Chapter 4

Aku berkedip cepat seperti orang yang silau terkena matahari saat melihat kertas itu. Huruf dan angka yang tertera itu seolah bergerak-gerak seperti ular saat aku menatapnya.

Seratus miliar!!!

Aku tak bisa percaya dengan apa yang kulihat. Bagaimana mungkin kakekku bisa berutang sebanyak ini? Aku menatap mereka. Mereka semua berpakaian serba hitam. Aku tak butuh penjelasan siapa pun—karena aku tahu mereka mafia. Ini pasti kesalahan. Ini tak masuk akal. Aku tak mau mempercayai apa pun yang mereka katakan.

"Seratus miliar? Apa kalian sadar dengan apa yang kalian katakan?" tanyaku pada pemimpin pria-pria itu, sambil mengangkat kepalaku dengan penuh perlawanan.

"Kau bisa tanyakan pada kakekmu," jawabnya dengan nada meremehkan. Aku menoleh ke arah kakekku dan melihat ekspresi serupa di wajahnya. Sebelum kakekku sempat bicara, pemimpin geng itu lebih dulu membuka suara.

"Bawa dia!" katanya pada orang disekitarnya dan mereka langsung bergerak ke arahku.

"Apa yang kalian lakukan?!" seruku saat mereka makin mendekat dan aku mundur. Sebelum aku sempat melawan, mereka menangkap ku dan mulai menarik ku ke arah mobil. Aku berteriak dan menendang. Aku bisa merasakan ketakutan mulai tumbuh dalam diriku, tapi semuanya benar-benar pecah saat aku melihat kakekku jatuh ke tanah. Dia baru saja ambruk. Seperti nya kakek mendapat kekerasan fisik.

"Kakek! Kakek!" Aku berteriak. "Lepaskan aku! Aku harus lihat kakekku!" Aku mendorong sekuat tenaga. Saat itu, mereka sudah hampir sampai di mobil. Mereka langsung mendorong kepalaku masuk ke dalam Rolls Royce.

"Hei, tenanglah, atau kami akan memperlakukanmu dengan kasar," ancam salah satu dari mereka. Aku tak peduli dengan peringatan mereka. Aku sudah kehilangan orang tuaku, dan aku tak siap kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa.

"Kakek!!! Lepaskan aku!" Aku menghantam pintu dan mencoba membukanya, tapi terkunci dari sisi pengemudi.

Air mata panas mengalir di pipiku saat aku sadar bahwa aku memang sedang diculik.

Tiba-tiba dua orang masuk ke dalam mobil. Satu membawa tali, yang satu lagi membawa lakban. Mereka datang untuk membungkam ku. Aku memutuskan untuk melawan mereka, tapi seperti yang bisa kau tebak, aku bukan tandingan dua pria dewasa.

Mereka berhasil mengikatku, dan aku hanya bisa duduk seperti Domba yang siap disembelih saat Qurban. Aku terus menoleh ke belakang, berharap melihat kakekku keluar, tapi dia tak muncul juga. Saat itulah rasa sakit dan duka menyatu, menyebabkan tetesan air jatuh dari mataku.

Aku tak bisa lagi menahan tangisku. Bahkan sempat terpikir bahwa aku bisa mati hanya karena menahan rasa sakit dan tak bisa berteriak.

Aku menangis terus-menerus sampai akhirnya terlelap akibat mata ku yang sembab. Entah berapa lama aku tertidur.

Tapi saat aku berusaha membuka mataku yang sembab ini, dan melirik sedikit kaca mobil yang berada di sebelah ku, aku melihat air mancur dipusat kota—penanda khas setiap orang yang memasuki ibu kota. Jadi aku simpulkan sekarang, kalau aku sedang berada di sekitar ibukota.

Aku hanya terdiam melihat suasana perkotaan diluar mobil, bahkan kesedihan mulai memenuhi pikiran ku lagi. Membuat air mata ini kembali jatuh.

Aku berusaha tidak mengeluarkan isakan dan air mata dengan berusaha tertidur kembali.

