Bab 2

Hujan belum benar-benar reda saat Arawinda melangkah masuk ke rumah. Dasternya basah kuyup, menempel di kulit seperti luka yang belum sempat kering. Sekantong roti di dekap rapat di dalam pelukan, seperti sedang menyelamatkan sesuatu yang paling berharga.

Suara Bu Syam terdengar nyaring dari ruang tengah, ketika melihat penampilan Ara.

“Astaghfirullah, Ara?! Kok, basah kuyup begitu?!” Bu Syam tampak panik. “Aduh, itu roti aku gimana?! Pasti basah juga?!” tentu saja yang dikhawatirkan Bu Syam, hanyalah rotinya.

Ara menatap datar ibu mertuanya, sejenak ia menahan napas. Pertanyaan yang dilontarkan Bu Syam sungguh membuat hatinya tersayat-sayat. Dia pulang dalam kondisi basah kuyup, dan sang mertua justru hanya mengkhawatirkan roti pesanannya? Ara benar-benar tak bisa lagi berpikir waras.

Melihat Ara terdiam di tempat, Bu Syam berjalan cepat ke arah sang menantu. Tentu bukan untuk menyodorkan handuk ataupun memberi pertolongan yang tepat, melainkan untuk merampas kantong roti dari pelukan Ara.

Ara tersentak kala kantong dalam pelukannya di rampas paksa. “Roti nya masih aman, Bu.” Jawab Ara pelan, dengan tubuh menggigil.

Wajah Bu Syam jelas menunjukkan rasa tidak percaya, matanya mengernyit curiga. Buru-buru ia membuka kantongnya. Namun—drama itu tak berhenti di sana. Sewaktu membuka kantong, Bu Syam tampak heran dengan tiga bungkus roti yang sama sekali tidak ia pesan.

“Loh, ini … ini apa?!” Ia mengangkat tiga bungkus roti cokelat susu, binar matanya berubah sinis. “Ini kan bukan pesanan aku, ini punya siapa?!”

Ara meneguk kasar ludahnya, ia benar-benar lupa untuk menyembunyikan tiga bungkus roti miliknya. “Yang itu … untuk Ara, Bu.”

Bu Syam langsung naik pitam. “Untukmu?” wanita paruh baya itu berkacak pinggang. “Berani banget ya kau sekarang—menghambur-hamburkan uang anakku tanpa se-izin ku?! Kau tuh tau nggak, Ara? Anakku banting tulang mati-matian di luar sana, dan kau—seenaknya pakai uang suami buat beli jajanan yang kau mau! Arawinda, otak mu ada, ‘kan?!”

Ara tak langsung menjawab, ia menarik napas panjang terlebih dahulu. “Ara beli roti ini pakai uang Ara sendiri ya, Bu. Nggak ada sepeser pun uang Mas Harry yang Ara pakai untuk membeli roti kesukaan Ara.”

Tawa Bu Syam mendadak pecah. Jawaban Ara membuat perut wanita berdaster kembang setaman itu serasa digelitik.

“Astaga, Ara … kau ini kenapa, sih? Apa air hujan sudah membuat kau gila? Uangmu? Uangmu dari mana, hah? Dari pohon? Atau kau baru aja narik arisan dari langit?” Bu Syam tersenyum mengejek. “Coba jawab, uang dari mana? —Sementara kau itu kan nggak kerja. Di rumah seharian, kerjaan mu cuma masak, nyuci, terus ongkang-ongkang kaki. Beberes rumah aja masih harus disuruh! —Lalu kau dapat duit dari mana?!”

Ara mengerjap, lalu memejamkan matanya sejenak. Ia kelepasan dalam memberi jawaban. Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa pikir panjang. Tak ada satupun orang yang mengetahui bahwa Ara juga memiliki penghasilan sendiri, walaupun hasilnya tak seberapa.

Beberapa bulan ini, Ara selalu berkecimpung di dunia novel online, tanpa sepengetahuan Harry. Ia menyetor naskahnya di beberapa platform terpercaya, dan kini ia sudah menuai hasil dari memutar otak di setiap malam hari. Beban pikiran, semua cacian serta hinaan, ia rangkum sedemikian rupa dan dijadikan ladang cuan.

“Ooooh, atau jangan-jangaaaan, kamu maling ya? —Tadi subuh warungnya Bu Romlah kemalingan. Uang nya digondol, ludes. Pasti kamu, ‘kan? Kamu pura-pura kesiangan, padahal subuh-subuh kamu beraksi—bongkar kedai orang. Iya, begitu?”

Dada Ara berkecamuk, bergemuruh hebat. Jika seumuran, sudah pasti Ara akan menyikut bibir Bu Syam dengan ujung sikunya hingga jontor.

“Bu, cukup. Ibu tau, ‘kan? Ibu udah keterlaluan.” Ara berusaha menjaga ekspresi wajahnya. Namun, suaranya kentara kesal.

“Keterlaluan? Kau ini bener-ben—”

“Ada ribut-ribut apa sih ini, Bu? Ar?” Suara Harry membuat Bu Syam dan Ara tersentak kaget. “Assalamu'alaikum.”

“Eh, Harry ... Sampai nggak nyadar kamu datang. —Tumben kamu udah pulang jam segini?” Bu Syam menatap Harry yang tengah melepas jas hujannya. “Wa'alaikumsalam.”

Begitu masuk ke dalam rumah, Harry lekas mencium punggung tangan sang ibu. “Iya, kerjaan nggak banyak. Kebetulan sabtu, jadi bisa pulang cepat.” Jawabnya sambil menatap Ara dengan mimik heran, “kenapa pakaian mu basah kuyup begitu?”

Belum sempat Ara menjawab, Bu Syam sudah terlebih dulu bersuara. “Tadi Ibu minta tolong beliin roti di tempat biasa. Ara nggak bawa payung, terus hujan deras. Ya basah deh. Padahal sebelumnya, Ibu udah bilang kalau hari mau hujan. Eh, ngeyelan.”

Ara mengernyit mendengar bualan sang mertua. “Kapan Ib—”

“Dan, kamu tau nggak, Harry?” potong Bu Syam secepat kilat. “Ara beli roti mahal sampai tiga bungkus. Waktu Ibu nasehatin baik-baik, eh, malah nggak terima. Katanya karena pakai uang sendiri, jadi Ibu nggak boleh ngatur. —Gaya-gayaan pakai uang sendiri, uang dari mana? Kamu aja nggak ngizinin dia kerja.”

Harry menoleh ke arah sang istri yang masih menggigil kedinginan. “Bener begitu, Dek?”

“Ibu curiga deh jadinya, Har,” sela Bu Syam cepat. “Warungnya Bu Romlah kemalingan loh tadi subuh. Apa jangan-jangan ...?”

“Bener begitu, Dek?!” tanya Harry sekali lagi. Namun kali ini, suaranya lebih keras, lebih sinis.

Tatapan dingin dari Harry semakin membuat Ara terluka. Bukannya iba melihat istrinya yang sudah menggigil kedinginan, Harry malah melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dada Ara sesak.

“Uang belanja,” dusta Ara singkat. Ia sengaja tak ingin menceritakan sumber cuan nya. Ara yakin jika jujur pun, tak akan ada yang berubah.

“Tuh, kan! Bener dugaanku! Ternyata kau menghambur-hamburkan uang anak ku! Kau itu bener-bener nggak tau diri ya, Ara! Nggak tau di untung! Uang untuk keperluan belanja sehari-hari, malah seenak udel dipakai buat beli jajanan! Dasar boros! Pakai nipu segala pula, gayanya pakai uang sendiri! Padahal? Darah anak ku yang kau hisap! Dasar Lintah!”

Jemari Ara terkepal erat, kerongkongan nya serasa tercekat bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata. Ia masih setia menunggu, menunggu Harry untuk membelanya di depan ibunya.

Namun, yang dilakukan Harry hanyalah berlalu dengan kepala tertunduk. Pria itu berjalan ke dapur, sibuk mengambil peralatan makan. Ia memilih mengisi perutnya yang keroncongan dari pada membela ataupun menengahi. Dan, tentu saja dada Ara kian sakit, kian bergemuruh.

“Ara, kalau kau nggak bisa mengatur uang seperti ini, bilang terus terang. Biar aku yang menghandle semuanya!” kata Bu Syam lagi.

Ara langsung menoleh ke arah Bu Syam, sorot matanya sangatlah nyalang. Bu Syam sempat terperanjat, membeku di tempat. Ini pertama kalinya Ara menatapnya dengan tatapan seperti itu.

“A-apa-apaan tatapanmu itu? Kau m-menantangku?!” Bu Syam memberanikan diri. Ini pertama kalinya ia terbata-bata dalam berbicara.

Ara enggan menjawab, tetapi sorot nyalang nya tak kunjung pudar. Wanita berdaster kuyup itu melangkah tergesa-gesa menuju dapur, ia menghampiri sang suami dengan dada yang nyaris meledak.

“Mas,” suara Ara terdengar dingin.

“Hmm?” Jawab Harry tanpa menoleh, ia terlalu sibuk mengunyah.

“Apa aku mesti gugat cerai kamu dulu, baru kamu sudi membela ku di depan Ibumu?” suara serak Ara terdengar tegas dan sangat serius.

UHUK!

*

*

*

Terpopuler

Comments

Mba Ayuu

Mba Ayuu

aku juga pernah tinggal bareng mertua kak, waktu masih kerja aku dibaik2ij tpi pas hamil dan dirumah aja, ada aja yang salah bahkan setiap hari aku nangis sampai2 anakku lahir dan meninggal mertua nggk ada prihatin atau apa, ikut sedih jadinya.

2025-05-13

3

istianah istianah

istianah istianah

halo aq datang lgi kal, salut dengan semua novelmu ya ,aq hadir ya kak✋✋

2025-05-14

1

vj'z tri

vj'z tri

OMG roti yang di khawatir kan 🤨🤨🤨🤨🤨🤨boleh tak karungi gak ni lampir 1 biar gampang buang nya ke Ciliwung 😏😏😏😏

2025-05-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!