2. Tak habis pikir

Benar apa kata febri tadi. Nara diantarkan pulang sampai dirumah dengan selamat dan febri langsung pergi begitu saja, tak ada niat untuk masuk kedalam rumah mewah nan megah yang jadi hunian nara selama menjadi istri seorang wisnu tama wijaya. Rumah dengan mewah dengan desain modern itu menjadi cerminan betapa kaya nya keluarga wijaya.

Febri menarik napas panjang. Kalimat yang terus nara ucapkan memenuhi isi kepala febri. Diminta menjadi istri dari seorang wisnu tama wijaya tentu saja suatu kebanggaan tersendiri tapi kalau wisnu itu bujang atau setidaknya duda. Tanpa diminta dua kali febri pasti mau tak akan ada penolakan tegas seperti yang berulang kali ia ucapkan kepada nara.

"Mba nara itu ga berubah, selalu saja naif dan sedikit arogan. Dia pikir aku ga tau maksudnya dia apa dengan minta aku jadi ibu anak suaminya."

Senyum meremehkan febri terbit. Dia tau, tau betul isi kepala nara yang tak jauh jauh dari kelicikan itu. Tapi mau bagaimana lagi, febri tak mungkin bisa menghindar. Dulu hidupnya selalu terbantu oleh orangtua nara saat saat terberat dalam hidupnya ada orangtuanya nara yang ikut membantu, menemani bahkan tak jarang jadi penolong dalam urusan uang. Dan itulah sebabnya febri selalu tutup mata biarpun dia tau bagaimana manipulatif nya seorang nara.

Kring

Kring

Kring

Dering ponsel di dasboard mobil membuyarkan lamunan febri yang sedang berhenti di lampu merah.

"Ya bu ...."

"Nduk"

Suara lembut sang ibu langsung menyejukkan indera pendengaran febri.

"Iya, ibu kangen aku ya? Tapi maaf minggu ini ga bisa pulang, aku lagi ada beberapa pemotretan dan paling cepat bulan depan baru bisa pulang."

Kekehan nyaring terdengar dari seberang telpon. Selalu begitu, hapsari selalu saja ceria walau hatinya sedang gundah sekalipun.

"Kok malah ketawa sih bu, apa ibu udah ga kangen aku lagi?" Nada suara febri langsung berubah sedih, sedih yang dibuat buat.

"Yang bilang ga kangen itu siapa? Kamu ini jangan langsung menyimpulkan sesuatu."

Kali ini ganti febri yang terkekeh pelan, selalu menyenangkan mengobrol dengan ibunya walau hanya lewat sambungan telpon begini.

"Kamu lagi dimana ini?"

"Lagi nyetir bu tapi sekali belok udah sampai basement kok."

"Darimana?"

"Antar mba nara."

Satu nama yang sukses membuat hapsari bungkam. Karena nama itulah yang membuat hapsari menghubungi putrinya ini.

"Bu" panggil febri karena ibunya diam saja.

"Ibu lupa mba nara? Itu loh yang dulu rumahnya sebelahan sama rumah kita yang dijual ke juragan jaya, bapak ku sekarang."

Febri terkikik geli.

"Ngomongnya, nanti kalau bapak dengar kamu kena semprot."

"Halah cuma bapak aja kok."

Lalu hening lagi. Febri merasakan ada yang aneh dari ibunya.

"Ibu kenapa diam? Kok habis aku sebut nama mba nara, ibu langsung diam. Kenapa? Ada apa bu?"

Hapsari menghela napas dan itu terdengar jelas sekali ditelinga febri.

"Nduk"

"Hmm"

"Ibu sebenarnya berat buat ngomong. Tapi ya harus ngomong."

"Ada apa? Jangan bilang kalau ibu nyuruh aku pulang buat nikah sama laki laki yang ibu suka. Kan bapak udah bilang ....."

"Nduk" hapsari menyela.

"Dengerin ibu, jangan nyela jangan godok sebelum ibu selesai bicara. Paham?"

"Iya" cicit febri yang langsung deg degan parah.

