TDT 4

Mereka berjalan perlahan menuruni jalan setapak yang dibatasi semak-semak liar di kiri-kanan, menuju area sektor C yang cukup tersembunyi di balik lereng kecil. Saat tiba di petak-petak sayur itu, Raka langsung bergerak dengan kepekaan seorang peneliti sejati. Ia jongkok, menyentuh tanah, mencium kelembapannya, lalu memeriksa batang dan daun tanaman satu per satu.

Aruna mengamati dari jarak dekat, tapi membiarkan Raka larut dalam dunia kecilnya yang penuh ketelitian. Jari-jari Raka bergerak lincah, sesekali mengeluarkan kaca pembesar kecil dari saku rompinya, memperhatikan bercak kekuningan di daun, dan menyentuh bagian akar tanaman yang terlihat layu.

“Daunnya mengering dari pinggir, dan warnanya mulai memucat...ini bukan sekadar kekurangan air,” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri, tapi cukup keras untuk didengar Aruna.

Ia berdiri dan menatap ke sekeliling. “Tapi kenapa hanya di sektor ini?” tanyanya, seolah sedang berbicara pada teka-teki di depannya. “Coba nanti kita ambil sampel tanahnya. Kemungkinan ada patogen jamur. Atau bisa juga masalah pH.”

Aruna mengangguk, sedikit kagum pada cara Raka bekerja. Fokus, tak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar terasa penuh isi. Ada keahlian yang nyata di sana dan itu sangat menggoda bagi Aruna yang selama ini terbiasa dengan orang-orang yang hanya pandai bicara, namun tidak menyentuh akar persoalan.

Terik mulai menggigit kulit ketika bayangan tubuh mulai mengerut di tanah. Aruna mengusap pelipisnya dan melirik ke arah Raka yang masih tekun dengan tanaman terakhir yang ia periksa.

“Raka, kita istirahat dulu yuk, di saung dekat kebun tomat. Matahari sudah mulai kejam,” ujar Aruna sambil menunjuk ke arah bangunan kecil beratap rumbia tak jauh dari sana.

Raka mengangguk, lalu mengemasi alat-alat kecilnya ke dalam tas ranselnya. Mereka berjalan menyusuri jalur tanah yang mulai mengering, melewati deretan pohon tomat yang sarat buah, menuju saung yang terletak sedikit tersembunyi di bawah pohon ketapang besar.

Begitu tiba, Aruna duduk di bangku kayu panjang yang sedikit berdebu, lalu membuka botol air minumnya. Raka meletakkan tasnya di lantai bambu, duduk menyandar, dan melepaskan kacamata hitamnya.

“Saya pikir penyebab utama kerusakan tanaman di sektor ini itu kombinasi antara jamur tanah dan kadar pH yang menurun. Ada bercak seperti akibat fusarium wilt, tapi ada juga gejala seperti serangan pythium,” jelasnya, menatap ke depan seolah membayangkan gambaran mikroskopis di kepalanya.

“Sebagian sampel daun dan tanah akan saya bawa untuk dites di lab. Kita harus tahu persis jamur atau bakteri apa yang dominan, supaya bisa dipilih fungisida atau pengendali hayati yang tepat.”

Aruna menyimak dengan saksama, matanya sesekali memperhatikan lekuk garis rahang Raka saat bicara. Ia mengangguk sambil menatap lurus ke luar saung.

Aruna membuka kotak plastik bening dari dalam tas anyamannya, memperlihatkan potongan-potongan cheese brownies yang tampak lembut dan menggoda dengan lapisan keju leleh di atasnya. Aroma manis langsung menguar, menyatu dengan semilir angin siang yang lewat di sela-sela dinding saung bambu.

“Saya buat ini semalam. Cobain, ya. Masih layak, kok,” ucap Aruna sambil menyodorkan kotaknya pada Raka.

Raka tidak menolak. Ia mengambil sepotong, menggigitnya perlahan, lalu matanya sedikit melebar seolah tidak menyangka.

“Wah, ini enak banget, Bu. Saya serius. Kalau dijual, saya pasti jadi pelanggan pertama,” katanya dengan wajah antusias.

Aruna tersenyum lebar, hatinya menghangat. “Itu saya bikin sendiri,” jawabnya lirih, namun penuh rasa bangga.

“Wah, luar biasa. Ibu Aruna ini sudah cantik, pandai masak lagi. Saya yakin, suami Ibu pasti orang paling beruntung,” tambah Raka sambil tertawa ringan, tanpa sadar melempar kalimat yang menusuk sisi lain hati Aruna.

Seketika senyum itu menguap dari wajah Aruna. Tatapannya menerawang jauh, menyelusup ke sudut-sudut kenangan tentang suaminya yang kini lebih sering jadi tamu di rumah mereka sendiri. Satu sisi hatinya mengeras, menahan rasa kecewa yang perlahan muncul ke permukaan.

Raka menyadari perubahan ekspresi itu. Ia buru-buru meralat, “Maaf, Bu... saya enggak bermaksud menyinggung. Saya hanya...”

Aruna cepat menggeleng, mencoba mengembalikan rona ramah di wajahnya. “Tidak apa-apa, Raka. Hanya saja, kadang kenyataan tidak semanis brownies ini,” ujarnya, disambung dengan senyum tipis yang menyimpan ratusan cerita tak terucap.

Raka memilih diam, menghargai ruang yang mulai sunyi. Hanya suara daun yang digesek angin terdengar pelan, menemani dua hati yang duduk berdampingan tapi diselimuti pikiran masing-masing.

Pandangan mereka tertuju ke arah hamparan kebun yang luas di depan saung, di mana beberapa pekerja tampak sibuk merawat barisan sayur. Ada yang membungkuk memeriksa daun, ada yang memikul keranjang, dan sebagian lagi sedang menyiram dengan alat semprot punggung. Latar belakangnya adalah lereng bukit yang hijau, membuat keseluruhan pemandangan tampak seperti lukisan hidup.

“Luas juga, ya, Bu... Kalau boleh tahu, totalnya berapa hektar?” tanya Raka sambil memicingkan mata ke arah timur, memperkirakan sendiri skala lahan yang terlihat seakan tanpa ujung.

Aruna tersenyum kecil. “Totalnya dua puluh lima hektar. Lima hektar di sebelah barat itu baru saya beli tahun lalu. Khusus untuk menanam sayuran impor seperti kale, paprika romaine lettuce, pakcoy, dan zucchini. Lumayan laku di supermarket premium dan hotel-hotel.”

Raka mengangguk-angguk, kagum tak hanya pada luasnya lahan, tapi juga pada cara Aruna mengelola bisnisnya. Wanita itu bukan sekadar pemilik kebun, tapi juga punya visi dan arah.

“Wah, keren banget, Bu. Udah punya pasar tetap lagi. Enggak semua petani bisa kayak gitu,” ujarnya tulus.

Aruna menoleh, memandang Raka dengan tatapan sungguh-sungguh. “Makanya saya butuh bantuan kamu, Raka. Tanaman di sektor C itu bisa saja menyebar ke area lain kalau tidak segera ditangani. Gagal panen itu bisa jadi bencana, bukan cuma secara bisnis... tapi juga pemimpin yang bertanggung jawab pada banyak pihak.

Raka mengangguk sekali lagi, lebih mantap. “Saya paham, Bu. Kita selamatkan tanaman-tanaman ini, satu per satu.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!