Suara deru taksi online merobek keheningan siang yang terasa membeku. Di dalam mobil, Alea mencengkeram tas kainnya erat, jemarinya memutih di antara buku-buku jarinya yang ramping. Pandangannya terpaku pada rumah mewah yang semakin mendekat, menjulang angkuh di balik pagar tinggi berukiran artistik. "Bukan rumah," bisik Alea dalam hati. Lebih mirip penjara berlapis emas. Sebuah tempat di mana ia tak pernah merasakan kehangatan, hanya dinginnya pengabaian yang menusuk sampai ke tulang.
Di sampingnya, Bi Ijah, pengasuh yang telah merawatnya sejak lahir, memeganginya dengan sigap. Tangannya yang keriput dan hangat mengusap lembut punggung Alea, isyarat kepedihan yang tak terucap. Tatapan wanita paruh baya itu penuh kekhawatiran, sesekali melirik bekas luka lebam keunguan di lengan Alea, dan memar kebiruan yang masih jelas terlihat di pipi kanannya—sebuah souvenir mengerikan dari neraka yang baru saja ia lalui di sekolah. Bekas pukulan, tendangan, dan ejekan yang masih terngiang. Namun, luka-luka fisik itu, betapa pun perihnya, tak seberapa dibandingkan dengan nyeri batin yang telah menemaninya sejak ia terlahir.
Sejak hari pertama ia menghirup napas dunia, Papa telah mengukir cap kebencian di dahinya. "Kau penyebabnya, Alea," suara Papa akan selalu terngiang dalam benaknya, mengulang-ulang kalimat kejam yang telah menjadi kutukan seumur hidupnya. Kalimat itu bagaikan mantra kegelapan yang diucapkan dengan penuh amarah setiap kali matanya tak sengaja bertemu dengan Alea, bahkan di balik pandangan acuh tak acuhnya. "Kalau saja kau tidak pernah lahir, Mamamu tidak akan mati." Kalimat itu bukan bisikan penuh penyesalan seorang suami yang berduka, melainkan pernyataan gamblang, diucapkan tanpa nuansa iba, di hadapan siapa pun yang ingin mendengarkan, seolah ia ingin seluruh dunia tahu betapa ia membenci kelahiran anak bungsunya ini.
Alea masih ingat samar-samar bagaimana Ayah selalu memalingkan wajah setiap kali Bi Ijah mencoba mendekatkannya, bahkan saat ia masih bayi merah. Tidak pernah sekalipun sentuhan lembut, tidak pernah satu pun pelukan, tidak pernah satu pun tatapan kasih sayang. Papa hanya memandang Alea sebagai hantu, pembunuh tak berdosa yang merenggut nyawa wanita yang dicintainya. Empat belas tahun telah berlalu sejak hari kelahirannya, sejak hari Mamanya meninggal. Dan selama empat belas tahun itu pula, kebencian Papa tak pernah pudar, justru mengakar semakin dalam di setiap sudut rumah ini, meracuni setiap relasi, setiap harapan.
Taksi berhenti mulus di depan gerbang utama. Otak Alea sejenak memproses, ia baru saja keluar dari rumah sakit, sendirian, dijemput oleh Bi Ijah. Tidak ada Papa, tidak ada Abang Kevin. Tidak ada yang peduli untuk menjemputnya. Lagi. Setelah berhari-hari terbaring di ranjang putih rumah sakit, tubuhnya masih terasa lemas, namun ia berharap setidaknya ada sedikit keheningan, atau mungkin, kelegaan semu saat tiba di rumah.
Suara riuh dan gelak tawa langsung menyergap indra pendengarannya. Ruang keluarga tampak ramai, namun bukan dengan sambutan untuk Alea. Itu adalah suara mereka, suara yang selalu ia dengar tanpa pernah menjadi bagian darinya.
Alea dan Bi Ijah melangkah masuk, namun langkah Alea terhenti di ambang pintu ruang keluarga. Pemandangan di depannya sukses membuat hatinya kembali mencelos, seperti dicengkeram tangan es. Di ruang keluarga, Papa dan Abang Kevin tengah asyik bercanda ria, tawa mereka mengisi ruangan, terdengar begitu asing dan kejam di telinga Alea. Di antara mereka Tiara duduk dengan nyaman, menjadi pusat perhatian. Gadis itu, dengan rambut panjang terurai dan senyum ceria, selalu berhasil merebut panggung. Tak ada sapaan untuk Alea, tidak ada kursi kosong yang disiapkan, tidak ada panggilan yang hangat, seolah keberadaannya tak pernah terpikirkan. Alea hanya bisa menyaksikan, berdiri mematung di sisi ruangan, bagai patung yang tak terlihat.
