Terpaksa Menikah

Semua anggota keluarga panik, mereka mencari keberadaan Sofia yang menghilang entah kemana. Apalagi dia membawa kabur uang sisa pemberian keluarga calon suaminya yang digunakan untuk pesta pernikahan. Semua teman di hubungi oleh keluarganya, namun tak ada satupun yang melihat ataupun tahu keberadaan Sofia.

"Sudah umi bilang, kenapa abi masih saja keras kepala. Lihat sekarang, Sofia pergi dari rumah karena sifatmu yang keras kepala," ucap Midah yang kecewa atas sikap suaminya.

"Umi, sekarang saatnya bukan saling menyalahkan. Kita tidak bisa mempermalukan keluarga Sidiq seperti ini. Jangan sampai tetangga tahu kalau Sofia pergi dari rumah. Bisa ramai kita jadi bahan hinaan tetangga." Wahid yang masih saja memikirkan sahabatnya itu terus berpikir bagaimana cara agar temannya tak dipermalukan besok.

"Naifa, kita nikahkan Naifa saja dengan putra Sidiq."

"Astagfirullah, abi ini bagaimana. Naifa masih sekolah, tak mungkin KUA menyetujui pernikahan ini."

"Setidaknya usia Naifa sudah legal, asalkan tetangga tidak tahu. Insya Allah kita bisa melewati hari besok. Abi akan menghubungi keluarga Sidiq, tenang saja abi juga akan memberikan persyaratan pernikahan pada putranya agar pendidikan putri kita tidak terganggu."

Wahid segera menghubungi Sidiq dan memberitahukan yang terjadi. Pria paruh baya itu pun segera memberikan saran agar keluarga Sidiq tak merasa di permalukan besok hari.

"Alhamdulillah kalau memang setuju, besok mungkin saya akan berbicara persyaratan pernikahan. Karena putri kedua saya masih sekolah. Assalamualaikum."

Wahid pun segera menutup panggilannya, dia akhirnya bernafas lega karena putra dari Sidiq tak keberatan menikah dengan Naifa.

"Abi, kenapa selalu membuat keputusan sepihak. Apa abi tidak mau bertanya dulu pada putri bungsu kita? Jangan sampai dia melakukan tindakan seperti Sofia."

Naifa yang mendengarkan perbincangan kedua orang tuanya hanya bisa meremas kertas yang berisi pesan dari Sofia. Dia tahu jika kakaknya baik-baik saja di luar sana. Tapi karena perbuatannya, dia yang harus menggantikan dirinya di pernikahan besok. Menangis pun tak ada guna, karena sang ayah tak mungkin mendengarkan dirinya.

"Umi, aku bersedia untuk menggantikan kak Sofia. Tapi ada beberapa syaratnya, aku mau tetap kuliah dan juga aku gak mau di sentuh oleh suamiku nantinya hingga aku bersedia."

Ucapan Naifa membuat Wahid merasa lega, namun membuat ibunya, Midah terluka. Setelah Sofia menghilang, kini Naifa yang bersedia untuk menikah pasti akan dibawa suaminya.

"Kamu benar ingin menggantikan kakakmu menikah besok?" Tanya Midah meyakinkan putrinya.

Naifa mengangguk pelan, dia tahu jika keputusan ini akan berpengaruh pada masa depannya. Tapi dia juga tak mau keluarganya mendapat hinaan dari tetangga atau ayahnya yang bisa saja di jauhi oleh temannya.

"Abi akan fotokopi identitas kamu. Saat besok Pak penghulu datang, kita bisa langsung memberikan berkasnya."

Wahid bergegas pergi menuju tukang fotokopi, dengan membawa dokumen identitas milik Naifa. Sementara ibunya hanya bisa menghela nafas dengan yang terjadi di hadapannya.

"Umi hanya berharap keputusan kamu tidak mempengaruhi sekolah kamu. Apalagi senin depan kamu harus melaksanakan Ujian Nasional."

Naifa tersenyum pada ibunya dan berkata jika reputasi keluarganya adalah hal terpenting.

"Aku gak apa-apa kok umi, lagipula aku hanya harus menikah kan. Aku tahu kalau abi akan sangat merasa bersalah jika harus mempermalukan sahabatnya. Dan juga mempermalukan keluarga kita."

Midah hanya bisa mengusap rambut putri bungsunya, hatinya sakit ketika Naifa harus mengorbankan masa mudanya. Tanpa Midah tahu, ada hal lain yang juga membuat Naifa setuju akan hal ini.

***

Wajah imut Naifa tetap terlihat meski make-up menempel di wajahnya. Midah yang khawatir jika tetangga akan curiga, memakaikan cadar pada putrinya.

"Pakai cadar ini sampai acara selesai yah, umi juga akan minta sama abi untuk mengurangi waktu acara."

Naifa hanya mengangguk pelan, sementara Midah beranjak pergi menghampiri sang suami.

"Keluarga mempelai pria sudah datang bi?" Tanya Midah sedikit khawatir.

"Belum, sebentar lagi juga datang. Abi sudah kirim pesan, mereka bilang sudah di jalan."

Dari kejauhan, sebuah mobil APV mendekat ke arah rumah Pak Wahid. Dihiasi bunga dan juga pita, Wahid dan Midah yakin jika itu mobil pengantin pria.

Turun seorang pria memakai suit warna putih dan juga bunga yang di tempelkan pada saku jasnya. Rambutnya yang berwarna hitam dengan gayanya yang agak messy, menambah kesan muda pada pria yang di duga sebagai pengantin pria.

"Mi, itu beneran Bian kan? Kok beda sama yang dulu?"

"Gatau juga bi, sudah lama kita gak ketemu lagi. Rupanya sekarang glow up," ucap Midah yang juga terkejut dengan perubahan dari putranya Sidiq.

Fabian Permana Sidiq, calon suami yang seharusnya menikah dengan Sofia ini memang sering menghabiskan waktu kecilnya di rumah Wahid. Dia yang dulu bertubuh gempal dan rambut yang selalu pelontos, membuat orang tua Naifa terkejut karena perubahan yang di alaminya.

Kulitnya yang putih dan matanya yang sedikit sipit, membuatnya terlihat seperti pemuda keturunan Tiongkok. Sementara tetangga yang kepo dan melihat di balik pagar rumah saling berbisik, membicarakan ketampanan pengantin laki-laki.

"Mirip aktor Thailand itu lho, siapa sih. Mario Maurer kayanya," seperti itulah gosip para tetangga yang tak ingin ketinggalan berita hangat dari tetangga lainnya.

"Nak Bian, sebelum akad dimulai saya ingin memberikan beberapa syarat. Saya sudah tulis daftarnya, dan saya minta Nak Bian harus menyetujuinya."

Wahid memberikan selembar kertas yang berisi persyaratan menikah, Bian yang membacanya tersenyum dan dengan mudah membubuhkan tanda tangannya di atas materai.

"Terima kasih atas pengertiannya. Sekarang saatnya kita ke pelaminan untuk melaksanakan akad."

Wahid pun meminta pada penghulu untuk menukar berkas-berkas milik Sofia dengan milik Naifa. Sementara Bian sudah terlihat siap untuk mengesahkan pernikahannya.

"Dan, suruh tetangga pergi. Kita mau melaksanakan akad secara private. Gak boleh ditonton." Wahid menyuruh adiknya untuk mengusir tetangga kepo, karena berbahaya jika mereka tahu jika Naifa yang dinikahkan.

Wahid pun menyalami tangan Bian, putra dari Sidiq sahabatnya. Dengan membacakan ikrar akad, segera Bian mengucap janji suci pernikahan di depan keluarganya dan orang tua Naifa. Sah, itulah kata yang ditunggu dari seorang pengantin karena telah melaksanakan salah satu ibadahnya, menikah.

Naifa pun akhirnya keluar dari kamar pengantin yang sudah dia hias semalam. Dengan gaun putih dan jilbab berwarna senada, ditambah cadar yang dia kenakan, aura pengantin begitu memancar walaupun dengan sapuan make up yang sederhana.

Dari kejauhan dia melihat pria yang duduk di depan penghulu, yang kini menjadi suaminya.

"Hah ituk Kak Bian? kenapa jadi berubah? Bukannya dulu gempal dan pelontos, kenapa sekarang beda?" Gumam Naifa dalam hati. Tiba-tiba pria yang sudah jadi suaminya itu melirik ke arahnya, membuat Naifa semakin terkejut. Ternyata suaminya itu...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!