Rapat siang ini harusnya penting. Anggaran kuartal, peralihan proyek, data pertumbuhan—semua angka berseliweran di layar proyektor, dibacakan satu per satu oleh kepala divisi. Tapi, mata Elan terlalu kosong sebagai orang penting yang duduk di ruangan tersebut. Jari-jarinya hanya mengetuk pelan meja rapat, tanpa fokus.
“... untuk sektor ekspansi properti, kami perkirakan kenaikan dua belas persen ....”
Elan tak benar-benar mendengarkan. Yang ada di pikirannya cuma sehelai daster lusuh yang basah kuyup, rambut awut-awutan, dan sepasang mata yang dulu pernah menyala saat menatapnya.
Arawinda.
Wanita itu muncul tanpa aba-aba, menabrak hidup Elan seperti kilat di siang bolong. Wanita dari secuil masa lalu, yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.
“Pria gila!” Suara pelan Davin, tetapi terdengar tegas, menyusup di telinga Elan.
Elan tersentak, ia menoleh ke sisi kanan—tempat Davin berdiri dengan posisi membungkuk. Elan menatap sahabatnya, dengan satu alis menukik yang seakan bertanya : “Ada apa?”
“Fokus. Mereka lagi nungguin perintah lo—dan Varell lagi sibuk nyari-nyari kekurangan lo, Elan!” bisik Davin lagi.
Elan mengangguk samar, menarik napas, lalu berkata datar, “Lanjut ke poin berikutnya.”
Rapat internal kembali mengalir. Sekilas, Elan dapat menangkap tatapan bingung dari beberapa kepala divisi—yang mungkin heran kenapa dirinya diam sejak tadi. Tapi, tentu saja tidak ada yang berani bertanya. Di perusahaan ini, Elan adalah suara tertinggi ke-empat setelah pemilik utama. Elan Wiratama menjabat sebagai CEO, menggantikan posisi sang ayah. Dan, Elan merupakan kandidat tertinggi untuk menggantikan posisi kakeknya sebagai pemilik perusahaan kelak. Tentu ia memiliki saingan—sepupunya—Varell Wiratama.
Varell sejak tadi mengamati gerak-gerik Elan. Ia menunggu Elan membuat kesalahan. Namun, Davin yang selalu berada di sisi Elan, benar-benar membuatnya kesal. Pria itu selalu berhasil menarik Elan kembali masuk ke dunianya yang sempurna.
‘Elan, kapan kau akan terperosok ke dasar bumi, huh?!’ desis Varell di dalam hati.
Rapat berjalan sempurna. Satu per satu peserta mulai pamit setelah presentasi selesai. Lalu ruangan itu kembali sepi. Hanya tersisa Elan dan Davin.
Elan bersandar di kursi, mengangkat kedua tangan dan meraup kasar wajahnya. Napasnya berat. Entah sudah berapa kali pria tampan itu menghela napas sejak tadi.
“Gila,” gumamnya. “Kenapa harus dia?!”
Davin tetap berdiri di dekatnya. Diam, tapi siaga. Ia sudah seperti bayangan Elan. Tidak banyak bicara kecuali perlu. Dan saat dia bicara, kalimatnya selalu tepat.
Elan menatap langit-langit, lalu memejamkan matanya sejenak. Sosok Ara dengan roti dalam pelukannya, daster pudar, serta kaki yang basah, semua itu berputar di dalam kepalanya.
“Sial! Wanita itu sukses menggangguku,” gumam Elan pada dirinya sendiri, nyaris seperti bisikan.
Davin akhirnya bersuara, tenang tapi penuh maksud dalam nadanya. “Masih cantik?”
Elan tertawa kecil, lebih tepatnya—hambar. “Dia ... berubah total.”
“Bukan berarti perasaan lo ikut berubah, ‘kan?” goda Davin.
Elan berdecak seraya melirik Davin, mereka saling beradu tatap sebentar.
“Dia bahkan mungkin udah nggak inget sama gue, Dav ....” suaranya melemah.
“Belum tentu, ‘kan?” katanya, santai. “Sekarang tinggal lo yang tentuin: mau pura-pura gak kenal juga, atau mulai dari awal lagi.”
Sejenak, Elan terdiam. Namun batinnya berisik. ‘Mulai dari awal? Dengan wanita yang akhirnya kutinggalkan demi ambisi? Atau demi luka yang masih ku pelihara sampai sekarang? Ah, entahlah. Yang pasti, semesta sudah lancang membuat dia tiba-tiba muncul. Dan, itu saja sudah cukup untuk membuat pikiranku kacau!’
Sekali lagi, Elan menghela napas kasar. “Tapi, Dav. Ara kan sudah menikah.”
“Ya udah, lupain aja kalau gitu.” Jawab Davin enteng sambil membaca jadwal Elan selanjutnya.
