PERGI DENGAN SEKEPING HARAPAN
"Permintaan mba terlalu konyol."
Nara menggeleng, tekatnya sudah bulat. Tidak boleh gentar bahkan mundur. Semua sudah dipikirkan matang matang dan febri harus mau.
"Cuma kamu yang bisa bantu aku feb." Suara nara bergetar air mata sudah menggenang di pelupuk mata.
Febri menarik napas berat.
"Mas wisnu tau?"
Nara menggeleng lemah. Ini gila, sahabatnya meminta dirinya untuk menikah dengan suami dari wanita itu. Terdengar konyol juga tak ada ot*k tapi ini nyata dan sialnya febri yang dihadapkan pada posisi ini.
"Ga usah diterusin mba, kamu masih bis hamil anak mu sama mas wisnu. Ga perlu ngelakuin hal kayak gini." Ada jenak sejenak dari febri karena febri perlu memasok oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga dadanya yang mulai penuh sesak.
"Dunia medis udah canggih, kamu bisa bayi tabung kalau ga disini ya diluar negeri. Suami mu juga duitnya banyak kan."
Nara menatap nanar sahabat masa kecilnya. Bibit nara bungkam tapi lelehan air mata sudah mulai jatuh.
"Mba ....." Febri menghadap nara.
"Dengerin aku baik baik, berbagi suami itu bukan hal sepele. Walau kamu bilang aku ga cinta tapi tetap aja yang namanya punya madu itu ga enak karena ...... Karena ........"
Febri memalingkan wajah. Mengingat kata madu dan istri kedua ia akan kembali dibawa kedalam kisah masa lalu yang kelam juga menyakitkan. Ibunya, ibunya febri itu wanita baik hati tapi ayahnya tega menduakan cinta sang ibu dengan menikah lagi. Jadi, febri tau bagaimana sakitnya berbagi suami. Tentu saja febri tak mau kalau sampai nara, sahabatnya mengalami sakit yang dulu ibunya rasakan dan juga febri pun tak akan sudi kalau harus jadi istri kedua walau itu bukan suaminya nara.
"Tapi feb ......"
Febri menatap lekat mata nara yang sudah merah bahkan pipinya saja sudah merah karena tangis yang tak mau berhenti.
"Ibu mertua ku menuntut ....."
"Bisa ga sih mba, kamu jangan cengeng janga ga enakan jadi orang. Sekali kali tu buka suara bila perlu lawan kalau emang kamu ga salah. Sekarang dengar aku baik baik, emang kamu minta buat ga hamil sampai sekarang? Hamil ga nya kamu emang kamu yang tentuin ya?"
Diberitahu seperti itu oleh febri, nara hanya mampu diam dan air matanya saja yang menetes. Beginilah nara, anak bungsu dari keluarga hermanto yang dimanja bak putri kerajaan. Kesan lemah tak berdaya kentara jelas sekali dari pembawaan dan mimik wajah nara. Febri, sudah pasti kesal dengan nara yang begini. Usia mereka memang terpaut tiga tahu lebih tua nara tapi kalau untuk urusan keberanian febri jauh kemana mana.
Dulu, dulu sekali saat mereka masih bertetangga. Nara itu sering dibully dan febri lah yang jadi penolong. Febri bak super hero bagi nara dan dari sana kedekatan mereka terjalin sampai detik ini saat keduanya sudah sama sama dewasa dan merantau keluar kota. Nara pindah kota karena itu suami sementara febri tentu saja mengais rejeki untuk kelangsungan hidupnya.
"Please feb, tolong aku ......"
Satu bahasan yang tak selesai selesai. Febri mulai muak sudah satu minggu ini nara terus saja mendesak dengan permintaan yang benar benar menjengkelkan bagi febri.
"Ga mba, kamu cari aja perempuan lain. Aku masih cukup waras untuk ngambil suami mu."
Nara menggeleng, matanya ragu tapi tekatnya bulat.
"Kamu ga ngambil mas wisnu dari aku. Aku yang nawarin, aku pengen punya anak feb aku pengen jadi ibu walau ..... Walau bukan dari rahim ku."
"Mba ....."
"Ibunya mas wisnu udah ngenalin beberapa perempuan untuk dijadikan istri keduanya tapi sampai sekarang masih selalu nolak karena ga enak sama aku tapi aku tau dia juga sebenarnya pengen punya anak cuma aku kan ga bisa ....."
"Kamu bisa kan ga ada dokter bilang kamu ga bisa hamil hanya saja ... Hanya harus sedikit sabar dan banyak usaha."
Nara tersenyum kecut. Apa yang febri katakan memang benar, beberapa ahli kandungan memang mengatakan nara bukannya tidak bisa mengandung hanya saja memang sedikit sulit ada masalah dengan hormonnya dan itu harus melakukan banyak terapi tapi orangtua suaminya khususnya ibunya wisnu sudah tak bisa santai. Jadilah wacana menikahkan wisnu kembali terealisasi dengan sang ibu mertua yang mulai mengenalkan beberapa kandidat pada suaminya.
Jangan ditanya apa tidak hancur hidupnya nara. Sudah pasti hancur, nara tetap berusaha waras walau semuanya terlalu menyesakkan. Usahanya dengan menjalani banyaknya jadwal terapi tapi tekanan dari ibu mertuanya malah mengacaukan moodnya membuat nara kelimpungan tak tentu arah.
Menangis, hanya menangis saja akhirnya yang bisa nara lakukan dan sekarang terdampar di apartemen febri sejak dua hari lalu. Sengaja tidak pulang toh suaminya juga sedang dinas luar kota. Rumah sepi hanya ada beberapa pembantu dan tukang kebun saja. Makin sepi dan berantakan saja isi pikirannya nara saat ini.
"Pulang mba, aku antar." Suara febri membuat nara mendongak.
"Kamu usir aku?"
Febri tersenyum kecut.
"Busa dibilang iya, aku ada jadwal pemotretan di puncak. Tiga hari, emangnya kamu mau disini sendirian? Ga." Febri menggeleng tegas.
"Mending kamu pulang, jadi istri yang baik dengan tunggu suami pulang dinas luar kota."
"Feb permintaan ku."
Nara memohon, matanya menatap febri dengan pandangan mengiba.
Febri menggeleng tegas
"Ga, aku ga akan nikah sama suami mu. Kalaupun nikah ya nanti sama orang yang cinta aku dan aku juga cinta."
Nara kembali menangis tapi kali ini sampai terisak isak parah.
"Oh astaga. Mba kamu jangan kayak anak kecil gini dong. Aku ga akan bisa kayak dulu nurutin semua maumu."
Febri berdecak kesal dan memilih pergi meninggalkan nara diruang tamunya. Kamar mandi menjadi tempat yang febri tuju karena dia butuh mandi untuk segera bersiap mengantarkan nara pulang. Jarak rumahnya nara lumayan jauh dari apartemen tempat febri tinggal.
Sementara di sofa panjang yang tadi nara duduki bersama febri hanya menyisakan nara yang tiba tiba menyeka air matanya kasar.
"Febri sedikit berubah walau keras dan tegasnya masih sama. Aku pikir bakalan mudah ngatur dia kayak dulu tapi nyatanya ga lagi."
Nara menghembuskan napas panjangnya dan merebahkan kepalanya di sandaran sofa dengan mata terpejam rapat sambil kepalanya mengatur plan B agar rencana awalnya tetap bisa terlaksana sesuai keinginannya. Febri harus menikah dengan wisnu suaminya menghasilkan anak untuk dirinya agar posisinya di keluarga wijaya tetap aman dan setelahnya febri diusir dari hidupnya dan wisnu.
Kejam? Licik? Penuh manipulasi. Itulah nara yang sebenarnya hanya saja topeng lemah lembutnya yang sejak dulu dijadikan andalan selalu berhasil mengelabui banyak orang bahkan febri yang sedari kecil menemaninya.
#Happyreading
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments