NovelToon NovelToon

PERGI DENGAN SEKEPING HARAPAN

1. Nara putri hermanto

"Permintaan mba terlalu konyol."

Nara menggeleng, tekatnya sudah bulat. Tidak boleh gentar bahkan mundur. Semua sudah dipikirkan matang matang dan febri harus mau.

"Cuma kamu yang bisa bantu aku feb." Suara nara bergetar air mata sudah menggenang di pelupuk mata.

Febri menarik napas berat.

"Mas wisnu tau?"

Nara menggeleng lemah. Ini gila, sahabatnya meminta dirinya untuk menikah dengan suami dari wanita itu. Terdengar konyol juga tak ada ot*k tapi ini nyata dan sialnya febri yang dihadapkan pada posisi ini.

"Ga usah diterusin mba, kamu masih bis hamil anak mu sama mas wisnu. Ga perlu ngelakuin hal kayak gini." Ada jenak sejenak dari febri karena febri perlu memasok oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga dadanya yang mulai penuh sesak.

"Dunia medis udah canggih, kamu bisa bayi tabung kalau ga disini ya diluar negeri. Suami mu juga duitnya banyak kan."

Nara menatap nanar sahabat masa kecilnya. Bibit nara bungkam tapi lelehan air mata sudah mulai jatuh.

"Mba ....." Febri menghadap nara.

"Dengerin aku baik baik, berbagi suami itu bukan hal sepele. Walau kamu bilang aku ga cinta tapi tetap aja yang namanya punya madu itu ga enak karena ...... Karena ........"

Febri memalingkan wajah. Mengingat kata madu dan istri kedua ia akan kembali dibawa kedalam kisah masa lalu yang kelam juga menyakitkan. Ibunya, ibunya febri itu wanita baik hati tapi ayahnya tega menduakan cinta sang ibu dengan menikah lagi. Jadi, febri tau bagaimana sakitnya berbagi suami. Tentu saja febri tak mau kalau sampai nara, sahabatnya mengalami sakit yang dulu ibunya rasakan dan juga febri pun tak akan sudi kalau harus jadi istri kedua walau itu bukan suaminya nara.

"Tapi feb ......"

Febri menatap lekat mata nara yang sudah merah bahkan pipinya saja sudah merah karena tangis yang tak mau berhenti.

"Ibu mertua ku menuntut ....."

"Bisa ga sih mba, kamu jangan cengeng janga ga enakan jadi orang. Sekali kali tu buka suara bila perlu lawan kalau emang kamu ga salah. Sekarang dengar aku baik baik, emang kamu minta buat ga hamil sampai sekarang? Hamil ga nya kamu emang kamu yang tentuin ya?"

Diberitahu seperti itu oleh febri, nara hanya mampu diam dan air matanya saja yang menetes. Beginilah nara, anak bungsu dari keluarga hermanto yang dimanja bak putri kerajaan. Kesan lemah tak berdaya kentara jelas sekali dari pembawaan dan mimik wajah nara. Febri, sudah pasti kesal dengan nara yang begini. Usia mereka memang terpaut tiga tahu lebih tua nara tapi kalau untuk urusan keberanian febri jauh kemana mana.

Dulu, dulu sekali saat mereka masih bertetangga. Nara itu sering dibully dan febri lah yang jadi penolong. Febri bak super hero bagi nara dan dari sana kedekatan mereka terjalin sampai detik ini saat keduanya sudah sama sama dewasa dan merantau keluar kota. Nara pindah kota karena itu suami sementara febri tentu saja mengais rejeki untuk kelangsungan hidupnya.

"Please feb, tolong aku ......"

Satu bahasan yang tak selesai selesai. Febri mulai muak sudah satu minggu ini nara terus saja mendesak dengan permintaan yang benar benar menjengkelkan bagi febri.

"Ga mba, kamu cari aja perempuan lain. Aku masih cukup waras untuk ngambil suami mu."

Nara menggeleng, matanya ragu tapi tekatnya bulat.

"Kamu ga ngambil mas wisnu dari aku. Aku yang nawarin, aku pengen punya anak feb aku pengen jadi ibu walau ..... Walau bukan dari rahim ku."

