Christopher berdiri di ambang pintu dengan wajah muram, rahangnya mengeras, dan sorot matanya menggelap.
"Lee Mia..." desisnya pelan, tapi mengandung amarah yang mendidih.
"Sya-lan. Kau… binatang kepa-rat!"
Mia terdiam di tangga. Langkahnya terhenti, dan tubuhnya menegang seketika. Mata lebarnya membelalak, tidak percaya pada kata-kata yang keluar dari mulut lelaki yang selama ini ia cintai.
"K-Kak?" bisiknya nyaris tak terdengar, lebih sebagai seruan kebingungan daripada sapaan.
Namun Christopher tidak memberinya waktu untuk memahami kondisinya. Dalam sekejap, ia maju dan menarik lengan Mia dengan kasar, membuat tubuh wanita itu terhuyung ke depan dan hampir terjatuh.
"Aku tanya!" raungnya, suaranya menggema di seluruh ruang tamu. "Apa Lusy tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkanku karena ulahmu?!"
Mia terdiam. Matanya membulat dalam keterkejutan, lalu perlahan-lahan kepalanya menunduk.
"Jika aku mengatakan tidak..." katanya pelan. "Apakah kau akan percaya?"
Christopher menatapnya dengan penuh kebencian. Nafasnya memburu, dan tatapannya tajam seperti belati yang siap menan-cap orang didepannya.
"Kau ingin aku percaya pada orang sepertimu?!" gertaknya.
"Kau jabingan licik, Mia! Kau pikir aku tidak tahu bagaimana caramu bisa menikah denganku?! Itu pasti karena trik kotormu! Kau… dengan berani memisahkanku dari Lusy!"
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang bisa Mia bayangkan. Ia memejamkan mata, menahan rasa perih yang menggenangi dadanya.
"Aku tidak melakukannya, Kak..." bisiknya lirih. "Aku tidak pernah berniat untuk memisahkan hubungan kalian. Tidak sekalipun..."
Namun kemarahan Christopher terlalu besar untuk dijinakkan oleh kebenaran. Tangannya mengepal erat, dan seakan hendak melampiaskan amarahnya lagi, sebelum tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menoleh, menatap layar dengan sorot mata yang seketika berubah menjadi panik.
Dalam hening yang mencekam, ia berkata dengan suara penuh tekanan.
"Jika benar kau yang telah menyakiti Lusy..." katanya dengan tajam, "Aku bersumpah... aku akan membalasmu sepuluh kali lipat… jauh lebih parah darinya."
Tanpa memberi waktu Mia untuk menjawab, Christopher berbalik dan berjalan keluar dari rumah. Pintu tertutup dengan keras di belakangnya, lalu suara mobil yang melaju meninggalkan halaman terdengar mengiris pada malam itu.
Mia masih berdiri di tempatnya dengan kaku. Napasnya tersendat, dan tubuhnya perlahan bergetar. Di dalam rumah yang kini kembali sunyi, yang tersisa hanyalah luka yang menggantung di udara.
-🐣-
Sudah satu bulan berlalu sejak Christopher pergi dan tidak pernah kembali ke rumah. Kesunyian menyelimuti kediaman keluarga Lee seperti kabut yang menolak sirna, menciptakan lubang kehampaan dalam setiap sudut rumah itu, terutama di hati Mia.
Di dalam kamar, Mia berdiri diam di depan kalender dinding. Jarinya menyentuh angka merah di tanggal hari esok, menelusuri lingkaran kecil yang ia tandai sendiri sejak beberapa minggu lalu.
"Besok… empat tahun sejak kami menikah," bisiknya pelan, seakan takut suaranya sendiri akan menghancurkan kenyataan pahit yang sudah lama ia pendam.
Ia menarik napas panjang. Bibirnya bergetar saat senyuman tipis terbit dari bibirnya.
"Tapi... dia tidak pernah sekalipun menganggap pernikahan ini penting dan berharga," lanjutnya. "Jadi, tidak mungkin dia akan mengingatnya..."
Namun, belum sempat ia melanjutkan lamunannya, dentingan telepon rumah tiba-tiba berdering dari lantai bawah membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Mia segera bergegas keluar dari kamar dengan langkahnya yang tergesa-gesa.
Sementara itu, Paman Jack yang sedang membersihkan meja di ruang makan dengan tenang mengangkat gagang telepon itu.