"Hei nona, bangun." Mataku langsung terbuka saat seseorang menyentuh kulitku. Ternyata mereka telah mengangkat ku keluar dari mobil dan aku berdiri di depan bangunan besar yang sangat megah.

Tubuhku gemetar seperti daun yang dipaksa gugur oleh angin. Apa yang akan terjadi padaku? Apakah ini akhirku? Aku bertanya-tanya.

Mereka mencabut lakban dari mulutku dan melepaskan tali ikatanku, membuatku bisa bernapas kembali.

"Di mana aku?" tanyaku, tidak kepada siapa pun secara khusus.

"Kita berada di rumah bos," jawab salah satu dari mereka dengan nada datar. Aku terkejut mereka bahkan peduli untuk menjawab. Mereka mengantarku masuk ke dalam rumah dan mataku langsung membelalak.

Rasanya seperti aku baru saja melangkah ke istana. Tempat itu memiliki sofa putih dan emas. Langit-langitnya tinggi menjulang dan lampu gantungnya berwarna emas. Cahaya dari sana menerangi seluruh ruangan, dan lantainya seperti cermin. Aku bisa melihat bayanganku sendiri.

Kemudian mereka pergi menemui bos nya dan menyuruh ku diam disini. Aku juga diperbolehkan duduk disalah satu sofa.

Hal itu membuat ku berkerut, sebenarnya apa yang mereka inginkan dariku. Tapi aku tidak terlalu memikirkan itu. Aku hanya ingin melihat kakek.

Saat duduk menunggu sambil diawasi pria asing yang berdiri cukup jauh dariku. AC membuat tubuhku terasa ringan dan kering, tapi hatiku tidak demikian. Aku cemas tentang keadaan kakek. Aku bertanya-tanya bagaimana keadaannya.

Kecemasanku membuatku tak sadar bahwa aku sendiri berada dalam situasi yang lebih berbahaya. Aku telah diikat, dibungkam, dan dibawa ke tempat asing. Mungkin sebenarnya akulah yang perlu dikhawatirkan.

Beberapa menit kemudian, mereka langsung segera menarik ku dan membawaku ke sebuah ruangan. Kali ini ruangannya lebih gelap dari yang sebelumnya. Kenapa ruangan ini gelap? Untuk apa aku dibawa ke sini? Serangkaian pertanyaan memenuhi pikiranku, namun sayangnya tak satu pun darinya bisa ku jawab.

Mereka hanya berdiri tegak dan diam sambil menatap kedepan, tanpa melihat ku.

Lalu, saat mataku berbalik melihat ke depan, aku melihat seorang pria yang cukup tua. Ia membelakangi ku, menghadap jendela. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Dan kalau aku bilang itu tak membuat tekanan darahku naik, kau boleh sebut aku pembohong yang tak bisa diperbaiki.

"Jangan hanya berdiri di situ, duduklah," katanya tanpa menoleh sedikit pun. Aku menurut, dengan enggan dan rasa takut yang luar biasa. Kini aku bukan sekadar takut, aku benar-benar ketakutan. Aku bisa mendengar detak jantungku seperti genderang perang. Seolah-olah jantungku mencoba keluar dari tubuhku.

Setelah menunggu beberapa menit yang terasa seperti seabad, pria tua itu berbalik dan perlahan berjalan mendekatiku. Setiap langkah yang diambilnya, jantungku bisa merasakannya. Ia berdiri di depanku dan aku pun spontan mundur. Wajahnya terlihat menakutkan, tapi entah kenapa, saat ia mengangkat dagunya dan bicara, aku terpana.

Ia tampak... tampan, pikirku. Tidak, tidak. Ia terlihat familiar. 'Apa aku pernah menemui nya?' Aku mencoba mengingat di mana dan kapan aku pernah melihatnya, tapi otakku seakan berhenti bekerja. Tepat di saat aku hampir menyerah, akhirnya aku ingat.

"Kau...Pria tua yang dari pasar itu!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!