Om Om Itu Suamiku

"Mana payungku?" Kalimat pertama yang diucapkan Bian pada istrinya. Mereka yang sudah menyelesaikan akad sedang duduk di pelaminan menyambut para tamu. Naifa yang terkejut karena tiba-tiba Bian menanyakan payung yang saat itu dia beri pinjam sebulan yang lalu.

"Aku buang."

"Lho, kenapa dibuang?"

"Takut ada peletnya, nanti aku kena pelet om om lagi." Celetukan Naifa membuat Bian tertawa, dia tahu jika jawaban gadis ini tak akan terduga.

"Walau ga di pelet pun, kamu tetap nikahnya sama om-om." Jawab Bian membalas Naifa.

Naifa menghela nafas panjang, selama ini dia merasa malu karena telah menuduh Bian sebagai om-om genit, namun dia juga kesal karena Bian tak bilang jika itu dirinya. Apalagi perubahan yang begitu mencolok dari pria itu.

"Dilihat bagaimana pun, Kak Bian ganteng banget. Beda sama yang dulu. Walau gayanya sekarang kaya om-om genit yang suka godain cewe di jalan." Gumam Naifa dalam hati.

Bian melihat istrinya yang terus menatap ke arahnya. Dia mencoba melihat ke belakang, karena bisa saja Naifa menatap orang yang ada di belakangnya.

"Kenapa istriku, menatapku seperti itu?" Ucap Bian sambil mencubit pipi istrinya karena gemas.

"Ih kak Bian, sakit."

Bian melepaskan cubitannya, lalu mengusapkan tangan pada kepala Naifa.

"Ih ngapain Kak Bian kaya gini. Bikin degdegan aja," gumam Naifa dalam hati.

"Kenapa kamu mau gantiin Sofia jadi istri aku?" Tanya Bian penasaran, Naifa hanya menjelaskan jika dirinya tak mau mempermalukan kedua keluarga.

Bian menatap istrinya yang terpaut usia 10 tahun itu dengan tatapan kasihan, kagum namun juga bingung. Apalagi sikap Naifa yang pastinya belum terlalu dewasa, akan menjadi tantangan baru baginya dalam berumah tangga.

Acara resepsi pun selesai pukul 12 siang, karena Wahid sengaja mengurangi waktunya agar tetangga tak terlalu memperhatikan. Apalagi mereka mempertanyakan keberadaan Naifa yang jelas duduk di pelaminan sebagai pengantin.

"Nak Bian, Naifa kalian belum makan. Makanlah dulu supaya tidak lemas apalagi pingsan," ucap Midah sambil memberikan dua porsi makanan catering. Naifa yang lapar terlihat begitu lahap. Sementara Bian makan sambil menerapkan table manner. Sungguh kebiasaan berbeda antara 2 manusia.

"Pelan-pelan makannya, tersedak kan jadinya." Ucap Bian sambil memberikan segelas air pada istrinya.

"Aku lapar Kak Bian, baru tahu ternyata nikah tuh cape banget."

Bian tersenyum melihat tingkah istrinya, lalu membersihkan saus kacang yang menempel di bibir Naifa.

"Belepotan juga, ga ada anggun-anggunnya." Protes Bian sambil menggelengkan kepala karena tingkah sang istri.

"Biarin aja, kenapa sih protes terus." Naifa yang kesal pergi ke kamarnya. Wahid dan Midah hanya menggelengkan kepala melihat sikap putrinya. Sementara keluarga besan hanya tersenyum, menganggap lucu tingkah Naifa.

Bian segera menyusul istrinya, ke sebuah kamar yang sudah di hias dengan kain dan beberapa bunga. Terlihat Naifa yang kesulitan membuka kerudungnya, karena banyaknya jarum pentul di beberapa tempat.

"Sini, saya bantu." Bian menawarkan bantuan pada istrinya, namun respon sang istri menunjukkan ketidak sukaan.

"Gak mau, aku bisa sendiri."

Penolak kan Naifa membuat Bian kesal, dia pun membuka jas dan dasi yang dikenakannya.

"Ihh kak Bian ngapain sih buka baju disini?"

"Lho kenapa? Saya kegerahan dan mau tidur." Bian naik ke kasur Naifa dan segera tertidur pulas, sementara gadis itu masih berusaha mencari jarum pentul yang di tempelkan MUA di kepalanya.