"Mba ....."

"Ibunya mas wisnu udah ngenalin beberapa perempuan untuk dijadikan istri keduanya tapi sampai sekarang masih selalu nolak karena ga enak sama aku tapi aku tau dia juga sebenarnya pengen punya anak cuma aku kan ga bisa ....."

"Kamu bisa kan ga ada dokter bilang kamu ga bisa hamil hanya saja ... Hanya harus sedikit sabar dan banyak usaha."

Nara tersenyum kecut. Apa yang febri katakan memang benar, beberapa ahli kandungan memang mengatakan nara bukannya tidak bisa mengandung hanya saja memang sedikit sulit ada masalah dengan hormonnya dan itu harus melakukan banyak terapi tapi orangtua suaminya khususnya ibunya wisnu sudah tak bisa santai. Jadilah wacana menikahkan wisnu kembali terealisasi dengan sang ibu mertua yang mulai mengenalkan beberapa kandidat pada suaminya.

Jangan ditanya apa tidak hancur hidupnya nara. Sudah pasti hancur, nara tetap berusaha waras walau semuanya terlalu menyesakkan. Usahanya dengan menjalani banyaknya jadwal terapi tapi tekanan dari ibu mertuanya malah mengacaukan moodnya membuat nara kelimpungan tak tentu arah.

Menangis, hanya menangis saja akhirnya yang bisa nara lakukan dan sekarang terdampar di apartemen febri sejak dua hari lalu. Sengaja tidak pulang toh suaminya juga sedang dinas luar kota. Rumah sepi hanya ada beberapa pembantu dan tukang kebun saja. Makin sepi dan berantakan saja isi pikirannya nara saat ini.

"Pulang mba, aku antar." Suara febri membuat nara mendongak.

"Kamu usir aku?"

Febri tersenyum kecut.

"Busa dibilang iya, aku ada jadwal pemotretan di puncak. Tiga hari, emangnya kamu mau disini sendirian? Ga." Febri menggeleng tegas.

"Mending kamu pulang, jadi istri yang baik dengan tunggu suami pulang dinas luar kota."

"Feb permintaan ku."

Nara memohon, matanya menatap febri dengan pandangan mengiba.

Febri menggeleng tegas

"Ga, aku ga akan nikah sama suami mu. Kalaupun nikah ya nanti sama orang yang cinta aku dan aku juga cinta."

Nara kembali menangis tapi kali ini sampai terisak isak parah.

"Oh astaga. Mba kamu jangan kayak anak kecil gini dong. Aku ga akan bisa kayak dulu nurutin semua maumu."

Febri berdecak kesal dan memilih pergi meninggalkan nara diruang tamunya. Kamar mandi menjadi tempat yang febri tuju karena dia butuh mandi untuk segera bersiap mengantarkan nara pulang. Jarak rumahnya nara lumayan jauh dari apartemen tempat febri tinggal.

Sementara di sofa panjang yang tadi nara duduki bersama febri hanya menyisakan nara yang tiba tiba menyeka air matanya kasar.

"Febri sedikit berubah walau keras dan tegasnya masih sama. Aku pikir bakalan mudah ngatur dia kayak dulu tapi nyatanya ga lagi."

Nara menghembuskan napas panjangnya dan merebahkan kepalanya di sandaran sofa dengan mata terpejam rapat sambil kepalanya mengatur plan B agar rencana awalnya tetap bisa terlaksana sesuai keinginannya. Febri harus menikah dengan wisnu suaminya menghasilkan anak untuk dirinya agar posisinya di keluarga wijaya tetap aman dan setelahnya febri diusir dari hidupnya dan wisnu.

Kejam? Licik? Penuh manipulasi. Itulah nara yang sebenarnya hanya saja topeng lemah lembutnya yang sejak dulu dijadikan andalan selalu berhasil mengelabui banyak orang bahkan febri yang sedari kecil menemaninya.

#Happyreading

2. Tak habis pikir

Benar apa kata febri tadi. Nara diantarkan pulang sampai dirumah dengan selamat dan febri langsung pergi begitu saja, tak ada niat untuk masuk kedalam rumah mewah nan megah yang jadi hunian nara selama menjadi istri seorang wisnu tama wijaya. Rumah dengan mewah dengan desain modern itu menjadi cerminan betapa kaya nya keluarga wijaya.

Febri menarik napas panjang. Kalimat yang terus nara ucapkan memenuhi isi kepala febri. Diminta menjadi istri dari seorang wisnu tama wijaya tentu saja suatu kebanggaan tersendiri tapi kalau wisnu itu bujang atau setidaknya duda. Tanpa diminta dua kali febri pasti mau tak akan ada penolakan tegas seperti yang berulang kali ia ucapkan kepada nara.

"Mba nara itu ga berubah, selalu saja naif dan sedikit arogan. Dia pikir aku ga tau maksudnya dia apa dengan minta aku jadi ibu anak suaminya."

Senyum meremehkan febri terbit. Dia tau, tau betul isi kepala nara yang tak jauh jauh dari kelicikan itu. Tapi mau bagaimana lagi, febri tak mungkin bisa menghindar. Dulu hidupnya selalu terbantu oleh orangtua nara saat saat terberat dalam hidupnya ada orangtuanya nara yang ikut membantu, menemani bahkan tak jarang jadi penolong dalam urusan uang. Dan itulah sebabnya febri selalu tutup mata biarpun dia tau bagaimana manipulatif nya seorang nara.

Kring

Kring

Kring

Dering ponsel di dasboard mobil membuyarkan lamunan febri yang sedang berhenti di lampu merah.

"Ya bu ...."

"Nduk"

Suara lembut sang ibu langsung menyejukkan indera pendengaran febri.

"Iya, ibu kangen aku ya? Tapi maaf minggu ini ga bisa pulang, aku lagi ada beberapa pemotretan dan paling cepat bulan depan baru bisa pulang."

Kekehan nyaring terdengar dari seberang telpon. Selalu begitu, hapsari selalu saja ceria walau hatinya sedang gundah sekalipun.

"Kok malah ketawa sih bu, apa ibu udah ga kangen aku lagi?" Nada suara febri langsung berubah sedih, sedih yang dibuat buat.

"Yang bilang ga kangen itu siapa? Kamu ini jangan langsung menyimpulkan sesuatu."

Kali ini ganti febri yang terkekeh pelan, selalu menyenangkan mengobrol dengan ibunya walau hanya lewat sambungan telpon begini.

"Kamu lagi dimana ini?"

"Lagi nyetir bu tapi sekali belok udah sampai basement kok."

"Darimana?"

"Antar mba nara."

Satu nama yang sukses membuat hapsari bungkam. Karena nama itulah yang membuat hapsari menghubungi putrinya ini.

"Bu" panggil febri karena ibunya diam saja.

"Ibu lupa mba nara? Itu loh yang dulu rumahnya sebelahan sama rumah kita yang dijual ke juragan jaya, bapak ku sekarang."

Febri terkikik geli.

"Ngomongnya, nanti kalau bapak dengar kamu kena semprot."

"Halah cuma bapak aja kok."

Lalu hening lagi. Febri merasakan ada yang aneh dari ibunya.

"Ibu kenapa diam? Kok habis aku sebut nama mba nara, ibu langsung diam. Kenapa? Ada apa bu?"

Hapsari menghela napas dan itu terdengar jelas sekali ditelinga febri.

"Nduk"

"Hmm"

"Ibu sebenarnya berat buat ngomong. Tapi ya harus ngomong."

"Ada apa? Jangan bilang kalau ibu nyuruh aku pulang buat nikah sama laki laki yang ibu suka. Kan bapak udah bilang ....."

"Nduk" hapsari menyela.

"Dengerin ibu, jangan nyela jangan godok sebelum ibu selesai bicara. Paham?"

"Iya" cicit febri yang langsung deg degan parah.

"Dua hari lalu, orangtuanya nara kesini. Pak bambang sama bu sekar." Ada helaan napas besar yang mengudara dari hapsari, sesak sekali dadanya untuk menyampaikan berita ini pada putri kesayangannya.

