Pria ini bangkit, kemudian menatap Salma yang kemarin sudah sah menjadi istrinya tersebut. Zayad mengusap pelan kepala Salma, "Sayang, bersihkan dirimu."
Salma hanya tertidur saja dan bergerak kecil, "Besok pagi saja, aku lelah."
"Tidak baik tidur dalam keadaan kotor, sayang." tuturnya lembut.
Salma membuka matanya sedikit, semakin mengeratkan selimutnya, "Mandilah lebih dulu, Mas. Nanti aku menyusul, aku lelah dan ini kali pertama melakukannya. Semua terasa sakit." keluhnya dengan manja.
Zayad sedikit tersentak, pria itu pun menghela nafas pelan. "Baiklah, aku mandi lebih dulu."
Salma kembali tidur, dan Zayad hanya menatapnya saja lalu pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah keduanya menunaikan kebutuhan biologis layaknya suami istri.
* * *
Zayad termenung di ruangan makan rumah mewahnya. Di pagi hari setelah shalat Tahajud, seorang diri ia duduk disana menunggu waktunya shalat Subuh tiba. Pria itu terus berzikir, memikirkan banyak hal di dalam kepalanya saat ini.
Pernikahan paksa? Mungkin itulah yang bisa dikatakan untuk situasi Zayad saat ini. Sebagai seorang pria, ia juga sejujurnya punya standarisasi wanita impiannya seperti apa. Namun perjodohan ini, tidak bisa pria itu elakkan. Di dalam keluarganya, memang Zayad anak lelaki sulung dan bisa dikatakan lebih alim di rumah itu.
Jika dikatakan apakah Salma sesuai kriterianya, maka jawabannya tidak sama sekali. Namun orang tuanya sangat menyukai Salma dengan segala kesuksesan wanita muda tersebut. Salma bekerja di perusahaan mendiang ayahnya, sebagai CEO disana. Aura independen woman wanita itu sungguh sangat kental. Memang bisa dikatakan, Salma juga impian para pria di luar sana. Ya, semua wanita sejujurnya sama baiknya.
Zayad menggeleng, "Aku tidak boleh begini. Dia istriku, dan aku akan membimbingnya dengan baik. Aku akan membimbingnya, dengan baik." lirihnya meyakinkan dirinya sendiri.
Tepat di saat itu, adzan subuh terdengar. Zayad segera bangkit menuju kamar, mengira jika sang istri sudah bangun. Sebab pria itu harus menuju mesjid di kawasan rumah mereka. Zayad harus bersiap terlebih dulu. Namun begitu masuk ke dalam kamar, pria itu tersentak melihat Salma yang masih tertidur pulas.
Zayad pun mendekat ke Salma, membangunkan istrinya tersebut dengan lembut, "Salma, bangun dan bersihkan diri, sayang. Sudah akan subuh."
Salma terbangun dan tersenyum, "Baiklah."
Wanita itu berjalan malas menuju kamar mandi, Zayad pun menuntunnya sebab ia mengerti mungkin sang istri kesakitan.
* * *
Dua Bulan Kemudian
"Mas, aku hamil...!"
Salma berteriak senang memeluk Zayad, pria itu pun tersenyum menatap testpack yang diberikan Salma padanya. "Alhamdulillah." tuturnya dengan haru. Zayad mencium kening sang istri, keduanya tampak menyambut kehamilan ini dengan penuh kebahagiaan.
Sejak saat itu, proses kehamilan cukup berat bagi Salma. Wanita tersebut mengidam parah, dan Zayad selalu menemaninya. Namun, ada hal yang membuat Zayad bingung. Saat di pagi hari ini, pria itu membukakan pintu karena kedatangan tamu. Dan mata Zayad membulat menatap Naura sang adik ipar berada di depan pintu rumahnya.
"Assalamu'alaikum, Kak."
Mata Zayad mengerjap, pria itu sedikit menunduk. "Ya, Naura. Ada apa?"
Naura menyerahkan dua bingkis berisi makanan pada Zayad, "Kak Salma telepon tadi, katanya ingin dibelikan rujak kesukaannya dan juga mie goreng. Ini sudah Naura belikan."
Zayad menerimanya, "Salma menyuruh kamu?"
"Iya, Kak. Tidak apa, karena memang Naura tahu kesukaan kak Salma. Semoga kehamilannya lancar, dan semua sehat-sehat."
Zayad mengangguk, "Masuklah dulu, temui kakakmu."
Naura tersenyum getir, sebab ia tahu Salma tadi hanya minta dibelikan makanan itu saja dan berikan pada pembantunya yang membukakan pintu. Namun ternyata yang membuka pintu adalah Zayad.
"Tidak, Kak. Naura ada tugas yang harus dikerjakan. Salam sama kak Salma, permisi."
Naura pergi meninggalkan rumah tersebut. Zayad terus menatap punggung wanita itu. Pria itu kemudian menutup pintu dan menuju kamar sang istri. Terlihat Salma sedang berbaring lemah di atas ranjang efek hamil mudanya. Wanita itu menonton televisi dengan santai.
"Sayang, Naura barusan datang membawakan pesananmu."
Salma sedikit tersentak, "Kamu yang buka pintu, Mas?"
Zayad mengangguk, "Aku duduk di ruang tamu tadi." jawabnya sembari membukakan bingkisan itu, menarik sebuah meja kecil melayani sang istri.
"Kenapa malah suruh Naura? Kan bisa suruh Mas belikan apapun yang Salma mau. Apalagi Mas suami kamu, Mas justru senang jika di suruh membelikan apa yang Salma pengen."
Salma tersenyum tipis dan langsung melahap rujaknya, Zayad tersentak dan menahan tangan sang istri, "Baca doa dulu."
"Sudah dalam hati, Mas."
"Benar?"
"Benar, Mas."
Zayad duduk di sisi ranjang, menatap sang istri, "Ya sudah, jadi lain kali suruh Mas saja."
"Ini belinya di dekat sekolah Naura, Mas. Itu sebabnya aku suruh Naura saja. Daripada Mas yang kesana kan jauh."
Alis Zayad bertaut, "Tapi Naura kemari juga pasti jauh, sayang."
Salma tertawa kecil dan tampak cuek saja menikmati rujaknya, "Sudah biasa itu, Naura juga tidak akan mengeluh. Memang dari dulu begitu."
Zayad tidak paham maksud sang istri, pria itu tidak mau terlalu membahasnya lagi. "Ya sudah, lain kali pokoknya suruh Mas saja. Jangan menyusahkan orang lain, bisa jadi orang lain punya kesibukannya masing-masing. Apalagi Naura akan segera kuliah, kan? Pasti dia sibuk ujian untuk kelulusan."
"Dia itu cerdas, Mas. Wajib juara sekolah. Pasti lulus lah!"
Zayad mengangguk-angguk kecil, pria itu menatap sang istri dan tersenyum menepikan poni Salma. "Sayang, kapan mulai pakai hijab?"
Mata Salma mengerjap, menatap sang suami dengan ekspresi datarnya. Ini memang bukan kali pertama Zayad memintanya, "Belum siap, Mas. Nanti kalau sudah siap kan pasti aku pakai. Beneran belum siap, Mas. Jangan nanti aku pakai terus buka lagi, rasanya nggak pantas saja."
Zayad tersenyum lembut, "Coba dulu saja, jika sudah digunakan pasti terasa lebih nyaman."
Salma menghela nafas malas, "Dikantor saja Ac sampai suhu terendah di ruanganku, Mas. Itu pun aku masih kegerahan, apalagi jika pakai hijab! Nggak tahu panasnya bagaimana. Apalagi aku sedang hamil, dan nanti jika hamil besar pasti lebih gampang kegerahan."
Zayad menghela nafas pelan, "Tapi tetap ingat ya, kelak harus digunakan."
"Iya, Mas."
* * *
Tujuh Bulan Kemudian
Kembali lagi, Naura, Naura dan Naura. Gadis itu kerap datang membawakan apapun permintaan Salma padanya. Kondisi kehamilan Salma sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Dan sebentar lagi wanita itu akan melahirkan bayinya melalui operasi caesar. Hanya tinggal menunggu informasi dari dokter pribadi wanita tersebut.
Kali ini Salma mempersilahkan Naura masuk ke rumahnya, tentu bukan kali pertama juga. Namun jika Zayad tidak ada di rumah.