Bian diam-dian membuka matanya, melihat Naifa yang masih kesulitan membuka jilbabnya. Dia pun mendekati sang istri dan memegang tangan kecilnya.

"Biar saya bantu, kalau kamu nolak terus bisa-bisa besok hari gak akan beres. Bukannya besok kamu harus Ujian Nasional?"

Mendengar ucapan Bian, Naifa pun menurutinya. Pelan-pelan Bian menarik satu persatu jarum pentul di atas jilbab Naifa. Lalu kembali ke kasur setelah semua jarumnya di lepas.

"Terima kasih yah Kak Bian," ucap Naifa terbata-bata.

"Iya," jawab Bian pelan sambil terlelap.

Naifa pun membuka jilbabnya, menunjukkan gulungan rambut miliknya. Sedikit demi sedikit dia menghapus make up dengan air micellar. Tak terbiasa, Naifa merasakan gatal di wajahnya.

"Aduh ribet banget mau ke kamar mandi juga pakai baju ginian."

Naifa yang membuka resleting bajunya tersadar jika Bian ada di kasurnya. Dia mencoba melambaikan tangan pada wajah suaminya. Tak ada respon. Dengan santai Naifa membuka seluruh pakaiannya, menyisakan pakaian dalam di tubuhnya. Dia mencari pakaian santai di lemarinya dan menemukan daster rayon kesayangannya.

Bian terbangun saat handphone di saku celananya bergetar, tak sengaja dia melihat istrinya yang sedang berpakaian. Melihat tubuh sang istri hanya dengan pakaian dalamnya membuat tubuh Bian terasa panas. Saat Naifa meliriknya, Bian pun berpura-pura tertidur.

"Duh gatel banget nih wajah. Gak mau make up an lagi pokonya," ucap Naifa sambil keluar menuju kamar mandi.

Melihat tak ada Naifa di kamarnya, Bian segera bangun untuk membalas pesan dari temannya.

'Bos, nongki yuk di warkopnya Jeje'

Pesan dari Dani, sahabat sekaligus orang kepercayaannya.

'Lagi males, minggu depan aja'

'Tumben males, punya game baru kayanya'

'Iya nih, game nya seru abis. Mana harganya cukup mahal. Sayang buat di tinggalin'

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Naifa yang masuk ke kamarnya terkejut melihat Bian yang terbangun sambil memainkan handphonenya.

"Kak Bian, kalau mau main handphone di luar aja." Usir Naifa pada suaminya. Dia merasa risih jika orang lain melihatnya tak berkerudung.

Bian hanya menatap istrinya itu dengan tatapan kagum. Rambut tebal panjang berwarna hitam dan lurus menghiasi kepala istrinya. Belum lagi wajah polosnya yang cantik, mata besar dengan bulu mata yang lentik. Hidungnya yang mancung dan juga bibir plumpy yang pink alami membuat Bian tanpa sadar menelan ludah.

"Ih kok nelen ludah gitu, Kak Bian mesum."

Naifa keluar dari kamar itu dengan perasaan kesal dan pergi ke kamar kakaknya, Sofia.

Gadis itu melihat kamar kosong sang kakak, dan juga beberapa barang yang Sofia tinggalkan. Naifa merebahkan tubuhnya di atas kasur, dan mempertanyakan perilaku sang kakak yang menolak perjodohan ini. Apalagi Bian, yang harusnya jadi suami kakaknya sudah banyak berubah. Tidak seperti 12 tahun lalu saat mereka bertemu. Bian yang dititipkan di rumah Pak Wahid saat ujian kenaikan kelas 1 SMA karena orang tuanya harus mengurus pekerjaan di luar kota. Dengan tubuh gempal dan kepala plontos membuat Naifa sedikit takut dulu, apalagi Sofia yang dari awal terlihat tak menyukainya.

"Apa jangan-jangan Kak Sofia gak tahu kalau Kak Bian jadi ganteng, dulu sih emang jelek, gendut, terus plontos. Tapi sekarang... " Gumam Naifa dengan wajah kemerahannya. Dia pun keluar dari kamar Sofia dan bergegas menuju kamarnya menemui sang Suami.

Tok.. tok.. tok..

"Masuk saja, istri." Ucap Bian yang tahu jika itu Naifa.

Naifa melangkah masuk dan mendekat pada suaminya, dia pun duduk di kasur dan bertanya hal yang membuatnya penasaran.

"Apa sebelum hari pernikahan, Kak Bian sama Kak Sofia belum pernah bertemu?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!