Bab 5

Hari masih pagi saat mobil mereka berhenti di depan Museum MACAN, Kebon Jeruk. Lily turun lebih dulu, mengenakan blouse linen putih yang longgar, kulot sage green, dan sneakers putih yang bersih. Rambutnya dikuncir separuh, wajahnya polos tanpa makeup tapi tetap bersinar segar. Di pundaknya tergantung totebag kanvas bergambar ilustrasi perempuan membaca buku.

Andre menyusul di belakangnya, santai dalam kemeja hitam yang lengannya digulung dan celana chino krem. Ia menguap kecil—entah karena ngantuk atau karena ini ide yang tidak biasa untuk “honeymoon”.

“Bisa-bisanya kamu ngajak ke museum di hari pertama nikah,” gumamnya saat mereka melewati gerbang kaca otomatis.

Lily menoleh sekilas. “Daripada duduk-duduk di hotel dan pura-pura jadi pasangan romantis. Mendingan lihat seni dan berpikir kita masih waras.”

Andre terkekeh pelan. “Jadi kita waras?”

“Kita cukup waras untuk tahu kita gak waras,” balas Lily cepat.

Mereka memasuki lobi utama museum—ruang luas berlangit tinggi, putih bersih dengan pencahayaan alami. Tak banyak pengunjung hari itu, hanya beberapa pasangan lansia dan dua anak muda yang sibuk berfoto. Museum terasa lapang, sunyi, dan sangat… bukan tempat biasa untuk pasangan yang baru menikah kemarin.

...****************...

Mereka melangkah ke galeri pameran utama. Dinding putih dipenuhi lukisan kontemporer karya seniman perempuan Asia Tenggara. Ada potret wanita dengan tubuh terfragmentasi, ada yang berbentuk simbol rahim berwarna merah darah, dan beberapa karya abstrak yang membuat Andre terdiam cukup lama.

“Yang ini kayak… isi kepala tante-tante keluarga kita waktu lihat kita duduk bareng semalam,” ujar Lily sambil menunjuk lukisan berwarna-warni dengan garis-garis bersilangan acak.

Andre melirik. “Susah dibaca, penuh penilaian, dan gak tahu maksudnya tapi tetap merasa paling benar?”

“Exactly,” jawab Lily dengan senyum sinis.

Mereka berjalan berdampingan. Beberapa kali Andre mengangguk sok paham di depan lukisan abstrak, dan Lily memutar bola mata. “Jangan pura-pura ngerti deh. Kamu tadi aja mikir ‘monokrom’ itu nama seniman.”

Andre membalas cepat, “Setidaknya aku gak nanya ‘ini bisa dibeli gak?’ kayak kamu waktu di toko buku kemarin.”

“Itu buku, Andre. Buku emang buat dibeli.”

“Lukisan juga bisa dibeli. Tuh kan, kamu gak konsisten.”

Lily menepuk lengan Andre pelan. “Oke, kamu menang. Tapi cuma karena aku lapar.”

...****************...

Mereka masuk ke ruang instalasi berikutnya—ruang reflektif berisi cermin lantai dan cahaya putih yang menyinari dari sudut tertentu, menciptakan ilusi seperti berjalan di langit.

“Tempat ini seperti hidup di bawah ekspektasi keluarga,” gumam Lily.

“Gak ada dasar, tapi semua orang berharap kita gak jatuh,” timpal Andre.

Lily menoleh, menyipitkan mata. “Jangan pintar-pintaran kutipan deh. Kamu kayak kakek-kakek motivator Twitter.”

Andre tertawa pelan. “Setidaknya bukan ayahmu.”

“Touché,” balas Lily, lalu diam sejenak.

Di tengah ruangan, mereka berhenti. Refleksi mereka tampak utuh di bawah kaki—dua sosok yang dari luar terlihat rapi dan cocok, padahal isinya masih teka-teki.

Andre, pelan-pelan, mengangkat tangan dan menyentuh punggung tangan Lily.

Sentuhan itu ringan, nyaris seperti angin. Tapi Lily reflek menariknya, alisnya naik.

Andre buru-buru menarik tangannya. “Sorry. Reflek. Aku kira kita lagi syuting film festival.”

Lily menahan senyum. “Kalau itu film festival, pasti aku tokoh utamanya yang bunuh cowoknya di akhir.”

Andre mengangguk. “Noted. Jangan kasih kamu pisau.”

...****************...

Setelah berkeliling, mereka duduk di warung kopi kecil dekat taman samping museum. Tempatnya sederhana—meja kayu tua, bangku logam, dan dua gelas keramik berisi affogato untuk Lily dan kopi hitam Vietnam untuk Andre.

“Mau tahu fakta menyedihkan?” tanya Lily sambil mengaduk affogatonya.

Andre menyeruput kopi. “Kamu anak kedelapan?”

“Lucu,” jawab Lily sinis. “Fakta menyedihkan: ini pertama kalinya aku duduk begini, ngobrol lepas sama ‘suami’ aku. Tanpa tekanan keluarga. Tanpa tatapan media.”

Andre menoleh. “Mau aku kasih fakta menyedihkan versi aku?”

“Tembak.”

“Aku lebih nyaman ngobrol sama kamu hari ini… daripada saat aku lamar mantan pacarku lima tahun lalu.”

Lily nyaris tersedak. “Kamu pernah lamar orang?”

Andre mengangguk. “Ditolak.”

“Kamu ngelamar pake presentasi PowerPoint ya?”

“Justru karena gak pakai. Mungkin itu salahku.”

Mereka tertawa lagi. Ringan. Konyol. Dan hangat, tapi tetap dengan batas.

...****************...

Mereka berjalan kembali ke mobil saat langit Jakarta mulai berwarna keemasan. Suasana jalanan ramai, tapi mereka tetap berjalan santai.

“Kamu sering ngelucu ya?” tanya Lily sambil menyipitkan mata.

“Bukan lucu. Itu self-defense mechanism,” jawab Andre datar.

“Cocok jadi stand-up komedian. Gak bahagia tapi bisa bikin orang ketawa.”

“Cocok sama kamu, pemilik dua restoran tapi gak bisa goreng telur.”

“Eh! Aku bisa goreng telur! Bentuknya aja abstrak,” seru Lily sambil mendorong pelan lengan Andre.

Andre menahan tawanya. “Jangan-jangan itu lukisan yang tadi kamu bilang bisa dibeli.”

Lily mendesah keras. “Astaga, aku menyesal ngajak kamu ke museum.”

“Too late. Sekarang kamu harus ajak aku ke tempat yang lebih menantang.”

“Kayak?”

Andre tersenyum. “Toko furniture. Biar kita pura-pura nyari sofa bareng dan bikin pegawai bingung.”

Lily diam sesaat, lalu tertawa lepas.

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, tawa Lily terdengar seperti dirinya sendiri.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Wirda Wati

Wirda Wati

kereeen

2025-06-08

0

R Melda

R Melda

menyimak,aku suka

2025-06-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!