"Mereka minta sesuatu yang bikin ibu ga bisa ngomong bahkan bapak juga sampai marah."

Apa, apa yang terjadi. Jangan jangan ......

"Bu" febri memberanikan diri bersuara.

"Mereka minta hal konyol dengan alasan balas budi sebagai tameng. Ibu ga bisa ngomong nduk ......"

Suara isak tangis mulai terdengar lihir, dan itu suaranya hapsari. Febri langsung membeku, ibunya sampai menangis. Pasti ini ada sangkut pautnya dengan permintaan yang nara paksakan dapa dirinya.

"Bu sekar maksa kamu supaya mau jadi istri kedua suaminya nara."

Deg, satu kalimat yang sukses menghantam keras dada ibu dan anak ini. Mereka sama sama sesak, saling diam dan sama sama meneteskan air mata. Tanpa suara tapi percayalah mereka tersakiti sekali sekarang ini.

"Nduk, bapak sudah coba. Bapak sudah mau ganti rugi semua uang yang dulu pernah mereka kasih ke kita bahkan bapak juga menyanggupi untuk ganti dua kali lipat. Tapi ......."

"Apa mereka pikir aku barang ya bu?"

Nah, satu tanya ini berhasil meluluh lantakan hatinya hapsari. Sebagai seorang ibu tentu saja ia tak terima juga sakit hati saat anak yang dilahirkannya mau dijadikan alat balas budi yang sejak awal mereka tak pernah sekalipun memohon bantuan. Keluarga hermanto lah yang selalu memaksa agar hapsari juga febri tak sungkan menerima segala jenis bantuan yang mereka sodorkan.

"Nduk"

Sesak sekali dada hapsari membayangkan bagaimana hancurnya perasaan sang putri.

"Mba nara udah ngomong juga ke aku, tapi aku dengan tegas nolak."

"Nduk" kembali hapsari memanggil putrinya dengan suara lembut tapi sarat akan kegelisahan.

"Aki ga akan mau jadi istri kedua bu apalagi nikah sama suaminya mba nara."

Mutlak, keputusan yang dengan tegas dan sadar febri ambil tanpa pikir panjang.

"Maafkan ibu ......"

"Ibu ga salah, kita ga salah. Dan kalau emang mereka minta ganti semua yang dulu pernah mereka kasih ke kita, aku sanggup. Kalaupun kurang aku akan usaha lebih keras untuk cari uangnya."

Ini bukan soal nominal rupiah yang harus dikembalikan tapi ini tentang harga diri seorang febriyanti utami. Model papan atas yang namanya sudah dikenal kalangan luas dengan paras ayunya khas wanita jawa dan ketegasan yang selalu jadi ciri khasnya.

"Ibu ga usah mikir terlalu berat, biar aku yang beresin masalah ini."

"Kabarin ibu kalau ada apa apa, bapak mu disini rungsing dari kemarin. Mau langsung ngomong ke kamu tapi ketahan sendiri."

"Iya aku paham, bapak pasti kepikiran. Pokoknya ibu dan bapak tenang aja."

"Mas renda?"

"Tau, mas mu udah tau. Pas orangtuanya nara datang kebetulan mas mu lagi dirumah juga."

Pening menyerang kepala febri. Bapak ibu bahkan narendra kakak tirinya sudah tau mengenai permintaan konyol nara dan ini benar benar sudah keterlaluan. Nara melibatkan orangtuanya keluarganya.

"Aku harus buat perhitungan sama orang itu." Geram febri saat sambungan telpon sengan ibunya sudah berakhir.

"Selalu semaunya, ga mikirin akibat dari apa apa yang dia putuskan. Ga berubah malah aku rasa makin gila aja tu orang."

Febri terus mengomel sambil berjalan menuju unitnya. Hatinya dongkol bukan main, ingin marah dan mengamuk tapi tak ada tempat yang tepat untuk meluapkan semuanya jadilah febri hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

#Happyreading

3. Selalu dan selalu

Meninggalkan febri dengan kemelut hatinya. Dikamar utama rumah mewah wisnu dan nara. Pasangan suami istri itu sedang adu mulut dan nara dengan kepiawaiannya bermain peran sedang diam diam menyudutkan sang suami.

"Jangan konyol begini ra, aku ga mungkin nikah lagi apalagi dengan wanita yang kamu pilihkan."

"Lalu?" Sentak nara berani.

Wisnu memejamkan matanya sejenak.

"Aku ga akan mau menikah, dengan siapapun itu. Mau pilihan mama juga pilihan mu, ga akan. Aku udah janji sama diriku sendiri kalau aku hanya akan menikah satu kali seumur hidup."

"Ga usah bicara omong kosong mas, kamu cuma perlu ijab kabul tiduri dia hamil dan selesai."

Wisnu tertawa sumbang. Tidak akan semudah itu, wisnu tidak yakin dengan apa yang baru saja istrinya ucapkan. Semuanya tidak akan sesederhana itu, wisnu tau kalau semuanya akan rumit kalau mereka benar benar nekat mengambil jalan ini.

"Ga punya anak ga papa. Aku cuma butuh kamu disamping ku sampai tua, udah ga lebih."

Nara menggeleng tegas.

"Kamu ga tau gimana tertekannya aku denger omongan mama. Omongan orang orang ....."

"Masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Kamu hanya perlu kuatkan mental, apa apa yang jadi harapan kita juga orang lain tidak semuanya bisa kita wujudkan dengan mudah. Ingat ra, kita ini mau menikah saja perjuangannya berat. Restu orangtua ku sulit didapat saat semua yang sulit bisa kita usahakan bersama tolong jangan kamu tambah masalah baru. Kita hanya perlu saling genggam saja sama sama menguatkan satu sama lain."

Panjang lebar wisnu bicara hanya sekedar singgah, nara tak mendengarkannya. Nara tetap dengan keinginannya, wisnu menikah. Menikah dengan wanita pilihannya bukan pilihan ibu pria itu. Nara tak perduli walau febri dengan tegas menolak tapi nara tetap akan memaksakan kehendaknya.

"Sudah, aku lelah. Akhiri perdebatan ini karena kita tidak akan dapat keputusannya."

Wisnu berlalu ke kamar mandi dan nara mendudukkan dirinya disisi ranjang dengan mata menerawang jauh.

. . . . . . .

Pagi yang biasanya hangat tidak ada lagi. Dimeja makan, nara banyak diamnya. Diam yang menandakan kalau dirinya sedang merajuk tapi wisnu tak cukup perduli karena marahnya sang istri malah membuat dirinya makin marah lagi.

"Aku ada meeting sampai malam. Ga usah tunggu aku pulang, oh ya jangan lupa siang nanti ada acara keluarga. Kamu harus hadir karena aku ga bisa hadir."

Nara merotasi bola matanya. Tatapan nyalang ia berikan pada sang suami tapi wisnu tetap acuh.

"Mas" nara buka suara setelah mereka sama sama diam dan sibuk dengan makanan masing masing.

"Mengenai permintaan ku ...."

"Berhenti ra, kamu dan permintaan konyol mu itu ...."

Nara menyela.

"Ketemu dulu, ketemu dulu sama febri."

Febri, nama yang istrinya sebutkan membuat alis wisnu saling adu. Sempat hening sejenak sampai akhirnya wisnu memilih bangkit bersiap pergi kekantor karena hari sudah makin siang.

"Aku berangkat, jangan lupa nanti siang datang. Buat diantar sopir."

Cup

Wisnu mengecup sisi kening istrinya dan berlaku begitu saja. Kebiasaan yang setiap pagi mereka lakukan tapi kali ini tak membuat senyum terbit diwajah nara.

Siang yang dibenci nara.

Kring

Kring

Kring

Dering ponsel membangunkan nara dari tidur siangnya.

Sudah jam satu siang batinnya malas.

Nama ibu mertuanya tertera dilayar ponsel. Dengan gerakan malas nara meraih benda pipih itu dan menggeser tanda hijaunya.

"Ya ma"

Pembuka yang terdengar sekali kalau nara enggan bertukar sapa dengan ibu mertuanya ini.

"Kamu udah siap siap?"

Kening nara langsung berkerut.

"Ma, aku lagi ga mood. Tadi pagi tamu bulanan ku datang."

"Datang sepuluh atau lima belas menit. Jangan menghindar terus, jarak rumah kalian ga jauh. Ga enak kalau kamu mangkir lagi di acara keluarga."

"Tapi ma ....."

"Ga ada tapi tapi, nara dengar. Mama ga mau kamu terus menghindar karena dengan kamu menghindar terus bikin mama makin muak sama kamu."

Tut

Kalimat yang kelewat jujur itu kembali melukai hati nara. Dewi anjani, ibu mertuanya itu memang selalu ceplas ceplos apalagi dengan apa yang jelas jelas membuatnya tidak suka. Bukan tanpa alasan dewi bersikap begitu pada menantu satu satunya ini. Sejak awal memang tidak ada restu dari dewi dengan pilihan sang putra tapi karena rasa sayangnya yang luar biasa dewi memilih diam dan membiarkan putra semata wayangnya menikah dengan nara wanita yang diagung agungkan oleh wisnu.

"Selalu saja pemaksa. Mana nanti kalau udah kumpul mama ga pernah mau bantu atau belain aku pas dicecar sama yang lain. Apa dia ga mikirin perasaan ku ....."

Nara menggerutu tapi ia tetap menyeret kakinya untuk bersiap karena ancaman tak kasat mata yang sudah dewi ucapkan tadi mengharuskan nara bergerak cepat.

Setengah jam selanjutnya, nara sudah duduk disamping hasti saudara sepupu suaminya.

"Ini buat ......"

"Aku kalandra tante nara."

"Ah, kalandra. Namanya bagus, maaf tante ga sempat cari kado jadi mentahnya aja. Nanti kala beli sama mama ya."

Dengan senyum yang dipaksakan nara berucap selembut mungkin. Saat ini dirinya sedang jadi pusat perhatian banyak orang, di acara ini nara merasa sendirian padahal hampir semuanya nara kenal.

"Nara kapan?"

Nah kan, mulai.

"Iya, nara kapan nih? Hasti saja sudah dua loh."

Nara tersenyum kecut tapi tak kunjung buka suara.

"njamu herbal saja ra kalau ke dokter belum ada perubahan."

Kembali nara tersenyum singkat padahal dalam hati sudah dongkol ingin mengumpat orang orang yang selalu saja nyinyir. Nyinyir yang dibalut dengan kata kata sok perduli. Disudut ruangan, nara bisa melihat ibu mertuanya hanya duduk diam dengan wajah mengerasnya.

Selalu begitu, dewi akan diam seribu bahasa saat bahasan mengenai anak dilayangkan pada nara atau bahkan wisnu sendiri.

"Hasti, aku pamit ya. Maaf ga bisa sampai selesai, aku lagi period ga nyaman banget." Bisik nara pelan dan diangguki maklum oleh si tuan rumah.

Nara bangkit dan berlalu begitu saja tanpa kata pamit yang pantas. Dewi menarik napas perlahan, ada iba dari sorot matanya tapi juga kecewa ikut mendominasi.

"Aku lebih kasihan ke kamu sama wisnu wi."

Suara orang disampingnya membuat dewi menoleh.

"Aku bukan sekedar menginginkan cucu mba, tapi aku jauh lebih ingin anak ku pulang."

Satu kalimat yang bisa diyakini membuat siapa saja yang mendengarkan ikut merasakan kegundahan hati seorang ibu.

"Pupuk sabar mu, makin dipupuk makin subur. Kadang berat tapi memang harus dilakoni."

Dewi mengangguk mantap dan kembali hening.

"Mama selalu begitu, ga pernah mau bantuin aku jawab pertanyaan yang selalu diulang ulang."

Nara marah marah ditelpon saat perjalanan pulang. Siapa lagi yang ditelpon kalau bukan suaminya. Wisnu yang sedang diomeli hanya diam, diam bukan karena benar benar mendengarkan tapi sengaja diam untuk abai dengan suara sumbang sang istri yang akhir akhir ini selalu jadi musik baginya.

#Happyreading

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!