Ia mengamati Papa, yang mengenakan kemeja golf bermerek, tampak sibuk memeriksa daftar barang bawaan di tangannya, sesekali melirik Tiara yang cemberut. "Jangan merajuk dong, Sayang," Papa membujuk, nada suaranya lembut, penuh kasih sayang, begitu kontras dengan kekejaman yang selalu ia tunjukkan pada Alea. "Papa kan sudah bilang, setelah ini kita langsung berangkat ke vila. Semua sudah siap kok, bahkan dress yang kamu mau sudah Papa belikan dua. Yang limited edition, khusus untuk kamu."
Sementara itu, Abang Kevin, dengan gaya santainya, berdiri kemudian melangkah sambil tertawa lepas dan membantu Tiara yang bangkit dan meraih kopernya, tapi Kevin melarang Tiara, Kevin mengambil dan memasukkan koper-koper bermerek ke dalam mobil SUV yang terparkir angkuh di halaman. Suara riuh dan gelak tawa mereka memenuhi udara, seolah Alea tidak pernah ada di sana, tidak pernah pulang dari rumah sakit dengan tubuh babak belur, tidak pernah membutuhkan perhatian sekecil apa pun.
Tidak ada satu pun tatapan yang mengarah padanya, tidak ada pertanyaan tentang kondisinya, bahkan tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari keberadaan Alea di ambang pintu. Alea berdiri membeku, memegang tas kecilnya erat-erat, kuku-kukunya memutih. Hatinya mencelos, luka di fisiknya terasa tidak seberapa dibandingkan dengan nyeri yang menggerogoti jiwanya. Ini rumahnya, tempat ia seharusnya merasa aman dan dicintai, namun ia selalu merasa asing. Ia bukan bagian dari mereka. Ia hanyalah sebuah bayangan, hantu yang tak diinginkan.
Tepat pada saat itulah, Bi Ijah muncul dari balik tembok, tatapannya sendu, mengamati pemandangan di ruang makan. Ia melihat dengan jelas Alea yang berdiri mematung di ambang pintu, wajahnya memancarkan luka yang begitu dalam, matanya redup dan hampa. Tanpa berkata apa-apa, Bi Ijah melangkah mendekat dan mengusap lembut bahu Alea. Sentuhan kecil itu, satu-satunya kehangatan yang Alea terima di rumah itu, cukup untuk membuatnya sadar dari lamunan pahitnya.
Alea menoleh, menatap Bi Ijah dengan mata berkaca-kaca. Seolah mengerti rasa sakitnya, Bi Ijah mengangguk pelan, seolah mengatakan, "Sudah, jangan dilihat lagi." Alea menghela napas panjang, berbalik, dan pergi menuju dapur, diikuti oleh Bi Ijah. Di rumah megah nan sunyi ini, di antara kemewahan yang membutakan, hanya Bi Ijah dan Mang Udin, suaminya yang berprofesi sebagai sopir pribadi keluarga, yang peduli dan menyayanginya tanpa syarat. Di dapur, aroma masakan sederhana—sup ayam hangat dan nasi putih—yang telah disiapkan Bi Ijah menyambut Alea, sebuah oasis kecil di tengah gurun pengabaian.
Di dapur, aroma sup ayam hangat dan nasi putih mengepul, kontras dengan dinginnya sambutan yang diterima Alea di ruang keluarga. Bi Ijah dengan cekatan menyiapkan piring untuk Alea, tatapannya penuh perhatian. Alea duduk di salah satu kursi, kepalanya tertunduk lesu. Meskipun perutnya lapar, nafsu makannya terasa menguap melihat adegan kemewahan dan kasih sayang yang diterima Tiara. Bi Ijah meletakkan piring di depannya, lalu duduk di seberangnya, mengamati Alea dengan raut prihatin.
"Makan, Non. Biar cepat pulih," kata Bi Ijah lembut, suaranya seperti balutan perban untuk luka di hati Alea. Ia tahu, Alea bukan hanya lapar fisik, tapi juga lapar akan kasih sayang.
Alea mengaduk-aduk sup nya, pikirannya masih berkelana. "Bi, kenapa... kenapa Papa selalu begitu?" bisiknya, suaranya parau menahan tangis yang kembali mendesak. "Kenapa Papa membenciku? Aku kan tidak minta lahir." Pertanyaan itu adalah jeritan jiwanya yang tak pernah terjawab.
Bi Ijah menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh, seolah kembali ke masa lalu yang penuh rahasia. Ia memandang Alea dengan sorot iba, seolah ada beban berat di hatinya yang ingin ia bagi. "Non Alea, sebetulnya... ada banyak hal yang tidak Non tahu." Bi Ijah berhenti sejenak, melirik ke arah pintu ruang makan yang agak jauh, memastikan suara mereka tidak akan sampai ke telinga mereka. Di rumah ini, dinding punya telinga, dan rahasia adalah permata yang harus dijaga rapat.
"Sejak awal, Papa Non itu bukan dari keluarga baik-baik, Nak." Suara Bi Ijah mengecil, nyaris seperti bisikan. "Dia... dia cuma anak pungut tukang kebun di rumah keluarga Mama Non dulu." Bola mata Alea melebar. Anak pungut tukang kebun? Sepanjang hidupnya, Papa selalu tampil angkuh, sombong, seolah darah bangsawan mengalir dalam nadinya. Alea selalu berpikir keluarganya adalah kalangan atas sejak dulu. Fakta ini sungguh mengejutkan, menggores lapisan-lapisan kepalsuan yang selama ini ia yakini. "Dia berhasil memikat hati Mama Non, dan meski ditentang habis-habisan oleh keluarga besar Mama Non, mereka tetap menikah. Keluarga besar Mama Non malu sekali, Non. Apalagi Mama Non adalah anak perempuan satu-satunya dari keluarga terpandang itu."
Bi Ijah mendekat, merendahkan suaranya lagi, seolah mengucapkan sebuah sumpah rahasia. "Tapi itu belum seberapa, Non..." Ia menarik napas dalam. "Sebenarnya, Non punya paman. Adik kandung Mama Non. Namanya Alexander."
Nama itu asing di telinga Alea. Paman? Ia tidak pernah tahu ada kerabat dari pihak Mama. Keluarganya selalu bicara seolah Mama tidak punya saudara, tidak punya latar belakang. "Dia orang yang paling keras menentang pernikahan itu, Non," lanjut Bi Ijah. "Dia tahu betul kelakuan Papa Non itu bejat, busuk dari dalam. Dia berusaha menyelamatkan Mama Non, dia mencoba meyakinkan, tapi tidak ada yang mendengarkan. Mama Non sangat mencintai Papa Non, Non. Buta oleh cinta, mungkin." Rasa getir terdengar dalam suara Bi Ijah. "Karena penentangannya itu, Paman Alexander akhirnya diasingkan, dianggap bukan bagian dari keluarga. Sejak saat itu, tidak ada yang tahu kabarnya. Keluarga besar juga seolah melupakan dia, bahkan tidak ada satu pun nama Alexander yang disebut-sebut dalam acara keluarga."
Alea mendongak, matanya membulat sempurna. Sebuah gelombang kejut menjalar di sekujur tubuhnya. Paman Alexander... pria yang menentang Papanya. Pria yang mungkin tahu lebih banyak. Bisikan Bi Ijah bagai kunci yang membuka sebuah pintu gelap, menunjukkan bahwa ada lebih dari sekadar pengabaian dalam kisah keluarganya. Ada rahasia, pengasingan, kebohongan, dan mungkin pula kejahatan yang telah lama terkubur. Dan ia, Alea, sang anak yang tak diinginkan, kini memiliki secercah harapan untuk menggalinya.
Bi Ijah menyadari ekspresi terkejut dan marah Alea. Ia menyesal telah keceplosan, namun rahasia itu sudah terlalu lama ia simpan sendiri. Ia hanya ingin Alea tahu bahwa ia tidak sendirian, bahwa ada alasan di balik kebencian dan perlakuan tidak adil yang Alea terima. Setidaknya, Alea berhak tahu kebenaran.
Dengan informasi baru yang bergejolak di benaknya, Alea menghela napas panjang. Ada luka di hatinya, namun kini luka itu disertai api amarah dan rasa penasaran yang membakar. Ia memaksakan diri. Meski terasa hambar dan sulit ditelan, ia kembali meraih sendoknya. Ia harus kuat. Ia harus memulihkan kondisinya, bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk mencari tahu kebenaran di balik semua ini. Ia tidak bisa lagi hanya menjadi korban yang meratap. Janji itu, yang ia bisikkan dalam kegelapan kamarnya, kini terasa semakin nyata dan mendesak.