Tanpa Davin sadari, Elan sudah menghujani nya dengan tatapan tajam. “Ara udah ngehubungin lo belom?”
Davin mengangguk tanpa suara.
“Lo udah informasikan ke dia, berapa nominal ganti rugi yang gue minta?” Elan tersenyum licik. Davin pun mengangguk diiringi dengan senyuman licik.
...****************...
Angin malam menyusup lewat celah-celah jendela tua yang tak sempurna tertutup. Amat dingin dan juga lembab. Bekas hujan yang mengguyur dari siang hingga sekarang masih terasa menusuk sampai ke tulang.
Ara duduk di pinggir ranjang, memunggungi pintu kamar. Di dalam ruangan yang sunyi, ia menghembuskan napasnya berkali-kali. Matanya sibuk membaca pesan tentang nominal ganti rugi kap body mobil Porsche Cayman yang harus dibayarnya segera.
“Dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak ini, Ya Allah? —Gaji dari hasil novel online ku saja hanya jadi tiupan debu jika dibandingkan dengan nominal ini.” Ara memejamkan matanya sejenak. “Apa aku minta bantu Mas Harry? Tapi—gaji Mas Harry pun tak seberapa. Kalau sampai Mas Harry yang bayar ....”
Mendadak Ara teringat kembali pertengkarannya dengan Harry siang tadi. Jelas Harry marah besar ketika Ara membahas gugatan cerai. Dan berakhir, Ara mengurung diri di kamar hingga sekarang.
Ara menggeleng cepat. “Nggak—enggak! Aku nggak akan minta bantuan Mas Harry. Nggak ada masalah ini aja, aku udah jadi bulan-bulanan ibunya—apalagi kalau harus ditambah masalah ini. Sepertinya, aku harus—kerja.”
“Tapi, kok bisa ya—biaya ganti ruginya sebanyak itu?!” gumam Ara pelan. Maniknya menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba berderit.
Harry berdiri di ambang pintu.
Pria yang siang tadi memilih diam ketika Ara dihina habis-habisan oleh ibunya sendiri, kini melangkah pelan. Mendekati sang istri dengan napas berat yang sengaja ia perlambat.
“Ara ...,” katanya pelan. Tangannya menyentuh lembut pundak Ara.
Ara memejamkan mata. Sentuhan itu terasa hangat, tapi rasanya seperti sentuhan yang asing. Wanita berparas ayu itu tak menjawab. Hanya duduk dengan tubuh yang kaku, sambil menahan semua rasa yang sudah terlalu lama mendekam dalam diam.
Harry duduk di samping Ara. “Malam ini dingin banget ya, Dek.” Ia memberanikan diri memeluk sang istri. “Aku kangen kamu ....”
Bisikan lembut nan bergelora itu seketika membuat Ara merinding. Ia paham, Harry menginginkan tubuhnya malam ini. Namun, Ara tetap bergeming. Tak sudi menanggapi.
"Yuk …." Ajak Harry lembut, kini tangannya sudah menggerayangi dada Ara. Namun, Ara menepisnya.
“Aku capek, Mas,” ucap Ara pelan, namun cukup tegas.
Harry tertawa kecil, ia tak menyerah begitu saja akan penolakan sang istri. Pria itu bangkit dan berjalan ke arah lemarinya.
“Yakin kamu nggak mau? Gajiku udah cair, nih,” godanya. Ia berharap, uang dapat memperbaiki situasi dan menjadi jalan satu-satunya menuju surga dunia.
Ia mengambil tas kerjanya, membuka resleting, lalu mengeluarkan lembaran uang yang sudah disusun rapi.
“Empat juta sembilan ratus,” katanya bangga. “Yang sembilan ratus aku ambil ya, mau di simpan buat jaga-jaga kalau ada kerjaan mendadak di luar.”
Pria dengan senyuman merekah di bibirnya itu, berjalan ke arah sang istri dan meletakkan sisa uangnya ke pangkuan Ara.
“Kali ini semuanya, aku serahin ke kamu, Dek. Kamu yang atur, besok yang dua jutanya tolong kasih ke Ibuku kalau Ibu datang ke mari—kali ini nggak aku yang kasih langsung ke ibu. Terus—yang satu juta delapan ratusnya kamu pegang buat kebutuhan rumah. Dan yang dua ratus ribu itu ...,” Harry tersenyum lebar. “Buat kamu jajan. Biar kamu bisa beli roti kayak tadi siang. Ya? Jadi, biar nggak perlu ribut-ribut lagi.”
Arra tak langsung menjawab. Ia masih memandangi lembaran uang di pangkuannya, dengan kekecewaan yang lebih dalam.
“Dua ratus ribu ... diambil dari sisa-sisa kebutuhan rumah yang sudah di irit mati-matian. Yang bahkan tanpa dipotong pun, aku harus pandai-pandai mengatur agar dapur tetap mengepul,” gumam Ara pelan. Namun sukses membuat senyuman Harry sirna.
Ara menoleh, menatap sinis suaminya. “Mas pikir, aku bakal senang dikasih dua ratus ribu hasil potongan dari uang rumah tangga? Yang bahkan, nggak cukup buat satu minggu ke depan? Kamu kira, aku sanggup jajan—di saat uang belanja sekarat?”
Harry masih bergeming. Namun, wajahnya merah padam. Ini pertama kalinya Ara mengeluh masalah keuangan.
Ara lekas berdiri dan meletakkan lembaran uang tersebut ke atas meja kecil. “Kamu bilang, dua juta buat Ibumu? Lalu, Ibuku? Apa ibuku bukan ibumu juga, Mas?”
“Ra ....” Harry menarik napas dalam-dalam. “Ibuku yang melahirkan aku, merawat aku, membesarkan aku. Wajar kan—kalau aku memberikan uang untuk ibuku?”
“Lalu aku? Apa kamu kira—aku ini keluar dari lubang jamban? Hah?! Apa saat aku dilahirkan, aku langsung tumbuh besar? Apa kamu kira, aku nggak kepengen membalas budi atas perjuangan ibuku? —Aku juga ingin, Mas. Dan aku juga nggak ingin membebankan semua itu ke kamu. Makanya dari dulu aku kepengen kerja—selagi belum diberi keturunan. Tapi ... kamu nggak pernah ngizinin aku kerja lagi. It's okay—gapapa kalau aku nggak dibolehin kerja, tapi, kamu selama ini sanggup menuhin kebutuhan aku nggak? Enggak—kan?!”
Ara menarik napasnya dalam-dalam sebelum lanjut bicara. “Kamu kira, aku nggak iri ngelihat temen-temenku dibelikan ini itu sama suaminya? Diberikan uang belanja lebih, biar setidaknya bisa makan enak dua kali seminggu—aku sampai nelan ludah waktu mereka posting-posting menu makanan mereka yang lezat di story whatsapp, Mas! Aku berusaha mati-matian bersyukur, biar rezeki kamu tetap seluas samudera. Meskipun itu sulit. Bahkan—hari raya tahun ini pun, aku hanya berbalut daster kumal!”
“Ra ...,” suara Harry terdengar serak. “Lagian, kamu ngapain liat story temen mu sih?”
“Dari awal kita nikah, Mas. Sedikit pun, Mas nggak pernah kasih uang buat Ibu aku. Aku ini memang seorang istri Mas, tapi, aku juga anak dari seorang Ibu yang masih hidup. Tapi, semua yang kulakukan buat keluargaku, harus sembunyi-sembunyi. Kayak maling!” teriak Ara keras. “Kalau aja ayahku masih hidup, Mas. —Nggak akan pernah ada pembahasan seperti ini, karena aku juga nggak sudi ngemis sama kamu!”
Napas Ara tercekat. Suaranya mulai bergetar. “Aku nggak minta banyak, Mas. Aku cuma pengen dihargai. Dilihat sebagai manusia yang juga punya keluarga, dilihat sebagai istri yang telah mengorbankan karirnya. Bukan cuma dijadikan alat untuk ngurus rumah dan selalu jadi sasaran empuk untuk Ibu kamu hina-hina setiap hari!”
Harry memejamkan mata. Tangannya mengepal.
Ara menghela napas panjang, menahan gemetar di dada. “Sekarang—dengan lancangnya kamu ngerayu aku dengan uang yang nggak seberapa ini? Mau minta aku buka hati lagi? Sementara—luka siang tadi aja belum sempat kering!"
“CUKUP ARA!” bentak Harry. Egonya sebagai laki-laki, benar-benar terluka.
“AKU MAU KERJA!” Ara balik membentak.
“NGGAK AKAN PERNAH AKU IZININ!” jawab Harry sengit.
Ara tertawa nyaring. “Oh ya? —Kita lihat, sampai mana larangan kamu bertahan. Kamu sanggup bayar ini? —Baca!”
Ara melempar ponselnya ke atas ranjang, Harry lekas menyambarnya. Dan—bola matanya seketika membulat saat membaca nominal ganti rugi yang tertera di layar ponsel.
*
*
*
Terimakasih buat yang sudah subscribe, serta dukungan like & komentar nya 🧡
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Sayur segar
1jt800 utk sebulan? belum listrik air belanja.
kebutuhan istri kyk deodoran minyak wangi bedak. mana cukup. pantes ara nya lusuh.
jauhin aku dr bencana ini ya Allah.
2025-05-11
3
Saadah
Mending posisinya diganti, uang dua juta biarkan ibunya yang pegang untuk keperluan rumah tangga, dan Ara dua juta bersih😆
2025-05-12
1
Saadah
Terus ibunya Ara gimana Bambang? Lu ngambil anak gadis orang bukan langsung gede yang lahir dari batu yak.
2025-05-12
2