NovelToon NovelToon

Istri Buta Tuan Muda Tengil

Awal

"Aril, cepat dong! Nanti telat!"

Bocah laki-laki kisaran 5 tahuan bergegas memasang sepatu, lalu berlari mendekati kakak dan adiknya yang sedang menunggunya di atas motor, tanpa berlama-lama bocah itu naik ke jok belakang dan memeluk erat pinggang kakak perempuannya.

"Abang, pegangan yang kuat!" Bunga, si bungsu yang.sedari tadi duduk di depan sambil berpegangan pada stang motor memperingatkan abangnya.

"Iya, ini Abang sudah pegangan. Ayo berangkat, Kak."

Perlahan motor melaju meninggalkan rumah tersebut.

Seperti biasa, gadis yang sedang mengendarai motor bebek itu terlebih dulu akan mengantarkan adiknya---Aril ke sekolah, setelah itu barulah ia pergi ke tempat kerjanya.

Nama gadis itu, Arumi Afifa Hilya. Semenjak sang ibu tiada, keadaan memaksanya menjadi tulang punggung, agar bisa bertahan hidup dengan kedua adik tirinya--Aril dan Bunga. Apapun akan ia lakukan untuk bisa mencukupi kebutuhan kedua adik kesayangannya. Ia yang menjadi ayah dan ia juga yang jadi ibu untuk mereka. Keadaan memaksanya memikul tanggung jawab besar tersebut. Sedangkan ayah tirinya, menghilang begitu saja setelah Bunga lahir. Meski demikian, Arumi ikhlas menjaga kedua adiknya, walau ia sendiri harus mengorbankan impian dan cita-citanya.

Selang beberapa menit, motor yang di kendarai Arumi telah tiba di TK tempat--Aril bersekolah.

Segera Aril turun dari motor dan mencium tangan Kakaknya. "Kak, uang jajan untuk Aril mana?" pintanya seraya menadahkan tangan pada sang kakak.

Arumi merogoh saku, mengeluarkan selembar uang dua ribu yang telah di siapkannya.

"Terimakasih, Kak. Jangan lupa jemput Aril nanti ya?"

"Iya. Tunggu sampai kakak datang, jangan pergi kemana-mana!" peringat Arumi.

"Siap, kakak Rumi cantik." Aril membuat pose gaya hormat. "Kalau gitu Aril masuk dulu, ya?"

"Dadah, Abang." Bunga yang duduk di depan melambaikan tangan yang di balas Aril dengan melambaikan tangan juga pada adiknya.

Setelah memastikan Aril masuk ke dalam pekarangan sekolah barulah, barulahArumi melajukan motor menuju tempat kerjanya.

Hanya memakan waktu 10 menit, Arumi sudah tiba di depan pertokoan tempatnya bekerja. "Aduh, tante Dian udah sampai duluan." Arumi bergumam pelan karna tidak enak hati melihat toko tempatnya bekerja telah di buka pemiliknya. Biasanya Arumi lah yang lebih dulu datang dan membuka toko tersebut.

Turun dari motor, Arumi menuntun tangan Bunga menuju ke dalam toko optik. Di sana ia melihat tante Dian, sedang fokus memeriksa buku catatan kostumer.

"Hmm....tante. Maaf ya, Arumi telat."

"Udah, nggak apa-apa. Ini tante juga baru datang. Tadi sengaja datang lebih awal karna tante ingin menyelesaikan bingkai kaca mata yang akan di ambil pelanggan hari ini," balas wanita itu tersenyum, tidak ada raut marah atau pun kesal di wajahnya.

Selain bekerja di toko kaca mata itu, jam 7 malam hingga jam 11 nanti Arumi akan melanjutkan bekerja di Caffee. Sedangkan kedua adiknya akan ia titipkan pada tetangga. Seringnya pada Tante Dian, jika wanita yang sepantaran dengan almarhum ibunya itu tidak sibuk.

"Roti bakpao untuk si pipi bakpao," celetuk tante Dian seraya mengulurkan kue yang sengaja di belinya pada Bunga.

"Terimakasih, tante," sahut gadis kecil dengan pipi bulat itu setelah mengambil kue dari tangan tante Dian dengan tangan kanan.

"Iya, tapi sun dulu, dong?" Tante Dian menyodorkan sebelah pipinya untuk di cium Bunga.

Bunga pun lansung mendaratkan bibirnya di pipi tante Dian."Muachhh!"

"Satu lagi." Tante Dian mendekatkan sebelah pipinya yang belum di cium Bunga.

"Kan rotinya cuma satu," balas gadis itu polos, sambil mengangkat bakpao di tangannya yang hanya satu potong.

"Iiiih, kamu ini!" Tante Dian pun menggigit gemas pipi tembem gadis itu. "Nanti kita beli yang banyak. Bunga mau berapa?"

"Seratus!" balas Bunga sambil memperagakan 5 jarinya.

Arumi yang sejak tadi memperhatikan mereka turut tersenyum.

.

.

.

Seperti biasa, pukul setengah sebelas, Arumi meminta izin pada tante Dian menjemput Aril ke sekolah. Biasanya Bunga akan di tinggalnya bersama Dian di toko.

"Kak Rumi, adik ikut." Bunga turun dari sofa, lalu berjalan mendekati Arumi yang akan keluar.

"Bunga, sama tante aja ya? Nanti kita jajan. Bunga mau apa? Nanti kita beli?" bujuk tante Dian, sambil berjongkok memeluk tubuh bocah perempuan itu.

"Gak mau, adik mau ikut, kak Rumi." Bunga merengek, tubuhnya meronta meminta di lepaskan.

Tidak sampai hati melihat gadis itu menangis tante Dian pun melepaskannya. "Ya sudah Arumi, kamu bawa saja. Kasihan dia kalau nangis begini."

Segera Bunga berlari ke arah Arumi setelah tangan Tante Dian terlepas dari badannya.

Arumi menyambutnya dengan tersenyum. Tangan adiknya di bimbing menuju motor yang terparkir di bahu jalan.

"Arumi, hati-hati!" pesan tante Dian melepas kepergian gadis itu. Entah kenapa, hari ini perasaannya tidak enak melepaskan mereka pergi.

'Semoga semua ini hanya perasaanku saja.'

***

Di Tempat berbeda

Ujung stick billiard digosok dengan kapur padat berbentuk kotak kecil. Matanya fokus memandang bola-bola billiard yang berserakan di meja sebelum mengambil ancang-ancang mengarahkan stick ke bola yang berwarna putih.

Cletuk!

Bola berserak, namun tidak satupun ada yang masuk.

"Sial!" dengusnya untuk kesekian kali karna sodokannya selalu meleset. Pandangannya cepat beralih pada dua orang pemuda yang menahan tawa melihat kegagalannya itu "Kalian kenapa? Meledek gue?"

Serempak kedua pemuda itu menggeleng, sambil menutup mulut. "Ma-mana berani ka-kami meledek bos." Seorang pemuda tergagap menjawab, sedang temannya yang berada di sebelah mengangguk cepat membenarkan apa yang dikatakan sohibnya.

"Ah, sudah lah. Gue malas main!" Tangkai stick billiard itu di lempar kearah kedua sahabatnya, lalu melangkah ke luar. Rokok elektrik dalam saku di keluarkan dan di hisap. Mengepul asap putih keluar dari mulutnya.

Mail, Parjo--dua pemuda yang bersamanya saling berpandangan, seakan saling bertanya satu sama lain. Apa yang terjadi pada sahabat mereka itu?

"Di-dia kenapa, Jo?" tanya Mail yang bicara memang gagap.

Parjo mengangkat bahu mewakili jawaban.

Ponsel yang berdering dalam kantong celana di keluarkan pemuda itu, screen layar di gesernya setelah melihat nama 'Bunda' yang tertera.

"Ya, ada apa, Bun?"

"Abang lagi dimana? Bunda mau minta tolong?"

"Katakan dulu mau minta tolong apa?"

"Tolong jemput Zahra dan Azizah di tempat latihan karate."

"Lah, memangnya Bunda ngapain?"

"Bunda lagi di butik, sayang. Lagi sibuk." 

"Hm, baiklah," sahut pemuda itu pasrah. Sambungan telepon di putuskan, lalu ponsel di masukan lagi ke dalam saku celana. Kaki panjangnya melangkah cepat ke arah kuda besi berlogo F yang terparkir di depan caffe.

"Bos, mau kemana?"

Langkah pemuda itu, terhenti dan menoleh pada kedua sahabatnya. "Kalian siapa? Kepo aja! Gue mau kemana itu urusan gue!" balas pemuda itu sewot. Kemudian langkah kembali di lanjutkan. 

Parjo dan Mail kembali saling berpandangan. Heran dengan sikap sahabatnya hari ini.

"Di-dia kenapa sih, Jo? Na-nanti ki-kita bilang datang bulan di-dia marah," desis Mail.

"Sudah, biarkan saja. Mungkin bos sedang ada masalah," balas Parjo.

"Ta-tapi aku khawatir Jo. Ta-takut terjadi apa-apa dengan dia. Pi-pikirannya kan lagi kacau. Ba-bagaimana ka-kalau dia ugal-ugalan nyetirnya?" ujar Mail khawatir.

"Benar juga ya? Kalau gitu kita ikut aja. Nanti kan kita bisa tegur kalau dia kebut-kebutan,." Parjo memberi usul.

"Nah, i-itu aku setuju."

Segera mereka berdua berlari mengejar mobil Ferrari yang baru saja keluar dari parkiran dan lansung melesat meninggalkan tempat itu.

"Lah, Jo? Di-dia su-sudah pe-pergi."

"Doa kan aja nggak kenapa-napa. Ayo, main lagi!"

"Ta-tapi, Jo. Pe-perasaan a-aku nggak enak."

.

.

.

***

Gas di injak nyaris kandas, sebelah tangan dengan lincah menurun naikan gigi kendaraan yang mana sebelah tangannya lagi juga gesit memutar kemudi, menyalip setiap kendaraan di depannya. Namun, ketika hendak menyalip mobil di depan, bersamaan dengan itu sebuah motor yang akan berbelok ke arah pertigaan di sebelah kanan jalan melintas begitu saja.

Pemuda itu melepaskan kakinya dari pedal gas, secara bersamaan kedua kakinya menginjak pedal rem dan kopling. Akan tetapi, mobil yang terlalu melaju kencang tidak dapat berhenti seketika. Gesekan ban mobil dengan aspal terdengar nyaring sebelum menabrak pengendara motor di depan.

"Aaaaakh! Bunda, tolong!"

Mobil yang oleng masih berjalan sebelum menabrak pembatas jalan dan berhenti.

Detak jantung semakin bertalu-talu, melihat kerumunan orang-orang di belakang.

"Tamat hidup gue," ringisnya. Dan tanpa pikir panjang, gas di injak, stir kemudi kembali di putar. Mobil pun melesat meninggalkan lokasi kejadian.

Tujuannya tidak lagi ke tempat yang di sebutkan bundanya tadi. Tapi ia mengarah kan mobil ke hotel milik papanya.

Setelah memarkirkan mobil, segera ia turun dan berlari kedalam lobi sambil mengeluarkan ponsel. Bergetar tangannya memegang ponsel itu. Cemas, dengan kejadian yang dialaminya tadi. Setelah menemukan nama kontak bunda, tombol panggil lansung di tekannya.

"Hallo, Bunda."

"Iya, Abang di mana sekarang? Sudah pergi jemput adik-adik?"

"Bu-bunda....Ab-Abang-"

" Loh, suara Abang kenapa seperti orang gugup gitu?"

"Bunda, Abang....Abang baru saja menabrak orang,"

"Astaghfirullah."

"Bunda....Abang nggak sengaja."

"Oke...sekarang Abang tenang dulu. Tarik nafas, keluarkan perlahan."

"Bunda....Abang takut... Abang nggak mau di tangkap polisi." Ia begitu cemas dan ketakutan karna tabrakan tadi masih terekam di benaknya.

"Nggak. Nggak akan ada polisi yang menangkap Abang. Sekarang beritahu Bunda posisi Abang dimana?"

"Abang di hotel."

"Oke. Tunggu Bunda di sana,.jangan kemana-mana sebelum bunda datang."

Menyambut kepulangan

Piring-piring yang diletakkan pelayan di meja makan digeser sedikit olehnya, memastikan semuanya rapi sambil menunggu seluruh anggota keluarganya berkumpul.

“Pagi, Bunda!” sapa Zahra dan Azizah, yang pertama kali tiba di ruang makan. Kedua gadis itu menghampiri bunda mereka yang tengah memperhatikan hidangan di meja makan.

“Bunda, hari ini Bang Azam jadi pulang ke Indonesia, kan?” tanya Azizah sambil menarik kursi dan duduk.

“Iya, jam sebelas nanti pesawatnya mendarat,” jawab Ayang.

“Yei! Pasti Abang makin keren sekarang, ya kan Azizah? Ugh, jadi kangen banget Zahra sama Abang,” timpal Zahra sambil mengambil sepotong roti.

“Hari ini kalian ada kelas nggak? Kalau tidak ada, kita jemput Abang kalian sama-sama ke bandara. Tadi malam Bunda juga sudah bilang pada kakak kalian,” ujar Ayang.

“Kalau Zahra sih ada, Bun. Tapi nggak penting. Pokoknya Zahra mau ikut jemput Abang ke bandara.”

“Azizah juga nggak ada kelas, Bun. Siang nanti Azizah pasti ikut jemput Abang.”

“Assalamu’alaikum, Bunda?”

Tiba-tiba seorang gadis mengenakan dress selutut berjalan mendekati Ayang dan langsung mencium kedua pipinya. Sejak kecil, gadis itu memang dekat dengan Ayang.

“Ngapain sih nenek lampir ini datang ke sini?” desis Zahra pelan, hanya cukup didengar dirinya sendiri. Ia memutar bola mata malas, lalu menarik satu kursi dan duduk di sebelah saudara kembarnya.

“Wah, cantiknya calon menantu Bunda,” puji Ayang sambil mengusap rambut gadis itu lembut.

Pipi Airin memerah. Ia menunduk memandang lantai, lalu melirik Azizah dan Zahra yang sedang menyantap sarapan, tampak tak menyukai kehadirannya.

Bodoh amat kalian suka atau nggak sama aku, yang penting Bunda suka!

“Ya sudah, Airin duduk dulu, ya. Bunda mau ke kamar sebentar, mau lihat Papa kalian.”

Baru saja Ayang hendak melangkah, dari arah pintu masuk terdengar suara langkah yang semakin mendekat. Tak lama, kedua putrinya muncul sambil merangkul lengan Daniel.

Hingga kini, Azkia dan Azura memang masih dekat dengan Daniel. Bahkan, mereka lebih sering menceritakan masalah pribadi mereka pada papanya itu dibanding pada Ayang. Termasuk urusan asmara mereka.

Daniel adalah tipe pria yang tegas. Ia selalu mewanti-wanti keempat putrinya, jika punya teman dekat laki-laki, maka harus memperkenalkan padanya terlebih dulu. Banyak pemuda yang telah melambaikan. bendera putih ketika berjumpa dengan Daniel, karna takut.

“Kok lama banget turunnya? Pada ngapain di atas tadi?” tanya Ayang dengan mata sedikit menyipit memandangi suami dan kedua putrinya yang tampak akrab.

“Ada deh! Ingat ya, Pa. Jangan cerita ke Bunda!” Azkia, mewanti-wanti, lalu tertawa kecil.

Tentu saja hal itu membuat Ayang semakin curiga. Pupilmya menyempit menatap Azkia dan Azura.

Sudah pintar mereka menyembunyikan sesuatu dariku?

Azkia dan Azura mendekat. “Udah, Bunda nggak usah penasaran gitu. Tadi Kakak cuma nanya soal kerjaan kantor sama Papa,” ucap Azkia, seolah tahu apa yang sedang bermain di kepala bundanya. Apalagi kalau bukan cemburu.

Kadang-kadang, Ayang memang cemburu pada kedekatan putrinya dengan Daniel. Azkia yang usil bahkan kerap sengaja membuatnya kesal.

Kemudian kedua belah pipi wanita 45 tahun yang masih cantik itu di cium Azkia. Begitu Azura melakukan hal yang sama.

Daniel, yang masih berdiri tak jauh dari mereka, geleng-geleng kepala sebelum berjalan ke arah meja makan.

Ayang menarik kursi untuk suaminya. “Hubby, hari ini nggak sibuk, kan? Aku hanya mau mengingatkan, jam sebelas nanti kita semua harus jemput Azam di bandara.” Ayang mencoba mengingatkan, karena tahu betapa padatnya jadwal suaminya sejak terjun ke dunia politik.

Awalnya, Daniel sama sekali tidak tertarik dengan politik. Tapi karna diajukan oleh masyarakat yang pernah menerima bantuan darinya—baik tempat tinggal, pangan, maupun kesehatan.

Daniel memang lebih dermawan setelah tragedi yang menimpa keluarganya beberapa tahun lalu. Saat itu, ia hampir kehilangan salah satu putrinya yang disandera Alexander dan Bambang. Andai saja Bastian tidak menolong, mungkin nyawa putrinya—bahkan istrinya—ikut melayang waktu itu.

Semua pekerjaan kotor yang pernah di lakukannya dulu telah ia tinggalkan.

.

.

.

Pukul sepuluh pagi, Ayang sudah sibuk sendiri. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik ke dapur, memastikan pelayan tidak lupa menyiapkan makanan kesukaan putranya, paha ayam goreng.

Ponsel yang tergantung di leher diambil, lalu mencari nama kontak "Hubby" dan langsung menekan tombol panggil.

“Halo, Hubby di mana? Ini sudah mau jam sepuluh, lho.”

“Iya, kamu berangkat saja dulu. Setengah jam lagi aku selesai rapat dan langsung ke bandara,” jawab Daniel di seberang sana.

“Baiklah.” Sambungan telepon pun diputus Ayang, lalu ia keluar dan meminta sopir menyiapkan dua mobil untuk menjemput putra kesayangannya.

Lima tahun lalu, setelah Azam mengalami sebuah insiden, keesokan harinya Ayang langsung menerbangkannya ke Australia Ia tak ingin nama baik keluarga tercoreng karena ulah putranya yang mengemudi ugal-ugalan. Selama lima tahun itu, putranya tinggal di rumah Bastian—saudara seayah Ayang—yang menetap di Australia dan hari ini adalah kepulangannya.

“Zahra, Azizah! Kenapa belum siap-siap juga?” tanya Ayang melihat kedua putrinya sedang melakukan live streaming di salah satu platform media sosial.

Keduanya memang aktif di media sosial dengan lebih 2 juta pengikut, hingga mereka kerap mendapatkan tawaran dari berbagai brand untuk mempromosikan produk.

Zahra membawa ponselnya sebelum menghampiri Ayang, lalu merangkul bahu kanan bundanya, sementara Azizah merangkul bahu kiri dan menempelkan pipi ke pipi bundanya.

“Hai, gaes! Inilah Bunda kami. Bunda, say hi dulu dong,” kata Zahra.

Ayang terpaksa menyeringai, memamerkan deretan giginya karena kamera sudah diarahkan ke wajahnya.

Wah, Bundanya masih cantik, ya!

Seperti kakak-adik!

Umur Bundanya berapa, Kak?

Banyak komentar tampil di layar saat Ayang muncul dalam siaran langsung akun ZaZi-Twins, gabungan dari nama Azizah dan Zahra.

“Sudah, sudah. Kalian mau ikut jemput Abang atau tidak?” Ayang menepiskan tangan kedua putrinya yang masih merangkulnya.

“Iya, iya. Ya sudah ya, gaes. Nanti kita sambung lagi. Sekarang kami mau jemput my brother dulu. Selamat beraktivitas. Bye-bye, muach…” ujar Azizah dan Zahra serempak, lalu menghentikan siaran langsungnya.

“Ayo, Bun,” ajak Zahra setelah memasukkan iPhone ke dalam tas branded-nya.

“Tunggu Airin dulu. Tadi dia bilang mau ikut ke bandara. Lagian, kakak kalian juga sedang dalam perjalanan pulang.”

Zahra memutar bola mata malas mendengar nama Airin disebut bundanya.

“Sudahlah, Bun. Tinggalin saja dia. Azizah dan Zahra malas kalau harus pergi bareng dia,” sungut Azizah. Zahra mengangguk setuju.

Ayang menatap Azizah dengan kening berkerut. “Kalian ini kenapa sih? Seperti tidak suka saja sama Airin. Ingat, dia itu calon kakak ipar kalian.”

Zahra mencebik bibir, malas mendengar bundanya yang selalu membela Airin.

Semoga saja Abang Azam nggak jadi menikah dengan perempuan ulat bulu itu.

Om?

"Excuse me Sir. We have arrivad," ujar seorang pramugari pada seorang pemuda yang masih duduk tenang di dalam kabin pesawat. Padahal semua penumpang lain sudah turun semua.

Panahan mata pemuda itu yang tajam mengarah tepat ke arah pramugari, sebelum berdiri dari duduk. Untung saja ia menggunakan kaca mata hitam, jika tidak mungkin sudah ketar-ketir pramugari itu melihat tatapan matanya.

Pemuda Itu berjalan ke arah pintu pesawat tanpa melepas kaca mata hitam yang bertengger di batang hidungnya.

Setelah mengambil koper miliknya, ia menarik koper itu keluar.

"Abang!"

"Ajam!"

Langkahnya terhenti mendengar paduan suara yang meneriaki namanya. Tentu dia ingat sekali siapa yang biasa memanggilnya dengan panggilan seperti itu. Kepalanya berputar mengarah ke suara yang baru saja meneriakinya. Sudut bibirnya sedikit melengkung membentuk senyuman saat melihat wanita-wanita cantik melambaikan tangan padanya, lalu melangkah ke arah sana.

Ayang berlari dan lansung memeluk tubuh pemuda itu.

"Abang. Abang baik-baik aja kan? Bunda kangen banget sama Abang." Suara wanita itu bergetar, meluapkan rasa rindu yang selama lima tahun ini terpendam di hatinya.

Perlahan pemuda itu mengangkat sebelah tangan, membalas pelukan wanita itu mengusap pelan punggungnya.

***

Para pelayan berbaris rapi di luar menyambut kepulangan putra satu-satunya keluarga Van Houten.

Sejak berada di bandara hingga berada di dalam mobil, sampai mereka tiba di rumah, Ayang terus saja memeluk lengan putranya. Hanya di lepaskan saat akan naik dan turun mobil saja.

Tentu saja perlakuan bundanya itu membuat Azam sedikit risih. Walaupun ia juga merindukan bundanya, tapi ia bukan Azam yang dulu, yang senang-senang saja mendapat perhatian lebih dari bundanya.

"Ya Allah, anak Papi." Udin yang memang sejak siang tadi menunggu kepulangan anak angkatnya itu, berlari kecil mendekatinya dan lansung memberikan pelukan. "Makin ganteng aja anak Papi ini," ucapnya setelah melerai pelukan. Kedua belah pipi pemuda itu di cubitnya dengan gemas.

Memerah wajah pemuda itu menahan malu atas perlakuan pria gemulai barusan.

Walau nada suara Udin masih mendayu seperti dulu, tapi pria gemulai itu sekarang sudah menikah. Zuleha nama istrinya, wanita muda yang masih gadis saat ia nikahi.

Tidak hanya Udin saja, yang menunggu kepulangan Azam di rumah mewah itu. Di sana juga ada Dani, Rili dan putra mereka bernama  Arsha.

"Turn off the camera!"

Suara pemuda itu yang lantang membuat suasana yang tadinya penuh suka cita, berubah mencekam seketika. Semua yang ada di sana bukan main kaget mendengar bentakan pemuda itu. Dari dulu sampai sekarang pemuda itu memang pantang sekali dengan kamera.

Zahra yang juga sedang melakukan livestreaming saat itu, cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Untung saja Abang Azam gak lihat. Kalau gak, bisa habis kamu," bisik Azizah.

Lain hal dengan Dani yang malah mengalihkan bidikan kamera ponselnya ke arah lain tanpa menghentikan rekaman. "Ponsel-ponsel gue, kenapa lu yang sewot? Lagian apa salahnya gue merekam? Lu gak akan sakit atau pun mati!" balasnya sengit. Dari dulu ia dan ponakannya itu memang selalu adu mulut. Tapi hanya sebatas adu mulut. Sama-sama ngeyel dan keras kepala.

"Abang!" Ayang membulatkan mata pada Dani agar saudaranya itu mengalah.

Rili yang berada di sana juga menyuruh suaminya agar mematikan kamera ponsel.

"Sudah sudah, nggak usah di layani Om kamu itu. Sekarang lebih baik kita masuk." Ayang mengapit tangan putranya, lalu membawa masuk ke dalam rumah.

"Huh! Dasar aneh lu!" desis Dani pelan.

"Gagal deh gue dapat video bocah itu. Padahal channel gue ramenya kalau ada dia aja."

"Bik, tolong siapkan makan siang ya?" perintah Ayang. Semua pelayan yang berbaris seketika membubarkan diri untuk melakukan perintah nyonya majikan.

"Abang pasti lapar kan? Ayo kita makan siang dulu," ajak Ayang sambil berjalan menuju ruang makan.

Pemuda itu menghentikan langkah, otomatis langkah Ayang juga terhenti.

"Nanti aja Bunda. Abang mau keluar sebentar. Lagian Abang belum lapar." Sebelah tangannya yang masih diapit Ayang ditarik pelan hingga terlepas.

"Loh, memangnya Abang mau kemana? Baru datang kok sudah mau keluar? Bunda masih kangen sama Abang," rengek Ayang, belum puas hatinya jika berpisah lagi dengan putra kesayangannya itu.

"Bentar aja kok, Bun." Lalu, kaki di ayunkan menuju pintu utama.

"Abang!" teriak Ayang sambil berlari mengejar langkah putranya. Sebelah tangan pemuda itu di pegangnya kuat. "Abang mau kemana?"

"Abang mau ketemu teman. Bentar aja."

"Tapi..."

"Abang janji hanya sebentar," mohonnya.

"Ya sudah, Bunda izinkan. Tapi Abang gak boleh pergi sendiri. Mulai sekarang harus ada sopir yang mengantar kemana pun Abang pergi."

Beberapa saat pemuda itu diam, kemudian tersenyum kecil dan mengangguk tanda setuju.

***

"Stop! Berhenti di sini!" perintah Azam tegas dan jelas pada supir yang tengah mengemudi.

Mobil seketika terhenti. "Ada apa tuan muda? Bukan kah kita mau ke OKY.caffee?" tanya sopir melirik majikannya dari kaca spion.

"Berapa nomor ponsel lu?" Bukannya menjawab tanya sopir tadi, Azam malah meminta nomor ponselnya.

"Buat apa tuan?"

Tanya di balas tanya, membuat Azam semakin geram melihat supir itu.

Kaca mata di lepasnya, menatap tajam pada sopir yang juga tengah memandangnya dari kaca spion.

"Maaf tuan muda," sesal sopir itu. Tak sanggup matanya beradu pandang dengan majikan barunya.

"Cepat! Berikan nomor ponsel lu!"

Tidak ingin membantah lagi, sopir itu pun lansung menyebutkan nomor ponselnya.

Azam mengetikkan nomor yang di sebutkan sopir itu dan menyimpan kontak namanya. Setelahnya ponsel di simpan lagi di dalam saku celana. "Sekarang keluar! Dan jangan pulang dulu! Tunggu sampai gue menghubungi lu. You undarstand!" perintahnya tegas dan jelas.

Sopir itu mengangguk cepat dan lansung keluar dari dalam mobil.

Teringat sesuatu, Azam menurunkan kaca mobil sebelah kiri memanggil kembali sopir tadi. "Tunggu!" teriaknya menghentikan langkah supir yang telah berdiri di tepi jalan.

"Ya, ada apa tuan muda?"

Dompet dalam kantong celana di ambilnya. "Ah, gue kan belum menarik rupiah," gumamnya pelan, melihat di dalam dompet hanya ada lembaran dolar saja.

"Lu ada uang kan? Belikan gue SIM card,  nanti uang lu gue ganti," perintahnya.

"Tapi tuan...."

"Lu gak percaya sama gue?" Beberapa lembar dolar dalam dompet di keluarkan dan di berikan pada sopir tadi. "Nanti lu tukar aja uang itu.

"Ma-maksud saya bukan itu tuan. Tapi saya mau nanya tuan mau SIM card merk apa?"

"Bilang kek dari tadi. Yang biasa lu pakai aja."

"Oh, baiklah. Kalau begitu tunggu sebentar." Bergegas sopir itu berlari membelikan yang di suruh majikannya.

***

"Kalian dimana sekarang?" tanyanya pada seseorang di sambungan telepon. Sepasang matanya sibuk memperhatikan kaca spions, sedang kedua tangannya sibuk memutar stir agar berjalan sesuai arahan dari juru parkir di belakang.

"Terus, terus, mundur! Lagi-lagi! Kiri sedikit! Eh, kanan-kanan!"

Berkerut kening Azam mendengar arahan dari tukang parkir di belakang mobilnya. "Ini bocil sepertinya mau cari ribut sama gue!" dengusnya.

"Kenapa, bos?" Suara itu terdengar dari earphone tanpa kabel yang terhubung pada panggilan suara di ponselnya.

"Gue bukan ngomong sama lu! Sudah, cepat kalian datang kesini!"

Braaak!

"Priiit! Stop!"

Terdengar peluit panjang di belakangnya.

"Bangsat! Sudah nabrak baru lu suruh gue berhenti! Awas lu, setan!" dengusnya berapi-api. Pintu mobil di buka, lalu kaki di hentakkan keluar.

"Bos! Bos kenapa?" Suara earphone yang masih terpasang ditelinga tidak lagi di pedulikannya. Fokusnya kini hanya pada juru parkir yang telah membuat mobilnya menabrak sesuatu.

Naik turun dadanya melihat mobil bagian belakangnya yang penyok karna menabrak tiang listrik.

"Mobil Abang gak ada rem ya?"

Seketika itu kepala Azam berputar kebalakang. menatap seorang bocah laki-laki menggunakan rompi juru parkir dan juga peluit tergantung di lehernya.

"Lu yang bilang mundur kiri-kanan tadi, kan?"

"Ya iya lah, kan aku tukang parkir disini. Nih, Abang lihat sendiri. PARKIR," jawab bocah laki-laki itu sambil menunjuk tulisan di rompinya pada pemuda itu.

Semakin geram saja Azam mendengar anak kecil itu seperti mendikte dirinya. Segera ia mendekati bocah laki-laki itu. Kacamata hitam yang menutup sepasang mata elangnya di buka, ingin menunjukkan pada bocah itu jika saat ini ia sedang marah.

Cukup lama mata elangnya menatap bocah berusia 10 tahun itu. Namun, bocah itu sedikitpun tidak tampak merasa takut.

"Gue gak mau tahu, sekarang juga lu harus ganti kerusakan mobil gue!" Azam mulai membuka suara, mengancam bocah itu.

Tapi bocah itu malah terkikik. "Abang ini aneh. Tadi aku sudah teriak dan meniup peluit keras-keras, menyuruh Abang berhenti. Tapi Abang tetap saja mundur. Sekarang malah menyalahkan aku. Kan aneh?"

"What! Lu bilang apa? Lu nyalahin gue? Eh, yang menyuruh gue mundur-mundur, kan lu. Terus sekarang lu mau nyalahin gue? Pokoknya gue gak mau tahu, lu harus ganti kerusakan mobil gue!"

"Aku gak mau!" Tanpa pikir panjang bocah itu lansung mengambil langkah seribu.

"Eh, bocah! Jangan kabur lu!" Azam pun mulai berlari mengejar bocah itu yang lebih dulu berlari.

"Sampai ke lubang semut akan gue kejar lu!" Kakinya terus berlari mengejar bocah itu masuk ke dalam gang perumahan sempit.

Perlahan kakinya melambat ketika tidak melhat lagi punggung anak kecil tadi.

"Kemana perginya bocah itu?" Pandangannya mengedar mencari sosok bocah yang telah memancing emosinya. Tunjuknya bergerak-gerak ragu memilih antara gang kiri atau kanan, memperkirakan kemana perginya bocahh tadi.

Bruuuk!

Tiba-tiba tubuhnya di tabrak seseorang dari belakang.

"Lu buta ya!" bentaknya pada gadis yang kini telah tersungkur di tanah. Bukannya menolong malah umpatan yang keluar dari mulutnya.

Gadis itu meraba-raba barang-barangnya yang berserak di tanah, memasukkan kembali ke dalam keranjangnya.

"Oiii! Lu dengar gue ngomong nggak!"

"Maaf Abang, saya memang buta."

Azam mendengus. "Apa? Lu bilang apa tadi? Abang? Eh, lu dengar baik-baik ya! Lu itu bukan adik gue, jadi jangan panggil gue Abang!" dengusnya berapi-api, tidak suka dengan panggilan yang di sematkan gadis itu pada dirinya.

"Kalau begitu, sekali lagi saya minta maaf, Om."

"Eh, lu kira gue om om!"

"Arumi!" Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh berlari mendekati gadis itu dan membantunya berdiri. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya wanita itu cemas.

Gadis itu mengulas senyum. "Arumi baik-baik saja, tante. Tadi Arumi gak sengaja menabrak Om ini."

Semakin geram saja Azam mendengar gadis itu kembali memanggilnya om.

Wanita yang membantu gadis itu sedikit kaget melihat pemuda yang berdiri dengan kedua tangan berada di pinggang.

'Dia ini kan putra Pak Daniel? Sombong sekali. Sangar jauh berbeda dengan Ayahnya yang begitu baik dan dermawan.'

"Tuan muda, tolong maafkan ponakan saya. Dia tidak bisa melihat," ucap wanita itu, yang sedikit mengenal keluarga Van Houten.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!