Forget Me Not
“Aku ingin bertemu dengan Tuan Hardin Rogers,” ucap Emilia, pada petugas pintu gerbang masuk peternakan.
“Tuan sedang keluar. Dia berangkat beberapa saat yang lalu.”
“Ke mana?” tanya Emilia tak sabar.
“Tuan Rogers memiliki banyak aktivitas penting setiap hari. Namun, aku tidak berhak tahu karena tugasku hanya menjaga pintu gerbang,” jawab sang penjaga, yang sepertinya malas meladeni Emilia.
“Tolonglah. Aku harus bertemu Tuan Rogers sekarang juga. Ini sangat penting,” desak Emilia.
Penjaga pintu gerbang mengembuskan napas pendek. “Jika kau mau, kembalilah setelah makan siang. Biasanya, Tuan Rogers sudah berada di rumah pada ____”
“Hey, Smith! Buka pintu gerbangnya!” seru seorang pria dari dalam mobil pick up.
Penjaga pintu gerbang langsung menurut dan mengabaikan Emilia, yang masih berdiri dekat pos jaga. Pria itu seperti sengaja mencari kesibukan lain.
Menyadari sikap penjaga pintu gerbang, Emilia akhirnya memutuskan pergi. Dia mengayuh sepeda melewati jalan setapak, yang membelah padang rumput hijau membentang.
Semilir angin berembus lembut menerpa paras cantik Emilia. Begitu juga dengan cahaya mentari yang terasa hangat. Namun, sepasang mata hijau zamrud wanita 25 tahun tersebut menggambarkan sesuatu yang sebaliknya, yaitu keresahan karena gagal bertemu langsung dengan pemilik perkebunan, Hardin Rogers.
Sesaat kemudian, Emilia menghentikan laju sepeda ketika akan melewati pagar kayu, yang merupakan pintu masuk ke area lahan peternakan milik Hardin Rogers. “Astaga,” gumamnya, seraya mengedarkan pandangan ke sekitar, yang ditumbuhi pohon rindang.
Dari jarak beberapa meter, Emilia melihat dua pria menunggangi kuda menuju ke arahnya. Dia memicingkan mata, mencoba menerka hingga kedua pria itu mendekat.
“Minggirlah, Nona!” seru salah seorang dari kedua pria itu, seraya maju beberapa langkah.
“Aku sengaja menunggu Tuan Hardin Rogers di sni,” sahut Emilia cukup lantang.
“Untuk apa?” tanya pria itu lagi.
“Aku ingin bicara langsung dengannya,” sahut Emilia, tanpa mengubah nada bicara.
Pria yang berada di depan, menoleh kepada pria di belakangnya, barulah bergeser.
“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” Pria yang tadi di belakang, langsung maju hingga berada lebih depan dibanding pria satu lagi.
Emilia tak segera menjawab. Dia menatap lekat seseorang yang tak lain adalah Hardin Rogers, sang pemilik peternakan serta tanah ribuan hektar di desa itu.
“Pantaskah kita bicara di sini, Tuan?” Emilia tak mengalihkan perhatiannya, dari pria berkemeja putih yang masih berada di atas kuda.
“Aku tidak menerima tamu tanpa ada janji terlebih dulu,” sahut Hardin tenang, tapi penuh wibawa. Dia membalas tatapan Emilia, dari balik kacamata hitamnya.
“Aku minta maaf karena tidak membuat janji terlebih dulu. Namun, ini sangat penting karena berkaitan dengan tanah di dekat danau.”
“Tanah di dekat danau,” ulang Hardin, kemudian menoleh kepada pria di belakangnya, yang tak lain adalah Ethan Bailey, sang ajudan setia.
Ethan maju dan berhenti tepat di sebelah Hardin. "Tanah milik Nyonya Meredith Olsen yang sedang Anda incar, Tuan,” bisiknya.
Hardin mengangguk samar, lalu kembali mengarahkan perhatian kepada Emilia “Apa hubunganmu dengan Nyonya Meredith Olsen?” tanyanya.
“Aku adalah menantu Nyonya Meredith Olsen. Ibu mertuaku tidak bisa menemui Anda secara langsung. Karena itulah, aku yang mewakilinya.”
Hardin tersenyum samar. “Menantu? Baiklah. Berapa yang ibu mertuamu inginkan untuk melepas tanahnya?”
“Tidak sepeser pun, Tuan. Jadi, kupinta berhentilah mengirimkan orang untuk mengintimidasi kami,” sahut Emilia cukup tegas
Mendengar jawaban Emilia, Hardin kembali tersenyum samar. “Mengintimidasi? Yang benar saja," gumamnya.
"Datanglah besok pagi ke tempatku. Kita bisa membicarakan ini secara baik-baik.”
“Aku sudah bertemu denganmu dan menyampaikan apa yang harus kukatakan. Jadi, tidak perlu ada pertemuan lagi. Aku tahu Anda hanya ingin mempengaruhi pikiranku,,” tolak Emilia, dengan nada bicara yang tidak berubah.
Hardin menggeleng samar. “Aku hanya bermaksud menawarkan diskusi yang nyaman. Jika kau malas memenuhi ajakanku, sampaikan ini pada suamimu, Nyonya.“ Setelah berkata demikian, Hardin kembali memacu kudanya tanpa menunggu jawaban dari Emilia. Sikapnya terlihat cukup arogan dan menyebalkan.
“Keputusan kami sudah jelas, Tuan! ” seru Emilia lagi, meskipun Hardin dan Ethan sudah berlalu melewatinya.
Hardin menahan laju kudanya, lalu menoleh. “Aku juga sudah mengambil keputusan. Perundingan hanya akan terjadi, bila ada perwakilan dari Nyonya Olsen yang datang menghadap besok pagi,” balasnya cukup tegas. “Aku tidak suka pembicaraan di jalan seperti ini. Kau sangat tidak sopan.”
Setelah berkata demikian, Hardin langsung melanjutkan perjalanan pulang. Tak dipedulikannya Emilia yang masih berdiri sambil memperhatikan, hingga dia dan Ethan menjauh dari pandangan.
Berhubung urusannya dengan sang tuan tanah sekaligus pemilik peternakan telah selesai, Emilia memutuskan pergi dari sana. Dia mengayuh sepeda kembali ke rumah, yang ditempati bersama Meredith dan putri kecilnya, Blossom.
Setelah memarkirkan sepeda di depan rumah, Emilia bergegas masuk. Wanita dengan midi dress floral itu langsung menuju dapur untuk mengambil minum.
“Bagaimana? Apa kau sudah bertemu dengan Tuan Rogers?” tanya Meredith, wanita paruh baya berambut pirang dan bertubuh agak gemuk.
Emilia yang tengah meneguk segelas air putih, segera menoleh. “Aku sudah bertemu dan bicara secara langsung dengannya, Bu. Kutegaskan bahwa kau tidak akan menjual tanah, sekaligus meminta agar Tuan Rogers tak mengirimkan lagi utusannya kemari”
“Lalu, bagaimana tanggapan Tuan Rogers?”
Emilia meletakkan gelas kosong, lalu menarik satu kursi kayu dari dekat meja makan untuk Meredith, kemudian menarik satu lagi untuknya. “Pria itu sangat arogan. Apa yang kudengar dari para tetangga memang benar adanya. Tuan Rogers tidak mencerminkan watak orang-orang dari desa ini,” terang Emilia, diiringi embusan napas pelan bernada keluhan.
“Dia memang bukan warga asli desa ini. Jangan lupakan itu, Nak.”
“Oh, tentu saja. Menurutku, Tuan Rogers sangat menyebalkan dan …. Tiada kata yang pantas selain itu.”
Meredith tertawa renyah mendengar penuturan Emilia, meskipun sebenarnya tak ada yang lucu sama sekali. “Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Namun, Nyonya O’Hara mengatakan bahwa dia sangat tampan dan masih terbilang muda.”
“Oh, astaga. Nyonya O’Hara menganggap semua pria berparas tampan. Ibu tahu itu,” bantah Emilia tak setuju.
Meredith tersenyum kecil. “Yang penting, kau sudah bicara langsung dengannya. Semoga Tuan Rogers tidak memaksakan kehendak, atas tanah peninggalan mendiang suamiku. Bagaimanapun juga, ada banyak kenangan di sini.”
“Bu ….” Emilia menggenggam erat tangan Meredith. “Aku tidak memiliki siapa pun selain dirimu,” ucapnya lembut.
Meredith tersenyum hangat. “Kau bukan sekadar menantu, Millie. Aku ….” Dia menjeda kalimatnya karena ada ketukan cukup kencang di pintu.
“Biar kulihat.” Emilia segera memeriksa. Dia mendapati Ethan sudah berdiri di luar.
“Tuan Rogers menunggu Nyonya Olsen sore ini di kediamannya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Najwa Aini
nama Ethan mengingatkanku pada Tom Cruise yg berperan sebagai Ethan.
2025-05-19
1