"Dua hari lalu, orangtuanya nara kesini. Pak bambang sama bu sekar." Ada helaan napas besar yang mengudara dari hapsari, sesak sekali dadanya untuk menyampaikan berita ini pada putri kesayangannya.

"Mereka minta sesuatu yang bikin ibu ga bisa ngomong bahkan bapak juga sampai marah."

Apa, apa yang terjadi. Jangan jangan ......

"Bu" febri memberanikan diri bersuara.

"Mereka minta hal konyol dengan alasan balas budi sebagai tameng. Ibu ga bisa ngomong nduk ......"

Suara isak tangis mulai terdengar lihir, dan itu suaranya hapsari. Febri langsung membeku, ibunya sampai menangis. Pasti ini ada sangkut pautnya dengan permintaan yang nara paksakan dapa dirinya.

"Bu sekar maksa kamu supaya mau jadi istri kedua suaminya nara."

Deg, satu kalimat yang sukses menghantam keras dada ibu dan anak ini. Mereka sama sama sesak, saling diam dan sama sama meneteskan air mata. Tanpa suara tapi percayalah mereka tersakiti sekali sekarang ini.

"Nduk, bapak sudah coba. Bapak sudah mau ganti rugi semua uang yang dulu pernah mereka kasih ke kita bahkan bapak juga menyanggupi untuk ganti dua kali lipat. Tapi ......."

"Apa mereka pikir aku barang ya bu?"

Nah, satu tanya ini berhasil meluluh lantakan hatinya hapsari. Sebagai seorang ibu tentu saja ia tak terima juga sakit hati saat anak yang dilahirkannya mau dijadikan alat balas budi yang sejak awal mereka tak pernah sekalipun memohon bantuan. Keluarga hermanto lah yang selalu memaksa agar hapsari juga febri tak sungkan menerima segala jenis bantuan yang mereka sodorkan.

"Nduk"

Sesak sekali dada hapsari membayangkan bagaimana hancurnya perasaan sang putri.

"Mba nara udah ngomong juga ke aku, tapi aku dengan tegas nolak."

"Nduk" kembali hapsari memanggil putrinya dengan suara lembut tapi sarat akan kegelisahan.

"Aki ga akan mau jadi istri kedua bu apalagi nikah sama suaminya mba nara."

Mutlak, keputusan yang dengan tegas dan sadar febri ambil tanpa pikir panjang.

"Maafkan ibu ......"

"Ibu ga salah, kita ga salah. Dan kalau emang mereka minta ganti semua yang dulu pernah mereka kasih ke kita, aku sanggup. Kalaupun kurang aku akan usaha lebih keras untuk cari uangnya."

Ini bukan soal nominal rupiah yang harus dikembalikan tapi ini tentang harga diri seorang febriyanti utami. Model papan atas yang namanya sudah dikenal kalangan luas dengan paras ayunya khas wanita jawa dan ketegasan yang selalu jadi ciri khasnya.

"Ibu ga usah mikir terlalu berat, biar aku yang beresin masalah ini."

"Kabarin ibu kalau ada apa apa, bapak mu disini rungsing dari kemarin. Mau langsung ngomong ke kamu tapi ketahan sendiri."

"Iya aku paham, bapak pasti kepikiran. Pokoknya ibu dan bapak tenang aja."

"Mas renda?"

"Tau, mas mu udah tau. Pas orangtuanya nara datang kebetulan mas mu lagi dirumah juga."

Pening menyerang kepala febri. Bapak ibu bahkan narendra kakak tirinya sudah tau mengenai permintaan konyol nara dan ini benar benar sudah keterlaluan. Nara melibatkan orangtuanya keluarganya.

"Aku harus buat perhitungan sama orang itu." Geram febri saat sambungan telpon sengan ibunya sudah berakhir.

"Selalu semaunya, ga mikirin akibat dari apa apa yang dia putuskan. Ga berubah malah aku rasa makin gila aja tu orang."

Febri terus mengomel sambil berjalan menuju unitnya. Hatinya dongkol bukan main, ingin marah dan mengamuk tapi tak ada tempat yang tepat untuk meluapkan semuanya jadilah febri hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

#Happyreading

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!