Saat suaminya dikamar mandi dan tengah membersihkan diri, Tari mencoba minuman yang dibuatnya, saat minuman itu menyentuh lidahnya, ekpresi wajahnya tidak bisa dijelaskan, dia segera meraih air putih didalam tumbler dan meneguknya banyak-banyaknya.
"Astaga, kenapa rasanya tidak enak begini sieh, seperti lumpur." Tari memelet-meletkan lidahnya.
Bertepatan dengan itu, Tari mendengar suara notifikasi chat dari ponselnya, wanita itu meraihnya, ternyata chat itu dari ibu mertuanya.
Umi Warsih : Tari sayang, jangan lupa ya diminum jamu yang umi berikan
Tari tidak ingin minum lagi, rasanya benar-benar tidak bersahabat dilidahnya, umi Warsih memang tidak melihat kalau seandainya dia tidak meminumnya dan bahkan kalau Tari ingin membuangnya sekalipun, hanya saja dia tidak mungkinkan melakukan hal itu.
Tari : Baik umi
Umi Warsih : Itu bagus lho untuk kesuburan, kalau kamu dan Budi rutin meminumnya, insaallah atas izin Allah kamu akan cepat hamil
Tari diam, tidak tahu harus menjawab apa, "Hamil." lirihnya dengan suara pelan, tentu saja sebagai seorang istri dia ingin hamil, hanya saja, meskipun berliter-liter jamu yang diminum percuma saja mengingat suaminya bahkan tidak pernah menyentuhnya, sejauh ini yang mereka lakukan hanya pelukan dan cium kening.
"Kenapa sampai sekarang mas Budi tidak pernah menyentuhku ya, apa dia normal." akhirnya fikiran itu terlintas juga dibenaknya, namun Tari dengan cepat menggeleng, "Astaga, apa yang aku fikirkan, istigfar Tari, jangan berburuk sangka sama suami kamu sendiri, apalagi mas Budi orangnya sholeh."
Pintu kamar terbuka yang memperlihatkan tubuh kokoh suaminya dalam balutan baju tidur.
"Apa aku harus memintanya." batin Tari mempertimbangkan.
"Mas, umi tadi ngechat aku, umi ngingetin supaya minum jamu yang dia berikan." beritahu Tari.
"Ohhh." Budi berjalan ke arah nakas, meraih gelas tersebut dan meminumnya, dan tidak seperti Tari, Budi sepertinya menikmatinya karna tuh jamu dalam tiga tegukan langsung tandas.
"Mas kok sepertinya doyan, kok aku gak suka ya, rasanya seperti lumpur."
Budi terkekeh pelan, "Namanya juga perintah dari umi dek, doyan gak doyan ya harus mas minum dan dihabisin."
"Mas Budi emang anak berbakti, aku beruntung bisa menikah dengannya, maafkan istrimu ini mas Budi karna telah berburuk sangka." Tari membatin.
Budi kemudian melangkah menuju meja kerjanya, disana sudah menunggu leptopnya yang sudah siap untuk dijamah, saat melewati Tari, dia mengelus puncak kepala istrinya sambil lalu.
Melihat apa yang akan dilakukan oleh suaminya Tari menyampaikan apa yang ditulis oleh ibu mertuanya dichat.
"Kata umi, itu jamu kesuburan lho mas, dia harap Tari segera hamil, umi dan abi ingin segera punya cucu lho."
Budi menghentikan langkahnya, dia berbalik dan menatap Tari.
Tari malu, dia agak salah tingkah.
Budi bukanlah laki-laki tidak normal, dan dia juga mengerti agama, sejak kecil orang tuanya sudah menanamkan pendidikan agama pada putranya itu, ditambah lagi Budi adalah lulusan pondok pesantren. Tentu saja Budi tahu, selain nafkah lahir yang harus dia penuhi, dia juga harus memberikan nafkah bathin untuk istrinya, tapi sampai saat ini, setelah satu minggu pernikahan, rasanya dia belum bisa menyentuh Tari lebih jauh dari sekedar pelukan dan cium kening, Budi tahu dia zalim, tapi dia belum sanggup melakukannya, bayangan wanita dimasa lalunya selalu terbayang-bayang dan itu semakin membuatnya bertambah berdosa dan pastinya merasa sangat bersalah sama Tari.
Budi mendekat, meraih pinggang Tari dan memeluknya, Tari memejamkan matanya, dia selalu merasa nyaman berada dalam pelukan kekasih halalnya.
"Apa mas Budi tidak mau melakukannya, maksud Tari, memenuhi keinginan abi dan umi." Tari dengan cepat meralat ucapannya, dia tidak ingin dianggap ngebet melakukan hal itu.
"Dek, boleh mas mengatakan sesuatu."
"Mas mau mengatakan apa."
"Mas ingin kamu menyelsaikan kuliah kamu dulu, barulah setelah itu kita memberikan cucu untuk abi dan umi, mas tidak ingin kamu kesusahan saat mengurus anak nantinya, kuliah sambil mengurus anak pasti akan sangat merepotkan." Budi memberikan alasan masuk akal, tapi bukan itu alasan yang sesungguhnya kenapa dia sampai saat ini sama sekali belum menyentuh istrinya, dia hanya ingin mengulur waktu.
Tari fikir suaminya itu mengatakan hal tersebut karna perhatian kepadanya, sehingga tidak heran wanita itu merasa tersentuh hatinya, "Mas Budi benar-benar suami perhatian." batinnya.
"Tapi mas, Tari mampu kok ngurus anak sambil kuliah, pasti seru deh mas kalau kita punya baby."
Budi diam tidak merespon.
"Mas Budi kok diam, gak ada kata-kataku yang salahkan."
"Mas..."
"Untuk malam ini, kita istirahat saja dulu ya dek." selalu saja Budi mengalihkan topik dengan mengajak istirahat.
"Selalu saja seperti ini." Tari menggerutu, dia melepas pelukannya dan berjalan dengan langkah dihentakkan menuju tempat tidur, Tari langsung menghempaskan tubuhnya ditempat tidur, menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya, Tari menangis dalam diem, statusnya adalah sebagai istri, dan dia masih perawan sampai saat ini, sedih hatinya, dia yang awalnya selalu berfikir positif kini dikuasai fikiran-fikiran negatif.
"Emang benar kali mas Budi itu gay, makanya sampai sekarang dia gak mau nyentuh aku, atau dia gak cinta sama aku, secarakan kita nikah karna dijodohkan." hati kecil Tari meronta, "Astagfirullah, apa sieh yang aku fikirkan." Tari memukul keningnya sendiri.
"Tidurlah dek." ucap Budi, laki-laki itu memilih keluar dari kamar, tidak ada niatannya untuk membujuk istrinya yang tengah ngambek.
"Apa, hehh, kenapa dia malah keluar, kenapa dia tidak mencoba untuk membujukku." hati Tari tambah nyesek.
Tari mendengar suara pintu ditutup, dia melempar selimut dari tubuhnya dan mengangkat tubuhnya mencoba untuk duduk, menatap pintu kamar yang tertutup sempurna dengan linangan air mata yang deras.
"Mas Budi, kenapa kamu malah pergi, jahat sekali sieh kamu."
*******
Keesokan paginya, mata Tari sembab, namun dia masih tetap melayani suaminya dengan baik, menyiapkan baju kerja suaminya, sarapan dan juga segelas kopi, tapi bedanya, kali ini Tari menyiapkan semuanya dalam diam karna dia masih dalam suasana ngambek.
"Mata adek kenapa."
"Pakai nanya lagi, ya gara-gara maslah." itu jawaban yang diberikan Tari dalam hati, dan lisannya berkata, "Gak apa-apa." jawaban semua cewek pada umumnya.
"Adek habis nangis, karna apa." tanyanya Budi polos, semalam dia tidak masuk kembali ke kamar, dia memilih tidur dikamar satunya.
"Aku gak apa-apa, mas mending habisin kopinya, ntar mas telat lagi." suara Tari ketus, "Laki-laki gak punya perasaan, gak berdosa banget dia semalam ninggalin aku nangis sendirian sepanjang malam, sekarang pura-pura seperti gak terjadi apa-apa lagi." Tari menambahkan dalam hati.
"Adek masuk kuliahkan pagi ini, mas antar ya."
"Tari masuknya agak siangan."
"Ya udah, nanti mas antar ya, mas bisa izi...."
"Gak perlu, Tari udah minta dijemput sama Marni."
"Ohh, baiklah kalau begitu."
Dan selama sisa pagi itu, kedua pasangan pasutri itu menghabiskan sarapannya dalam diam sampai Budi lebih dulu menyelsaikan sarapannya dan pamit pergi.
"Mas pergi dulu ya dek." seperti biasa, Budi menyodorkan tangannya untuk dicium oleh Tari.
Meskipun kekesalan Tari bertambah berkali-kali lipat, toh dia tetap meraih tangan tersebut dan menciumnya dalam diam, karna biasanya, saat dia menyalami suaminya dibarengi dengan kalimat "Hati-hati dijalan mas"
"Kalau mau dijemput, adek bisa....."
"Tari pulangnya sama Marni, sekalian mau ke toko buku." potong Tari ketus.
"Ohh, ya udah kalau gitu, tapi pulangnya jangan sampai magrib ya dek."
"Hmmmm."
Setelah mengatakan apa yang perlu dikatakan, Budi akhirnya pergi, Tari hanya manatap punggung suaminya dengan helaan nafas.
"Kesel banget aku sama mas Budi, tapi semoga Allah selalu melindunginya." meskipun lagi marah sama suami, Tari tetap mendoakan sang suami.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments