4. Penyelamatan dan Jejak Masa Lalu

Flashback

Malam itu ketika papa, Abang dan Tiara telah berangkat liburan , Alea dengan langkah gontai berjalan menuju ke kamarnya di lantai atas, melewati sebuah kamar yang selalu tertutup rapat, namun malam ini pintu kamar Mama sedikit terbuka, terasa seperti sebuah undangan takdir yang tak bisa ditolak. Alea melangkah masuk, kakinya seolah bergerak sendiri, diiringi debar jantung yang tak beraturan. Ia membiarkan aroma lembut yang samar itu meresap ke dalam dirinya—wangi melati yang samar berpadu dengan aroma bedak bayi yang sudah sangat lama—seolah mencari sisa-sisa jejak wanita yang telah memberinya hidup, namun tak pernah ia kenal. Matanya menjelajahi setiap sudut kamar, mencoba merangkai potongan-potongan cerita dari benda-benda yang terdiam. Sebuah lemari pakaian mahoni yang tertutup rapat, meja rias dengan botol-botol parfum kosong yang berjejer rapi, dan sebuah kursi beludru di sudut, seolah siap untuk diduduki. Tangannya meraih diary bersampul cokelat kayu, permata kecil yang ditemukan tersembunyi di bawah tumpukan bantal sutra yang dingin.

Malam itu, di kamarnya yang sunyi, di bawah temaram lampu baca yang redup, Alea membuka halaman-halaman diary itu dengan jantung berdebar tak karuan. Setiap tulisan tangan Mamanya yang anggun dan rapi, menggoreskan tinta biru di atas kertas yang mulai menguning, terasa seperti bisikan dari masa lalu, menceritakan kisah yang tak pernah ia dengar. Ada tawa, ada air mata, ada harapan dan kekecewaan yang tersirat di setiap kalimat. Di tengah lembaran yang penuh dengan curahan hati, harapan yang sirna, dan impian yang tak pernah terwujud, sebuah foto usang terselip. Sebuah foto yang seolah sengaja disembunyikan. Di sana, terpampang jelas dua orang lelaki yang mengapit seorang gadis muda cantik. Gadis itu, dengan senyum lembut yang menawan dan mata yang teduh—mata yang kini Alea sadari sangat mirip dengan matanya sendiri—adalah Mamanya, Rosalind Rose Callahan. Alea menyentuh wajah Mamanya di foto itu, merasakan gelombang emosi yang tak bernama—rindu, sedih, dan rasa ingin tahu yang membuncah. Di balik foto, dengan tulisan tangan Mamanya yang anggun, tertera nama-nama yang kini terasa begitu penting: Alexander William Callahan, Edward Jones Callahan, Rosalind Rose Callahan.

Rosalind Rose Callahan. Itu nama lengkap Mamanya. Jadi, kedua lelaki ini—Alexander dan Edward—adalah saudara kandung Mamanya. Alea menggigit bibir, dahinya berkerut dalam, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan. Paman Alexander. Nama yang sama yang disebutkan Bi Ijah di dapur tadi siang. Pria yang diasingkan karena menentang pernikahan Mamanya dengan Papa. Pria yang diusir dari keluarga besar Mamanya, yang selama ini selalu bersikap seolah Mama tidak punya saudara, seolah ia adalah anak tunggal. Rahasia ini, yang tersembunyi dalam diary tua, terasa seperti guncangan kecil yang membuyarkan semua yang ia tahu tentang keluarganya, tentang dirinya. Sebuah pertanyaan besar mengganjal di benaknya, membakar rasa penasarannya: di mana Paman Alexander dan Edward sekarang? Dan mengapa Mama tidak pernah menyebut mereka? Mengapa keluarga ini seolah sengaja menghapus jejak mereka? Malam itu, Alea tak bisa tidur, pikirannya terus berputar, mencoba merangkai setiap potongan informasi, setiap bisikan.

Flashback off

Bayangan pertanyaan itu masih membayangi pikiran Alea keesokan harinya, bahkan saat ia berjalan pulang sekolah dengan langkah lesu, meninggalkan mimpi buruk bullying yang baru saja ia alami. Namun, kini ada pertanyaan lain yang jauh lebih mendesak, lebih nyata, dan berlumuran darah. Lelaki yang tergeletak di balik semak-semak, berlumuran darah. Lelaki yang meminta untuk tidak dibawa ke rumah sakit. Lelaki yang mungkin adalah pamannya.

Alea berlutut di samping tubuh Alexander, rasa panik masih mendera, namun kini bercampur dengan tekad aneh yang baru tumbuh. Darah segar terus merembes dari luka sayatan dalam di lengan Alexander, membasahi tanah di sekitarnya, menciptakan genangan merah gelap yang mencolok di antara warna hijau dedaunan. Wajah pucat pasi dan bibir yang membiru itu menandakan bahwa waktu sangat terbatas. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Memanggil ambulans dilarang keras oleh lelaki itu. Membawanya ke rumah sendiri... itu mustahil. Papa dan Abang Kevin akan segera pulang dari liburan mereka dan kemungkinan akan menyebabkan masalah baru yang tak terbayangkan.

Ia menoleh ke sekeliling. Jalanan ini sepi, memang, suara kicauan burung dan desiran angin menjadi satu-satunya melodi, tapi tidak benar-benar tersembunyi. Jika seseorang mencari Alexander, mereka bisa menemukannya di sini. Alea harus cepat, sangat cepat. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba menarik tubuh Alexander yang jauh lebih besar dan berat darinya. Tubuh lelaki itu terasa dingin dan kaku di bawah sentuhannya. Kakinya yang masih sakit dan tubuhnya yang lelah setelah bullying di sekolah, membuat setiap gerakan menjadi perjuangan yang luar biasa. Ia terhuyung, nyaris terjatuh, namun tekad yang kini menyala di matanya lebih kuat dari rasa sakit fisik mana pun. Ia tidak akan menyerah, tidak setelah ia menemukan secercah kebenaran.

"Tunggu, Pak. Saya akan menolong Bapak," bisik Alea, suaranya parau, lebih pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa melakukannya. Ia mengingat kembali pelajaran Biologi tentang titik-titik tekanan dan bagaimana menghentikan pendarahan. Dengan tangan gemetar, ia merobek ujung seragamnya, kain putih itu kini ternoda merah. Ia melilitkan kain itu kuat-kuat pada luka di lengan Alexander, menekan kuat-kuat, mencoba menghentikan aliran darah yang terus-menerus. Rasa amis darah yang pekat memenuhi indra penciumannya, membuat perutnya mual, namun ia memaksakan diri bertahan, memusatkan seluruh perhatiannya pada luka itu.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, setiap detik berdetak lambat dan mencekam, pendarahan sedikit melambat. Alexander mengerang pelan, matanya sedikit terbuka. Tatapannya masih kabur, namun ada kilatan pengakuan samar di sana. "Kau... gadis itu..." bisiknya lemah, suaranya serak. "Rosalind..." Bisikan nama Mamanya dari bibir lelaki asing itu kembali menusuk jantung Alea.

Deg...

Alea terkesiap. Rosalind. Nama Mamanya. Jantungnya berdetak tak keruan, semakin cepat. Lelaki ini menyebut nama Mamanya. Mungkinkah? Kecurigaan yang ditanamkan diary Mamanya kini berdesir menjadi sebuah kemungkinan yang menggetarkan. Mungkinkah ini Paman Alexander? Lelaki di foto usang itu?

"Siapa Bapak?" Alea bertanya, suaranya tercekat, nyaris tidak terdengar. Alea memandang lekat wajah pucat lelaki yang membisikkan nama ibunya.

Alexander tidak menjawab. Ia hanya mengatupkan giginya menahan sakit yang luar biasa, lalu kembali memejamkan mata, napasnya memburu, terdengar seperti suara napas terakhir. Alea tidak bisa menunggu lebih lama. Setiap detik adalah hidup dan mati. Ia harus membawa lelaki ini ke tempat yang lebih aman. Pikirannya berpacu, memilah opsi-opsi yang nyaris tak ada. Ia ingat sebuah klinik kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dari jalan ini, sebuah tempat terpencil yang dikelola oleh seorang dokter tua yang dikenal ramah dan menjaga privasi. Itu adalah satu-satunya pilihannya yang paling masuk akal, tempat di mana ia bisa mendapatkan bantuan tanpa menarik perhatian yang tidak diinginkan.

Dengan perjuangan luar biasa yang melampaui batas fisiknya, Alea menyeret Alexander secara perlahan, sedikit demi sedikit, menyusuri jalan setapak di balik semak-semak menuju klinik. Setiap inci terasa seperti maraton yang tak berujung. Tenaganya terkuras habis, otot-ototnya menjerit protes, namun ia terus bergerak, menggenggam erat tangan Alexander yang dingin. Kemeja Alexander yang berlumuran darah, wajahnya yang penuh memar, dan luka sayatan dalam di lengan itu terasa sangat nyata di tangannya. Aroma darah yang pekat dan bau tanah basah bercampur aduk, menciptakan pengalaman yang mengerikan sekaligus menentukan bagi Alea. Lebih dari sekali ia nyaris menyerah, tubuhnya ambruk, namun gambaran Tiara yang menertawakannya, wajah Papa yang penuh kebencian yang terukir di benaknya, dan bisikan Bi Ijah tentang Paman Alexander, seolah memberinya kekuatan dari dalam, kekuatan yang tak pernah ia tahu ia miliki.

Akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga terakhirnya, Alea berhasil menyeret Alexander hingga ke pintu klinik yang sederhana. Plang kecil bertuliskan "Klinik dr. Surya" tampak usang. Dokter tua itu, dengan kacamata bertengger di ujung hidung dan rambut yang memutih, terkejut melihat pemandangan di depannya, namun tanpa banyak bicara, ia segera membantu Alea membopong Alexander masuk dan membaringkannya di tempat tidur periksa.

"Cepat! Kita harus hentikan pendarahannya!" perintah dokter itu, tangannya sigap memeriksa luka. Ia melepas balutan seadanya dari seragam Alea. "Tulang kaki dan tangannya patah, juga beberapa tulang rusuknya retak. Luka sayatannya dalam sekali. Dia butuh transfusi darah secepatnya. Golongan darahnya..." Dokter itu mengecek gelang identitas Alexander yang nyaris tak terlihat, lalu mengernyit. "O rhesus negatif. Golongan darah langka."

Jantung Alea berdesir, merasakan denyutan kuat di telinganya sendiri. O rhesus negatif. Itu golongan darahnya. Golongan darahnya yang juga langka, sama dengan yang tertera di kartu identitasnya di dompet. Sebuah kebetulan? Atau lebih dari itu? Sebuah kebetulan yang terlalu sempurna untuk diabaikan. Matanya kembali tertuju pada wajah Alexander yang pucat dan dipenuhi memar. Meski berlumuran darah dan kotor, ada kemiripan yang mencolok di sana dengan wajahnya. Garis rahang yang kokoh, terutama bentuk mata yang serupa dengan matanya sendiri dan mata Mama di foto, bahkan bentuk hidung yang tegas yang Alea rasa ia kenali. Kemiripan itu, kini menjadi sangat jelas, menusuk benaknya bagai kilatan petir, mengkonfirmasi dugaan yang bergejolak dalam dirinya. Dan kemudian, matanya terhenti pada mata Alexander yang terpejam. Meski tertutup, Alea tahu persis warna itu. Hitam pekat, sepekat onyx—sama persis dengan warna matanya, dan warna mata Mama di foto.

"Saya... saya golongan darah O rhesus negatif, Dok," ucap Alea, suaranya sedikit gemetar, namun keyakinannya tak tergoyahkan. "Saya bisa mendonorkan darah saya."

Dokter itu menatap Alea dengan ekspresi terkejut, namun segera mengangguk, pragmatis. "Itu akan sangat membantu, Nak. Kita harus segera bertindak. Ini keajaiban."

Saat darah Alea mulai mengalir melalui selang transparan, masuk ke dalam tubuh Alexander, sebuah ikatan tak kasat mata seolah terjalin. Bukan hanya ikatan fisik dari darah yang mengalir, tetapi juga ikatan takdir dan rahasia yang kini mulai terungkap. Alea menatap Alexander yang kini terbaring tak berdaya. Ia tidak tahu mengapa lelaki ini terluka parah, siapa yang mencarinya, atau mengapa ia begitu misterius. Namun satu hal ia tahu pasti: ini adalah keluarganya. Ini adalah salah satu Pamannya , satu-satunya kerabat dari pihak Mamanya yang ia temukan. Dan ia, Alea, tidak akan membiarkannya mati, tidak setelah ia menemukan kebenaran yang begitu besar. Alexander kini adalah satu-satunya jembatan ke masa lalu Mamanya, dan mungkin, ke kebenaran tentang siapa dirinya yang sebenarnya, serta jalan untuk membalas dendam. Ancaman yang mengintai Alexander terasa begitu nyata, dan Alea, dengan menyelamatkannya, ia telah melangkah lebih jauh ke dalam dunia yang berbahaya yang tak diketahuinya, dunia yang mungkin akan menjadi medan balas dendamnya. Ia tidak akan kembali menjadi Alea yang dulu. Babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai.

Episodes
1 1. Alea yang malang
2 2. Bisikan Rahasia di Dapur Sunyi
3 3. Jejak Luka dan Pertemuan Takdir
4 4. Penyelamatan dan Jejak Masa Lalu
5 5. Ikrar dalam Kebisuan dan Api Dendam
6 6. Dingin yang Baru
7 7. Langkah Pertama Menuju Kekuatan
8 8. Magnet Tak Terduga
9 9. Badai yang Menghebat
10 10. Obsesi yang Berkobar dan Perangkap Tiara di Gerbang Sekolah
11 11. Badai yang Mendekat
12 12. Taring yang Tersembunyi
13 13. Jaringan Bayangan dan Pertemuan Takdir
14 14. Simpul Takdir yang Tersembunyi
15 15. Kepolosan, Luka Tersembunyi, dan Peralihan Takhta
16 16: Badai yang Kembali dan Perubahan Alea
17 17. Api Kemarahan yang Membara
18 18. Bara Api Penghancur di Tengah Pesta
19 19. Tirai Kebohongan yang Terkuak
20 20. Kehangatan Baru dan Awal Isolasi
21 21. Cinta yang Tumbuh dan Retaknya Kerajaan
22 22. Kekacauan Digital dan Api Cemburu
23 23. Perburuan Tanpa Jejak dan Api Cemburu yang Membakar
24 24. Nostalgia Rasa dan Kebenaran yang Terkuak
25 25. Pengakuan Hati dan Gelombang Kehancuran
26 26. Ujian Akhir, Investor Misterius, dan Sepenggal Kerinduan
27 27. Jebakan Sang Pemberontak dan Pertarungan di Jalanan
28 28. Pertolongan Tak Terduga dan Omelan Panjang
29 29. Interogasi, Gema Ketakutan, dan Gombalan Maut
30 30. Bucin Level Akut dan Bangkitnya Sang Pembalas
31 31. Taring Sang Ratu dan Neraka Tiara Dimulai
32 32. Balas Dendam yang Dingin dan Kejutan Manis
33 33. Kegelapan Tiara dan Cahaya Alea
Episodes

Updated 33 Episodes

1
1. Alea yang malang
2
2. Bisikan Rahasia di Dapur Sunyi
3
3. Jejak Luka dan Pertemuan Takdir
4
4. Penyelamatan dan Jejak Masa Lalu
5
5. Ikrar dalam Kebisuan dan Api Dendam
6
6. Dingin yang Baru
7
7. Langkah Pertama Menuju Kekuatan
8
8. Magnet Tak Terduga
9
9. Badai yang Menghebat
10
10. Obsesi yang Berkobar dan Perangkap Tiara di Gerbang Sekolah
11
11. Badai yang Mendekat
12
12. Taring yang Tersembunyi
13
13. Jaringan Bayangan dan Pertemuan Takdir
14
14. Simpul Takdir yang Tersembunyi
15
15. Kepolosan, Luka Tersembunyi, dan Peralihan Takhta
16
16: Badai yang Kembali dan Perubahan Alea
17
17. Api Kemarahan yang Membara
18
18. Bara Api Penghancur di Tengah Pesta
19
19. Tirai Kebohongan yang Terkuak
20
20. Kehangatan Baru dan Awal Isolasi
21
21. Cinta yang Tumbuh dan Retaknya Kerajaan
22
22. Kekacauan Digital dan Api Cemburu
23
23. Perburuan Tanpa Jejak dan Api Cemburu yang Membakar
24
24. Nostalgia Rasa dan Kebenaran yang Terkuak
25
25. Pengakuan Hati dan Gelombang Kehancuran
26
26. Ujian Akhir, Investor Misterius, dan Sepenggal Kerinduan
27
27. Jebakan Sang Pemberontak dan Pertarungan di Jalanan
28
28. Pertolongan Tak Terduga dan Omelan Panjang
29
29. Interogasi, Gema Ketakutan, dan Gombalan Maut
30
30. Bucin Level Akut dan Bangkitnya Sang Pembalas
31
31. Taring Sang Ratu dan Neraka Tiara Dimulai
32
32. Balas Dendam yang Dingin dan Kejutan Manis
33
33. Kegelapan Tiara dan Cahaya Alea

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!