"Halo, di kediaman keluarga Lee," sapanya dengan sopan. "...Ya, Tuan? Di ruang belajar? Baiklah. Saya akan segera mengirimkan dokumennya sekarang."
Namun baru saja ia hendak menutup pembicaraan itu, Mia telah sampai di ruang bawah dan merebut gagang telepon dari tangan Paman Jack dengan panik.
"Kak!" serunya nyaris putus asa. "Kapan kamu pulang? Besok itu… hari jadi kita yang ke—"
Tuut...
Panggilan terputus.
Gagang telepon itu tetap Mia genggam dengan erat. Ia menatap kosong ke depan dengan tatapan tak percaya.
"Dia menutupnya..." bisik Mia pelan, matanya memerah, tapi air matanya masih bertahan.
Paman Jack menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa iba yang membuncah didalam hatinya.
"Nona ..." katanya lembut. "Tuan Christopher meminta saya untuk mengirimkan dokumen penting untuk rapat besok. Apakah Anda tahu dokumennya yang mana?"
Mia mengalihkan pandangannya dengan cepat. Suaranya terdengar tenang, tapi tidak ada yang bisa menyembunyikan luka di balik nada bicaranya itu.
"Aku yang akan mengirimnya ke sana," katanya tegas. "Biar aku saja."
Paman Jack ragu sejenak, ia ingin membantah tapi mengurungkan niatnya saat melihat keteguhan di mata Mia.
"Baik, Nona... Hati-hati di jalan, ya."
Mia mengangguk pelan, lalu bergegas mencari dokumen yang dimaksud. Setelah mendapatkan dokumen itu, ia menggenggam dokumen itu dengan erat seakan itulah satu-satunya tali yang menghubungkannya dengan pria yang masih ia sebut suami.
***
Mobil Mia perlahan berhenti di sebuah halaman depan kantor milik keluarga Lee. Dengan gerakan pelan, ia melepaskan sabuk pengamannya, ia berniat mengambil map dokumen di kursi penumpang. Namun, sebelum dirinya sempat turun dari mobil, sebuah mobil berwarna hitam mengikilap berhenti tepat di sebelah kanan mobilnya.
Kening Mia berkerut saat matanya mengenali mobil itu.
"Itu... mobil Christopher?" gumamnya pelan dengan heran.
Pintu mobil itu terbuka. Christopher keluar dengan langkah tegas dan elegan, seperti biasanya.
Mia sontak ingin membuka pintu, berniat ingin menyapanya, tapi tubuhnya tiba-tiba terhenti saat melihat arah langkah sang suami. Bukan ke kantor, bukan juga ke arah pintu lobi, melainkan ke sisi lain mobil.
Christopher sedikit membungkuk untuk membuka pintu penumpang, lalu terlihat dia mengulurkan tangannya dengan gerakan penuh kelembutan, kemudian terlihat senyum samar yang terukir di wajahnya.
Mia menahan napasnya.
"Dia tidak sendiri?" bisiknya, jantungnya mulai berdebar tak karuan.
Seseorang di dalam mobil mulai bergerak. Sosok perempuan itu membuka mata perlahan, lalu menyandarkan pipinya ke telapak tangan Christopher.
Seketika mata Mia membelalak.
"Tidak… mungkin…" suaranya tercekat.
Wajah itu. Senyum itu. Sikap lembut yang hanya pernah Mia lihat ditujukan pada satu orang. Tak mungkin ia salah mengenalinya.
"Ahn Lusy…?"
Tubuh Mia menegang di balik kemudi. Tenggorokannya terce-kat, seperti dichekik oleh kenyataan yang datang terlalu tiba-tiba.
Christopher membantu Lusy keluar dari mobil. Dengan gerakan refleks, ia melingkarkan lengan di pinggang wanita itu.
Hati Mia terasa seperti diremukkan perlahan.
"Jadi… selama ini…" bisiknya, air matanya menggenang di pelupuk matanya. "Kak Chris bersamanya?"
Lusy menoleh ke arah Mia. Pandangan mereka pun bertemu. Hanya sesaat. Tetapi cukup lama untuk menghancurkan sisa kekuatan yang Mia miliki.
Senyum itu. Senyuman yang penuh dengan kepuasan. Senyuman yang berkata, "Aku menang."
Mia menunduk perlahan, bahunya mulai bergetar. Ia menggenggam map dokumen di pangkuannya begitu erat.
"Apakah… aku masih memiliki kesempatan?" bisik hatinya lirih.
Christopher dan Lusy berjalan masuk ke lobi kantor tanpa menoleh ke belakang. Seolah tidak ada yang perlu disapa.
Mia tetap duduk di dalam mobil. Pandangan matanya menatap kosong ke depan.
"Aku... hanyalah bayangan," katanya dalam hati.
"Selalu begitu sejak awal..."
Hening. Dunia seolah berhenti bergerak bersama detak jantungnya yang kini mulai kehilangan irama.
Namun, waktu terus bergulir. Dua jam berlalu tanpa keberanian yang cukup untuk sekadar membuka pintu mobilnya.
“Kenapa aku masih di sini…” gumam Mia pelan, matanya menatap kosong ke arah lobi kantor yang terlihat dari balik kaca mobilnya. Jemarinya gemetar, menggenggam map cokelat berisi dokumen penting milik suaminya. “Buduh. Serahkan saja dokumennya, lalu cepat pergi dari sini…”
Akhirnya, dengan tarikan napas panjang yang nyaris putus asa, Mia mendorong pintu mobil dan melangkah keluar. Angin sore menyambutnya terasa dingin. Langkahnya begitu berat, tetapi ia terus memaksa kakinya untuk bergerak masuk ke dalam gedung perusahaan.
Setiap dinding kantor ini masih menyimpan jejak kebersamaan mereka dulu, saat Chris masih pulang kerumah, saat senyumnya masih menjadi milik Mia seorang.
Lift mengantarkannya menuju ke lantai tertinggi, ke tempat ruangan Direktur berada. Disaat pintu lift terbuka, beberapa karyawan yang berpapasan dengannya langsung menunduk sopan kepadanya.
“Selamat siang, Nona Mia.”
“Senang melihat Anda datang ke sini lagi.”
Mia hanya menjawab dengan anggukan kecil.
Langkahnya pelan menyusuri lorong yang terasa sunyi. Hatinya terasa semakin sesak saat ia tiba di meja sekretaris. Brian, sekretaris pribadi Christopher, sontak bangkit dari duduknya begitu melihat Mia.
“Nona Mia? Kenapa Anda ada di sini?” tanyanya terkejut.
“Aku mengantarkan dokumen rapat. Di mana Direkturmu?” suara Mia terdengar datar tanpa emosi.
“Direktur ada di ruangannya. Serahkan saja kepada saya, biar saya sampaikan kepada beliau.”
Brian mengulurkan tangannya bersikap profesional. Namun, tiba-tiba Mia mundur satu langkah. Matanya membelalak sesaat, seperti diserang trauma mendadak. Ia buru-buru menarik napas dan memaksakan senyumannya.
“Maaf… Aku… aku akan mengantarkannya sendiri saja.”
Tanpa menunggu persetujuan, Mia melangkah ke depan pintu besar yang bertuliskan Director’s Office. Ia mengangkat tangannya, bersiap untuk mengetuk pintunya, tetapi gerakannya terhenti saat suara dari balik pintu itu terdengar jelas di telinganya.
Ia mendengar tawa Christopher. Begitu hangat. Begitu lepas. Bukan seperti pria yang tengah tenggelam dalam pekerjaan.
“Kau selalu saja membuatku tertawa, Lusy,” ucap Chris, diiringi dengan tawa kecil.
“Yah~ karena hanya aku yang bisa membuatmu tertawa seperti itu, kan?” balas suara manja dari Lusy.
Darah di wajah Mia seperti mengalir turun ke kaki. Tangannya yang tadinya terangkat hendak mengetuk pintu perlahan-lahan jatuh dengan lemas. Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai terbentuk.
“Aku tidak ingin merusak suasana mereka…” bisiknya lirih.
Matanya menyapu ruangan di sekitarnya. Ia menemukan rak kecil di samping pintu itu. Dengan hati-hati, Mia meletakkan map dokumen di atasnya.
Ia melangkah kakinya mundur, lalu menoleh ke arah Brian.
“Berikan dokumen itu nanti kepada Christopher. Dan… jangan bilang kalau aku yang membawanya ke sini.”
“Nona, tunggu! Apa Anda tidak ingin—”
Tapi Mia tidak menoleh lagi. Ia segera berbalik dan melangkah cepat ke arah lift. Setiap langkahnya seperti menghapus sisa-sisa harapan yang pernah ia genggam. Dan dalam hitungan detik, pintu lift tertutup, menelan bayangannya… seolah ia tidak pernah datang disana sama sekali.
.
.
.
.
.
.
.
- TBC-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments