Gedung milik keluarga Halimansyah berdiri megah di kawasan Darmawangsa, sebuah rumah besar bergaya modern kolonial dengan fasad berbalut batu alam dan jendela-jendela tinggi dari kayu jati asli. Halamannya rapi, dihiasi pohon-pohon ketapang kencana dan air mancur kecil yang terdengar gemericik halus—damai di luar, namun penuh tekanan di dalam.
Lily Halimansyah duduk sendirian di ruang tengah, mengenakan blouse satin putih berlengan lonceng dan celana kulot berwarna khaki yang jatuh anggun. Rambut panjangnya dikepang longgar ke samping, dan wajahnya yang biasanya tenang kini tampak lelah menahan emosi.
Beberapa jam yang lalu, ayahnya, Herianto Halimansyah, mengamuk hebat di ruang kerjanya. Suara benda-benda dibanting dan makian tidak bisa ditahan meski staf rumah berusaha menjauh.
“Anak itu sudah gila! Menolak perjodohan seperti ini? Apa dia pikir bisa dapat pasangan lebih baik dari cucu Suthajningrat?!” bentaknya kepada sekretarisnya.
Yang dimaksud tentu saja Bowo Suthajningrat, pria muda pewaris sah dinasti properti Suthajningrat, yang beberapa minggu terakhir sedang dijajaki untuk dijodohkan dengan Lily. Hubungan mereka dijembatani bukan hanya oleh nama besar, tetapi juga kebutuhan politis dari dua keluarga yang ingin mempertahankan pengaruh.
Namun Bowo ternyata tidak sepatuh yang dibayangkan. Ia menolak secara terang-terangan. Bahkan dikabarkan mengatakan, “Aku mencintai Sophie, dan aku tidak akan menjual hidupku demi bisnis kotor kalian.”
Itu memalukan.
Lebih dari memalukan. Itu menghancurkan rencana Herianto.
Lily hanya duduk di sofa panjang abu-abu yang membingkai ruangan, menyaksikan ayahnya meluapkan amarah. Di dalam dirinya, ia tidak peduli siapa yang akan menjadi suaminya. Tapi ia peduli pada cara dia diperlakukan. Seperti benda. Seperti jembatan reputasi. Seperti alat tukar.
Satu-satunya hal yang membuatnya tetap duduk di sana pagi ini adalah kesepakatan diam dengan dirinya sendiri: jika memang ia harus menikah demi keluarga, maka ia akan memilih untuk memimpin pernikahan itu. Bukan dijatuhkan ke tangan siapa pun.
Belum selesai ia merenung, suara langkah kaki dari arah pintu utama terdengar cepat.
“Non Lily,” ujar salah satu staf. “Tamu dari pihak Suthajningrat sudah tiba. Bukan Mas Bowo. Tapi… kakaknya.”
Lily mengangkat wajah. “Kakaknya?”
“Namanya Andre, Non. Beliau yang mewakili.”
...****************...
Di luar…
Sebuah mobil hitam Lexus berhenti di pelataran. Dari dalamnya keluar Andre Suthajningrat, mengenakan setelan navy dengan kemeja putih bersih tanpa dasi. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi, wajahnya bersih tanpa banyak ekspresi, tapi sorot matanya menunjukkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Ia tidak merencanakan pertemuan ini. Semalam ayahnya memanggilnya setelah makan malam berakhir kacau. Tak ada ruang untuk diskusi.
“Kamu harus berangkat ke rumah Halimansyah besok pagi. Bowo membuat malu keluarga. Kamu yang harus selamatkan nama kita,” kata Sultan Munier tanpa ampun.
Andre sempat diam. “Saya bahkan belum pernah bicara dengan Lily.”
“Kau tak perlu bicara. Kau hanya perlu menunjukkan bahwa keluarga Suthajningrat tetap punya harga diri.”
Dan kini, di depan rumah Lily, Andre menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dengan ketukan berat. Ia tidak suka pertemuan formal seperti ini, apalagi jika ia tahu ia datang sebagai “cadangan”.
...****************...
Lily berdiri pelan ketika Andre masuk. Kesan pertama: pria itu tinggi, jauh lebih tinggi dari Bowo, dengan bahu tegap dan gerak tubuh penuh kontrol. Wajahnya tidak semuda Bowo, namun jauh lebih matang dan… tenang. Seperti seseorang yang sudah terlalu sering menghadapi ketidakadilan tanpa pernah protes.
Andre menatap Lily, dan dalam hitungan detik, ia menangkap semuanya.
Kecantikan perempuan itu bukan tipe yang manis atau polos. Tapi dewasa, dengan mata cokelat keemasan yang penuh pertahanan. Wajahnya tampak tidak sedang menunggu siapa pun. Seolah pertemuan ini hanya formalitas belaka.
Mereka bersalaman. Sentuhan jari mereka dingin dan singkat.
“Terima kasih sudah menerima saya,” kata Andre pelan.
Lily mempersilakan duduk, tetap menjaga nada suaranya netral. “Saya sempat terkejut. Saya pikir Bowo yang akan datang.”
“Sayangnya, Bowo menolak. Mendadak,” ujar Andre.
Lily duduk di seberangnya. “Dan Anda datang sebagai…?”
Andre tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan meja di hadapannya, secangkir teh dan camilan kecil disajikan tanpa kesan keramahan. Ia tahu peran yang sedang dimainkannya.
“Sebagai kakaknya yang disuruh menambal malu,” jawabnya akhirnya.
Lily menaikkan alis, lalu tersenyum kecil. “Langsung. Saya suka orang seperti itu.”
“Begitulah saya, Mba Lily. Tidak banyak bisa saya tawarkan selain kejujuran.”
“Lily saja,” ucapnya. “Kalau kita sudah duduk satu sofa, tak perlu embel-embel.”
Andre mengangguk. “Lily.”
“Lalu bagaimana saya memanggil anda? Anda jelas lebih tua dari saya bukan? 31?”
“32, panggil Andre saja. Saya juga tidak suka tambahan apapun didepan nama saya.”
Keheningan jatuh sejenak di antara mereka.
Di luar jendela, suara burung camar dari kolam hias terdengar samar. Aromaterapi melati samar mengisi udara, dan cahaya matahari menyelinap lembut dari tirai linen putih, menyoroti wajah Lily yang diam-diam menatap Andre lebih dalam.
“Mengapa Anda tidak protes?” tanyanya tiba-tiba. “Tiba-tiba disuruh datang untuk melamar perempuan yang bahkan belum Anda kenal?”
Andre menyandarkan punggungnya santai. “Protes saya tidak akan diakui. Di keluarga saya, anak dari istri kedua hanya diberi perintah, bukan pilihan.”
Lily menatapnya lebih lama. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa melihat seseorang yang tak jauh berbeda dari dirinya. Seseorang yang juga tumbuh tanpa cinta, tapi dipaksa menjadi wajah keluarga.
“Jadi kita berdua… tidak ada yang diinginkan, ya?” gumam Lily.
“Sepertinya begitu.”
...****************...
Beberapa menit kemudian. Herianto Halimansyah muncul dari arah tangga, mengenakan batik biru dengan lengan digulung. Wajahnya tampak lelah tapi masih mempertahankan sikap dominan. Senyumnya langsung mengembang ketika melihat Andre.
“Ah, Andre! Saya dengar banyak tentang Anda. Proyek-proyek Anda, khususnya Cikini dan Ubud. Hebat, hebat!”
Andre berdiri dan menjabat tangan Herianto.
“Terima kasih, Pak Herianto.”
Herianto melirik putrinya. “Saya harap Lily tidak terlalu dingin. Dia memang keras kepala. Tapi punya kepala dingin dan selera tinggi.”
Lily hanya menunduk tipis, tanpa menanggapi.
“Jika rencana awal tak berjalan, maka semesta pasti menunjukkan alternatif yang lebih baik.” Herianto menepuk bahu Andre. “Saya percaya Anda dan Lily bisa menjadi pasangan yang… efektif.”
Efektif.
Bukan bahagia. Bukan saling cinta. Tapi efektif.
Dan tak ada satu pun dari mereka yang protes.
......................
Sore itu…
Andre keluar dari rumah Halimansyah, menuruni tangga marmer dengan langkah berat. Saat sampai di halaman, ia menoleh ke belakang.
Lily berdiri di ambang pintu, hanya menatapnya.
Tak ada senyum. Tak ada isyarat.
Tapi dalam diam mereka seolah berkata:
Kita sama-sama dipaksa. Tapi mungkin—dalam keterpaksaan ini, kita bisa memilih satu hal: jangan saling menyakiti.
Dan itu sudah lebih dari cukup untuk memulai sesuatu yang—meski tak diminta—mungkin akan bertahan lebih lama dari pernikahan yang dimulai karena cinta semata.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Wirda Wati
👍👍👍
2025-06-08
0