"Nanti, kamu yang temani aku di rumah sakit ya, Naura. Ibu sibuk gantikan pekerjaanku di perusahaan selama dua bulan nanti."
Alis Naura bertaut, "Hanya dua bulan cutinya, kak? Biasanya Naura pernah dengar tiga bulan."
"Nggak, aku maunya dua bulan saja. Bosan aku jika dirumah terus."
Naura mengangguk mengerti dan tersenyum, "Sudah dapat yang jagakan anak kak Salma nanti? Atau, kak Salma mau berhenti kerja saja. Kan enak, kak. Suami kak Salma pekerjaannya juga bagus. Pasti cukup."
"Enggak, ya! Aku nggak mau berhenti kerja."
Salma kemudian tersenyum menatap Naura, "Naura, kamu saja ya yang jagakan anakku nanti."
Mata Naura mengerjap, "Ya, Naura mau saja. Tapi, Naura kuliah kak."
"Iya juga ya, tapi jika aku butuh sesuatu, kamu saja ya? Daripada orang lain, lagipula aku takut juga anakku dijagakan orang lain. Nanti mau aku titip ke bibi di rumah kita, kan udah lama kerja sama kita sejak ayah masih ada dulu. Jadi bisa kamu lihat-lihat juga."
Naura mengangguk setuju, "Baiklah, kak. Yang penting suami kak Salma sudah setuju juga."
"Harus setuju lah!"
Naura hanya tersenyum saja, keduanya kembali berbincang ringan namun tidak lama. Salma menyuruh Naura pulang sebelum suaminya pulang bekerja. Naura pun akan berjalan seorang diri di kawasan mewah perumahan tersebut. Zayad sering bertepatan baru pulang bekerja, dan sering melihat Naura berjalan seorang diri yang ia tahu jika gadis itu baru saja dari rumahnya.
* * *
Dua Minggu Kemudian
Suara tangis bayi kini memenuhi ruangan operasi. Zayad dan Salma begitu haru menatap kelahiran puteri pertama mereka. Bayi dibersihkan terlebih dulu, kemudian diberikan pada Zayad. Pria itu pun menggendongnya, dan langsung mengadzani bayi perempuannya tersebut dengan penuh hikmat.
Air mata Zayad mengalir tanpa ia sadari, akhirnya ia di amanahi untuk memiliki seorang puteri. Zayad menatapnya lekat, "Maryam Salwa Khoir, nama untukmu puteriku."
Salma tersenyum mengangguk dan setuju dengan nama tersebut.
Beberapa saat terlewati, Salma pun sudah di bawa ke ruangan rawat inapnya. Wanita itu berada disana untuk beberapa hari tentunya. Dan seluruh anggota keluarga dekat tampak berdatangan, terutama ibu dan adik Salma, juga mertua wanita tersebut.
Salma saat ini sedang belajar memberikan Asi untuk puterinya, wanita itu terlihat stres dan meringis sakit. Zayad terus mengusap punggung dan kepala Salma, "Sabar ya, katanya memang tidak mudah."
Salma menghela nafas berat, wanita itu hanya mengangguk saja. Dan kini sudah dua hari terlewati, Salma kerap menyuruh Naura datang. Seperti saat ini, Naura menggendong Maryam yang sedang menangis. Zayad sedang keluar ada urusan sebentar.
"Kak, Maryam pasti haus."
"Buatkan susunya ya, itu disana." tunjuk Salma pada kotak susu di atas sebuah nakas.
Naura pun sedikit tersentak, "Kasih Asi lah, kak."
"Nggak, susu itu saja. Cepat, mumpung Zayad nggak disini."
"Tapi kak—"
"Lama banget sih, Naura. Sini aku saja yang buatkan!"
Salma berdiri sendiri dengan susah payah dan membuatkannya, lalu langsung memberikannya pada Naura. "Kamu kira memberi Asi itu nggak capek apa? Belum tahu aja kamu rasanya melahirkan sama punya anak bagaimana!" tuturnya menatap Naura dengan kesal.
Naura hanya diam, ia memberikan susu tersebut pada Maryam. Naura menatap lekat bayi di gendongannya tersebut dengan mata yang berkaca-kaca, '*Sabar ya, nak. Maryam harus jadi anak yang kuat dan sehat*. *Sama sepertiku*.' batin Naura.
\* \* \*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments