Bab 4

Minggu pagi kali ini amat berbeda jika dibandingkan dengan minggu-minggu sebelumnya. Tak ada secangkir kopi hangat yang tersaji di atas meja, pun pisang goreng sebagai menu sarapan di kala Harry menikmati weekend seperti biasa.

Meja itu kosong melompong, sampai-sampai membuat Harry terbengong-bengong. Hanya ada sebuah catatan kecil yang tergeletak di atas meja itu. Catatan dari Arawinda : Aku ke rumah Ibu. Sekalian nyari kerja.

“Hah!” Harry mendesah kasar seraya mengusak rambutnya yang memang sudah berantakan. “Ngapain Ara ke sana? Apa dia mau ngadu?”

Harry menarik kursi, ia lekas duduk dan merenung. Perdebatan sengit tadi malam kembali terkenang, Harry akhirnya terpaksa mengizinkan Ara mencari pekerjaan untuk melunasi biaya ganti rugi mobil yang terkena goresan cincin nikah mereka. Tentu saja dengan syarat, Ara harus langsung berhenti setelah perkara ganti rugi itu terselesaikan.

“Ara ... kamu kira, gelar akademik mu itu akan berguna? —Kamu kira, mudah mencari pekerjaan dengan status wanita yang sudah menikah? Setiap perusahaan bahkan memiliki peraturan ketat untuk hal itu. Perusahaan akan berpikir panjang sebelum menerima wanita yang sudah menikah. Sibuk mengurus rumah serta suami, dengan resiko menganggu kinerja di kantor—mana ada perusahaan yang mau menerimamu. —Paling kamu hanya diterima di tempat-tempat seperti Toserba (Toko Serba Ada). Gaji tak seberapa, capeknya luar biasa, nanti kamu bakal rasain.” Gumam Harry, seakan puas membayangkan nasib sang istri. Maklum, ia masih kesal untuk kata-kata alias fakta yang diucapkan Ara tadi malam. Di tambah lagi, hasratnya berujung tak tersalurkan.

Setelah bergumam demikian, Harry langsung berdiri dan menuju ke wastafel. Ia membasuh wajahnya, lalu bergegas mengeringkan dengan handuk mungil yang menggantung di dinding dapur. Kemudian, ia melangkah ke luar rumah setelah menyambar kunci motor, dan buru-buru mengenakan sandal.

Dengan tergesa-gesa ia menyalakan motornya yang masih penuh lumpur. Perutnya yang keroncongan, membuat pria itu terpaksa sedikit mengebut. Tujuannya kali ini adalah ke rumah ibunya, Syamsinar.

“Astagaaa, Ara ini memang nggak pernah becus ngurus kamu!” Hardik Bu Syam begitu Harry sampai dan menceritakan bahwa sang istri tidak menyiapkan sarapan untuknya. “Makanya, Ibu dari dulu selalu nentang pernikahan kalian. Takutnya ya—kayak gini ini!”

Bu Syam meletakkan secangkir kopi panas di atas meja makan, kemudian menyuguhkan gabin tape sebagai menu sarapan untuk sang putra.

“Pasti dia juga belum masak, ‘kan? —Lagian, pagi-pagi begini ngapain sih ke rumah ibunya? Bukannya ngurus suami!” Bu Syam mendumel dengan semangat 45.

Harry menghela napas sebelum menjawab. “Nggak tau lah, Bu. Katanya ... mau sekalian nyari kerja.”

“Kerja? Tiba-tiba? Apa dia tersinggung perkara roti semalam? Hih, mental tempe!” umpat wanita baya itu.

Untuk sesaat suasana berubah hening, wajah Harry tampak ragu-ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun, akhirnya, pria itu menceritakan semuanya. Kemalangan yang menimpa Ara.

“Apa?! Berapa puluh juta?!”

“90an, Bu. Goresan nya panjang. Apalagi, type mobilnya memang mobil mahal. Kalau perbaikan sih, harusnya nggak segitu. Kayaknya yang punya mobil, langsung minta ganti body. Aji mumpung lah!”