Bi Ijah tersenyum tipis melihat Alea kembali makan. Ia duduk sabar, menemani Alea tanpa henti, memastikan Alea menghabiskan setiap suap. Ia bahkan mengambilkan potongan daging ayam kecil dari sup nya, menaruhnya di piring Alea. Bi Ijah mengawasinya dengan mata penuh kasih, memastikan ia kenyang. Hanya makanan sehat dan bergizi yang Bi Ijah siapkan secara khusus, berharap nutrisi itu tak hanya memulihkan fisik Alea yang babak belur, tapi juga menguatkan semangatnya yang rapuh. Ia tahu, di rumah ini, ia adalah satu-satunya benteng pertahanan Alea, satu-satunya yang akan berdiri di sisinya.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil meraung pergi dari halaman depan. Suara tawa riang Tiara terdengar terakhir kali, disusul suara Papa dan Abang Kevin yang pamit, sebelum akhirnya sunyi menyelimuti rumah besar itu. Mereka telah pergi, memulai liburan mewah mereka, meninggalkan Alea sendirian seperti biasa. Hening yang tercipta setelah kepergian mereka terasa begitu kontras, namun juga membawa sedikit kelegaan aneh bagi Alea. Setidaknya, untuk sementara waktu, ia tidak perlu menghadapi tatapan dingin atau pengabaian terang-terangan mereka.
Dengan perasaan campur aduk—lega karena kesunyian, namun juga perih karena pengabaian yang tak pernah usai—Alea berjalan lunglai menuju kamarnya. Langkahnya terasa berat, menyeret luka yang belum sembuh. Namun, saat melewati sebuah pintu yang selalu tertutup rapat dan terkunci—kamar Mamanya—ia terhenti. Anehnya, hari ini pintu itu terlihat sedikit terbuka, membiarkan celah cahaya menerobos masuk ke koridor yang biasanya gelap. Seolah sebuah undangan misterius, atau sebuah takdir yang telah menunggu.
Rasa penasaran yang tak terbendung membimbing kakinya. Selama ini, kamar Mamanya adalah area terlarang, sebuah museum duka yang tak boleh disentuh. Alea ragu sejenak, namun dorongan untuk mencari tahu tentang wanita yang telah memberinya hidup, dan yang telah dirampas darinya, jauh lebih kuat. Ia mendorong pelan pintu itu, dan sebuah suara derit pelan memecah keheningan.
Alea melangkah masuk. Debu tipis melapisi perabot antik, namun aroma lembut khas Mamanya masih samar tercium di udara, membawa sensasi asing namun akrab. Aroma bunga melati bercampur dengan wangi bedak bayi yang samar, sebuah perpaduan yang tak pernah ia kenal langsung, namun kini terasa begitu menenangkan. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan. Sebuah lemari pakaian besar yang seolah menyimpan ribuan rahasia. Meja rias yang dipenuhi botol-botol parfum kosong.
Di dinding di atas ranjang, terpampang sebuah foto ukuran besar yang dibingkai apik. Mamanya terlihat tersenyum anggun, rambutnya terurai indah, perutnya membuncit pertanda tengah mengandung, diapit oleh Papa yang tersenyum bangga—senyum palsu yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Alea—dan Abang Kevin kecil yang lucu, memeluk kaki Mamanya. Alea menatap foto itu, menelusuri wajah Mamanya yang hanya ia kenal dari gambar. Entah mengapa, senyum Mama di foto itu terasa mengandung kesedihan tersembunyi, sebuah firasat yang kini terasa begitu nyata setelah mendengar cerita Bi Ijah. Apakah Mama juga menderita di balik senyum itu? Apakah ia juga menyadari kebejatan Papa?
Alea berjalan mendekat, menyentuh tepi tempat tidur besar yang rapi dengan seprai berwarna gading. Ia duduk di sana, membiarkan keheningan kamar meresap ke dalam dirinya, merasakan aura Mamanya yang tak pernah ia sentuh. Saat itulah, matanya tak sengaja menangkap sesuatu di bawah tumpukan bantal sutra di sudut tempat tidur, seolah tersembunyi dengan sengaja namun kini terpapar cahaya. Sebuah benda persegi panjang. Tangannya terulur, jemarinya yang masih sedikit gemetar menyentuh permukaannya.
Itu adalah sebuah diary bersampul cokelat kayu, tampak tua namun terawat, dengan pengunci kecil dari kuningan yang sudah sedikit pudar. Jantung Alea berdebar kencang. Dengan perasaan ragu bercampur penasaran yang membuncah, diambilnya diary itu. Jemarinya menyusuri ukiran nama yang samar di sampul depan, tersembunyi di balik hiasan bunga kering. Mama. Ini adalah diary Mamanya. Sebuah harta karun, sebuah pintu menuju masa lalu, mungkin saja kunci untuk memahami seluruh kebohongan yang telah membungkus hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments