawatir, ya? Aku bisa urus semuanya,” kataku, mencoba meyakinkan dia. Kakek memang tipe orang yang gampang cemas. Setelah menutup telepon, aku mempercepat langkah menuju pasar.

Tepat ketika hendak menyeberang ke sisi lain jalan, aku melihat seorang Pria yang cukup tua. Dia membawa kantong dan selembar kertas. Sepertinya dia ingin menyeberang tapi mobil-mobil tak mau memberi jalan. Aku menghampirinya.

“Pak, Anda baik-baik saja? Biar saya bantu bawa tasnya, ayo kita nyebrang bareng saja pak,” kataku sambil memegang tangannya. Dia menatapku dan tersenyum. Bahkan lebih tepatnya, menyeringai. Dia tampak tampan sekali, walaupun usianya tidak terbilang muda bahkan hampir menyerupai kakekku, ya aku pun tau kakek ku pasti lebih tua darinya. Aku juga baru sadar ternyata orang tua juga bisa sangat menarik dari segi tampilan.

Karena jarang-jarang aku menganggap pria lansia "menarik", tapi ada sesuatu dari auranya yang bikin aku berhenti sejenak.

“Terima kasih, Nak. Hatimu sungguh baik.” kata bapak itu.

Aku tersenyum sebagai jawaban, Setelah melihat kanan—kiri. Kami pun menyeberang bersama. Saat sampai di seberang, aku bertanya apakah dia butuh bantuan lagi.

“Sebenarnya aku mau ke alamat ini,” katanya sambil menyodorkan kertas.

“Ah, saya kurang tahu tempat itu,” kataku jujur.

“Tak apa. Saya duduk di sini saja sambil nunggu bus,” ujarnya dengan senyum.

“Baiklah Pak, saya juga harus pergi ke suatu tempat. Jaga diri ya, Pak,” ucapku sambil melambaikan tangan. Dia pun membalas lambaian itu. Saat aku berjalan menjauh, aku sempat menoleh ke belakang dan melihat dia masih memandangi aku. Sedikit aneh, memang dari segi ekspresi nya. Tapi aku abaikan saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!