“Ya ampuuun, teledor banget sih Si Bodoh itu! —Ibu nggak mau tau ya, Harry. Kamu nggak boleh ngeluarin uang sepeserpun! Ibu nggak rela! Nggak ridho!”

“Iya, Bu, iyaaa. Ibu tenang aja, ya ....”

Bu Syam melipat kedua tangannya di depan dada. Ujung bibirnya terangkat sebelah, manakala Harry tak membantah perkataannya. “Pokoknya, uang gaji kamu mulai sekarang—Ibu yang pegang!”

“Looo, jadi Ara mau belanja nanti gimana, Bu?” Pria dengan penampilan acak-acakan itu menggaruki kepalanya yang tak gatal. Tak setuju, tapi, lebih terlihat segan untuk menolak permintaan sang ibu.

“Ibu yang akan ngatur semuanya. —Ibu nggak sudi kalau sampai dia menyisihkan uang belanja sedikit demi sedikit untuk membayar ganti rugi itu!” jawab Bu Syam lantang. “Kenapa? Kamu keberatan?”

Napas Harry tertahan sejenak. Ia meraup kasar wajahnya. “Enggak, Bu. Terserah Ibu aja lah.”

Percakapan antara Harry dan Bu Syam terhenti sejenak ketika pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda, keluar dengan muka bantal—matanya tampak sembab.

“Eh, Mas Harry. Tumbenan jam segini udah datang? Nggak diurusin sama bini mandul mu itu, ya?” celetuk Dwi, adik Harry satu-satunya.

“Mulutmu itu, Dwi. Nggak sopan. Ara kan kakak iparmu, mana baik ngomong begitu.” Ada yang membara di dada Harry ketika mendengar hinaan Dwi untuk sang istri.

“Lah, kan emang faktanya begitu? Coba inget-inget, udah berapa tahun Mas menikah sama Mbak Ara? Tiga tahun, Mas. Jangankan bunting, tanda-tandanya doang aja nggak pernah,” ledek Dwi sambil terkekeh. “Mas sih, sok jual mahal. Dulu disuruh selingkuh sama kakak senior ku, malah nolak. Malah tetep bertahan sama cewek yang rahimnya ke sumbat sama dosa-dosa.”

“Ha ... ha ... ha ...!” Bu Syam tergelak mendengarkan ucapan putrinya, sementara wajah Harry sudah merah padam. “Benar itu kata adikmu, Har. Kalau aja kamu mau menerima cintanya si Puspa, pasti kamu sudah punya anak sekarang.”

Harry mendengus, benaknya digerogoti kesal. “Sudahlah, Bu. Nggak usah bahas itu.”

...****************...

“Ara, kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?” Bu Farida, ibunya Ara, tampak terkejut melihat lembaran uang dengan nominal satu juta rupiah yang disodorkan putrinya. Apalagi ini pertama kalinya Ara kembali memberikan uang semenjak menikah. “Harry yang ngasih?”

‘Mana mungkin Mas Harry mau ngasih uang segitu banyak, Bu.’ Batin Ara meringis.

“Buat ku mana, Kak? Masa cuma Ibu aja yang dapat fulus! Aku juga dong, kan lumayan buat jajan,” Iraz, adiknya Ara cengegesan di ambang pintu kamar.

“Dih, harusnya kamu lho yang kasih kakak uang jajan.” Ara mencebik.

Iraz menggaruki kepalanya yang tak gatal, ia terkekeh pelan. “Entar kalau udah lolos di kepolisian, Iraz bakal ngasih uang jajan yang banyak deh buat Kakak sama Ibu.”

“Bener yes? Entar eike tagih you punya janji.” Sahut Ara sambil meniru nada mas-mas salon.

“Ara, kamu belum jawab pertanyaan Ibu. Ini uang dari mana?” tanya Bu Farida lagi.

“Dari Ara pribadi, Bu. Untuk Ibu nambah-nambah belanja,” jawab Ara.

Kening Bu Farida berkerut, wajahnya kentara heran. “Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini, Ara? Kamu kan ... nggak kerja.”

Ara tersenyum tipis. Namun, ada bangga dalam senyuman yang terukir di bibirnya. Wanita cantik itu beringsut dari posisinya, lalu menggamit lengan sang ibu sambil bersandar manja.

“Ara nyoba-nyoba nulis novel online, Bu. Meskipun pendapatannya nggak gede, tapi, lumayanlah buat jajan cilok. He ... he ... he ...,” Ara terkekeh pelan.

“Loh, emang kamu bisa? Kuliahmu aja dulu jurusan apa,” Bu Farida semakin bingung.

“Nggak perlu kuliah kalau cuma untuk jadi penulis, Bu. Di internet, ada kok panduan yang ngajarin kita menulis novel, yang membagi ilmu secara cuma-cuma. Ara cukup mencatat saja poin-poin pentingnya, lalu Ara terapkan. Terus, Ara memberanikan diri untuk merilis karya di beberapa platform. Dan sekarang, Ara sudah menuai hasilnya. Yaaa—biarpun sedikit, setidaknya ... Ara nggak perlu ngemis kalau kepengen ini dan itu.” Ara tersenyum, lalu tiba-tiba mengerjap. Ia menoleh cepat ke arah sang ibu.

Bu Farida mengernyit. “Ngemis? Maksudnya? Ara ... kamu ... diperlakukan dengan tidak baik ya di sana?” Mata tua-nya langsung menelisik, mencari kebenaran di wajah sang putri.

Ara menganga, lalu menggeleng. “Bukan, Bu. Bukan seperti itu.”

“Jangan bohongin Ibu, Ara!” nada bicara Bu Farida mulai naik. “Jawab jujur, apa terjadi sesuatu yang buruk?!”

Ara masih bungkam, ia merasa di ambang batas—tak bisa memberikan jawaban. Menurutnya, kekurangan Harry ataupun keburukan Bu Syam, tak seharusnya ia ceritakan kepada sang ibu.

Menurut Ara, ia mungkin masih bisa memaafkan kekecewaan yang Harry torehkan di dadanya—atau memaafkan semua rasa sakit yang disebabkan sang mertua. Namun, jika ia menceritakan semua deritanya pada sang ibu? Sudah pasti sudut pandang sang ibu terhadap Harry dan Bu Syam akan berbeda, bahkan berubah drastis—Ara mungkin bisa memaafkan keduanya, tapi, jelas ibunya tidak akan sudi. Selayaknya Harry yang berharga bagi Bu Syam, begitu pun Ara—juga berharga bagi ibunya.

“Ara?! Kenapa diam aja? Kamu nggak mau cerita? —Atau, perlu Ibu telepon suami mu?” wajah Bu Farida terlihat kesal.

Ara memejamkan matanya sejenak, ia tau, ibunya sedang tidak bercanda. “Ara bakal cerita, Bu. Tapi, nggak sekarang. —Ara masih ingin melihat, bagaimana kedepannya biduk rumah tangga kami. Ara harap—Ibu mengerti.”

“Tapi, Ara—”

Ucapan Bu Farida terhenti manakala ponsel Ara berbunyi.

Ara pun lekas mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tas, pikirnya ‘pasti Harry.’ Namun, begitu melihat nama yang tertera di ponselnya, seketika saja wajahnya berubah pucat.

‘Duh, gimana ini?!’

*

*

*

Terpopuler

Comments

Saadah

Saadah

Dasar gak bertanggung jawab. Harusnya dirimu yang lebih gigih kerja, atau pinjam siapa dulu.

2025-05-12

2

🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪

🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪

jgn pernah menyinggung tentang apa yg perempuan usahakan, karena tk dihargai kami bisa pergi...

2025-05-11

2

💕Bunda Iin💕

💕Bunda Iin💕

aduh aduh aduh ga bisa ngomong lgi ini mah punya suami modelan kyk harry ini

2025-05-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!